Allah swt. berfirman :
“Dia-lah Tuhan
yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan.” (Qs.
Yunus :22).
Riwayat dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila menaiki unta
untuk bepergian, selalu bertakbir tiga kali, kemudian membaca :
“Maha Suci
Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak
mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Qs.
Az-Zukruf : 13-4).
Kemudian dialnjutkan dengan doa :
“YA Allallh, sesungguhnya kami bermohon kepada-Mu, agar dalam bepergian
kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan takwa, melakukan perbuatan yang Engkau
ridhai, dan mudahkanlah kami dalam perjalanan kami. Ya Allah, Engkau-lah yang
menjadikan Pendamping dalam bepergian, sebagai Khalifah bagi keluarga dan
harta. YA Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran
perjalanan, dan dari kebinasaan yang cepat, dan dari keburukan pandang pada
harta dan keluarga.” Apabila Nabi pulang, selalu mengucapkan pada istri-istrinya,
dan ditambah dengan doa : “(kami) orang yang kembali, tergolong orang yang
bertobat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji (H.r. Muslim).
Karena soal bepergian sering disebut oleh Kaum Sufi, maka kami secara
khusus membuat bab dalam Risalah ini, mengingat masalah bepergian termasuk
masalah besar bagi mereka. Tampaknya di antara kaum Sufi sendiri terjadi
perbedaan. Ada di antara mereka yang memprioritaskan berdiam diri di rumah,
daripada bepergian, kecuali dengan suatu tujuan, seperti naik haji. Namun pada
umumnya mereka lebih banyak diam di rumah, seperti al-Junayd, Sahl bin
Abdullah, Abi Yazid al-Birhamy, Abu Hafs dan yang lain. Tetapi juga ada yang
lebih senang bepergian. Hal demikian dilakukan sampai akhir hayatnya, seperti
Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin Adham dan yang lainnya. Rata-rata mereka
bepergian pada awal masa mudanya, ketika menjalani perilaku ruhani, kemudian
akhirnya berdiam diri, tidak lagi pergi pada akhir perjalanan ruhaninya,
seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail al-Hiry, Dulaf asy-Syibly dan yang
lain. Masing-masing memiliki prinsip, dimana tharikatnya mereka bangun.
Perlu diketahui, bahwa bepergian itu ada dua macam : Pertama : pergi
secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan kedua,
bepergian secara ruhani, yaitu mendaki dari satu tangga sifat ke sifat lain.
Banyak orang yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan sedikit sekali
pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ada seorang
Syeikh dan kalangan Sufi di sebuah desa di luar Naisabur. Ia memiliki beberapa
karya tulis. Suatu ketika beberpa orang bertanya padanya : ‘Apakah engkau
bepergian, wahai syeikh?” Syeikh itu menjawab : Bepergian di bumi atau
bepergian ke langit?” Kalau bepergian di muka bumi, tidak. Tapi kalau bepergian
ke langit, memang benar.”
Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah : “Suatu hari, sebagian fakir
datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir itu berkata padaku : “Aku telah
menempah perjalanan jauh yang meletihkan, hanya untuk menemuimu.’ Aku menjawab
: Sebenarnya Anda cukup selangkah saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu
sendiri.”
Kisah-kisah bepergian mereka bermacam-macam, baik dalam ragam maupun
tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani berkata, : “Aku berada di tengah padang
pasir dalam keadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan,
sembari berdoa : “Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang letih, padahal aku datang
untuk menjadi tamu-Mu.” Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku : “Siapa yang mengundang
kamu.” Aku berkata : “Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana
Thufaily.” Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada
seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap : “Hai orang ajam, mau ke
mana kamu!” Kukatakan : “Menuju ke Mekkah al Mukarramah, semoga Allah swt.
menjaganya.” Si Badui itu berujar, : “Apakah Allah mengundangmu?” Aku menjawab
: “Aku tidak tahu.” Selanjutnya orang itu berkata : “Bukanlah Allah swt.
berfirman : ..... bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah?”
(Qs. Ali Imran :97). Kukatakan padanya : “Kerajaan kan luas termasuk Thufaily.”
Tiba-tiba ia menyahut : “Wahai Thufaily, ternyata adalah engkau. Apakah engkau
berkenan untuk diantar unta?” Kujawab : “Ya!” Lelaki Badui itu turun dari
kendaraannya dan memberikan unta itu padaku, dan berkata, : “Berjalanlah di
atas unta.”
Sebagian para fakir berkata kepada Muhammad al-Kattany : “Berilah aku
wasiat.” Jawab al-Kattany : Tekunlah kamu, agar setiap malam menjadi tamu
masjid, dan kamu tidak mati kecuali di antara dua tempat itu.”
Ali-al-Hushry berkata : “Sekali duduk lebih baik dibanding seribu
argumentasi. Yang dimaksud dengan sekali duduk, adalah upaya cita-cita
terkumpul menurut sifat penyaksian. Sepanjang umurku, sungguh yang demikian
lebih baik daripada seribu argumentasi menurut sifat kegaiban.”
Muhammad bin Ismail al-Farghany berkata : “Kami bepergian selama
kira-kira duapuluh tahun, saya dan Abu Bakr az-Zaqqaq serta Muhammad
al-Kattany. Selama itu kami tak pernah bergaul atau bercampur dengan sesama
orang. Bila kami datang ke suatu negeri, --- kalau di sana ada seorang syeikh –
kami membei salam dan mengikuti majelisnya hingga malam hari, kemudian kami
kembali ke masjid. Semetara Muhammad al-Kattay selalu shalat dari awal hingga akhir
malam, mengkhatamkan Al-Qur’an. Sedangkan Az-Zaqqaq duduk menghadap kiblat. Aku
sendiri bertafakur, hingga dini hari. Kami bersama shalat fajar, dengan lebih
dahulu wudhu pada sepertiga malam terakhir. Bila ada orang yang masih tidur,
kami melihatnya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai etika bepergian, katanya : “Hendaknya
cita-citanya tidak melampaui langkahnya. Bila di mana saja hatinya ingin
berhenti, di sanalah tempat tinggalnya.”
Diriwayatkan dari Malik bin Dinar yang berkata : “Allah swt. memberi
wahyu kepada Musa as : “Ambillah dua sandal dari besi, dan tongkat dari besi.
Kemudian hentakkan di muka bumi, dan raihlah kebajikan dan pelajaran, sampai
kedua sandal menjadi robek dan tongkat terbelah.”
Dikatakan : “Muhammad bin Ismail al-Maghriby senantiasa melancong
disertai para murid-muridnya. Ketika sedang ikhram, dan sudah tahalul dari
ihramnya, ia ihram untuk berikutnya. Sementara bajunya tak pernah kotor,
kukunya tak pernah panjang, begitu pula rambutnya. Sedangkan murid-muridnya
berjalan di malam hari, dibelakangnya. Apabila salah seorang di antara mereka
ada yang menyimpang dari jalan yang dilalui, ia selalu menegur : “Hai Fulan,
sebelah kananmu, hai si Fulan! Sebelah kirimu. Ia pun tidak pernah menjulurkan
tangannya pada hal-hal yang bisa diraih oleh manusia. Makanannya hanya kar
tumbuh-tumbuhan yang diambil kemudian dipotong untuk dimakan. Bahkan
dikisahkan, bila ada teman yang berkta padanya : “Berdirilah.” Ia selalu
menjawab : “Kemana?” Maka ia tak punya teman.”
Seorang penyair berdendang :
Bila mereka minta bantuan
Tidaklah meminta orang yang memanggil mereka
Di mana pun suatu peperangan
Ataukah di temepat manapun juga.
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Ribathy, berkata : “Aku menemani Abdullah
al-Maruzy, dan ia sedang memasuki padang pasir tanpa bekal maupun kendaraan,
sebelum aku menemaninya. Ketika aku telah menemani, ia berkata kepadaku :
“Mana yang lebih Anda cintai, Anda pimpinannya atau aku.”
“Tidak, aku lebih senang Anda saja.” Kataku.
“Kalau begitu Anda harus patuh.”
“Ya” jawabku.
Kemudian ia mengambil keranjang untuk ditempati bekal, lalu keranjang itu
ia panggul di atas punggungnya. Bila aku minta beban itu dengan kataku : “Mana,
berikan keranjang itu, aku bawakan.” Pintaku. Ia lantas menjawab : “Akulah
pemimpin, dan Anda harus patuh.”
Tiba-tiba suatu malam turun hujan hingga pagi. Hujan itu membasahi
kepalaku, sementara kain penutup miliknya ia bentangkan untuk menghalangi air
hujan padaku. Aku berkata dalam hatiku : “ah, celaka bila aku mati, padahal
belum kukatakan padanya : “Engkaulah pemimpin!.” Lalu ia berkata padaku : “Bila
Anda bersahabt dengan orang lain, maka temanilah ia seperti Anda melihat
bagaimana aku menemanimu.”
Seorang pemuda datang pada Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary. Ketika ia
hendak keluar, ia berkata : “Syeikh mengatakan sesuatu. “Hai anak muda, mereka
tidak berkumpul karena janji, tidak pula berpisah melalui musyawarah.”
Abu Abdullah an-Bashibainy berkisah : “Aku mengembra selama tiga puluh
tahun, tak pernah sekalipun aku menambal pakaianku yang sobek. Aku juga tak
pernah mampir ke suatu tempat yang kuketahui, bahwa di tempat itu ada seorang
teman. Aku tak pernah membiarkan seseorang yang membawa beban, bila ia
bersamaku.”
Ketahuilah, para sufi saling menepati adab penghadiran jiwa melalui
mujahadah. Kemudian mereka ingin menyandarkan sesuatu pada mujahadah itu. Lalu
mereka menyandarkan aturan-aturan bepergian atau pengembaraan pada cara seperti
itu, sebagai olah jiwa untuk keluar dari segala hal yang dimaklumi, dan
membawanya untuk berpisah dengan segala pengetahuan, agar senantiasa hidup
bersama Allah swt. tanpa ketergantungan dan perantara. Dan mereka sama sekali
tidak pernah meninggalkan wirid-wiridnya sekalipun dalam masa pengembaraannya.
Mereka berkata : “Kemurahan diberikan
pada orang yang bepergian karena darurat. Sedangkan kita, tidak punya
kesibukan sama sekali, dan tentunya tidak ada darurat dalam bepergian kita.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Sekali waktu, aku pernah merasa tak tahan di
padang pasir, sampai aku merasa putus asa. Tiba-tiba mataku melihat rembulan di
siang hari itu. Di sana tertulis ayat :
“Maka, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka.” (Qs. Al-Baqarah
:137).
Sejak saat itu, aku menjadi bebas dan terbuka.”
Abu Ya’kub as-Susy berkata : “Sorang musafir butuh empat hal dalam
bepergiannya : ilmu sebagai pertimbangannya; Wara’sebagai pagarnya; kerinduan
yang membebaninya; dan akhlak yang menjaganya.”
Dikatakan : “Bepergian menggunakan kata sifr (tulisan), karena merupakan
catatan dari akhlak para tokoh.”
Disebutkan : Ibrahim al-Khawwas tidak pernah membawa beban dalam
bepergiannya. Hanya saja ia tidak pernah berpisah dengan jatum dan tempat air.
Jarum untuk menjahit pakaiannya yan robek, agar auratnya tertutup, sdangkan
tempat air digunakan untuk wudhu. Untuk itu pun ia tak pernah bergantung dan
memberitahu oarng lain.”
Riwaya dari Abu Abdullah Razy yang berkta : “Aku keluar dari Tharsus
memakai sandal, bersama seorang teman. Kami memasuki salah satu perkampungan
Syam. Tiba-tiba seorang fakir datang kepadaku dengan membawa sepatu, dan aku
menolak untuk menerimanya. Temanku bertanya : “Bukankah ini bisa dipakai, dan
Anda kelihatan lelah, padahal toh, Anda telah membuka (mencopo) sandal itu
karena aku.” Aku katakan padanya : “Kenapa Anda ini?”
Teman tadi bicara : “Aku juga
mencopot sandalku agar sama dengan Anda, dan menjaga hak persahabatan.”
Dikatakan : “Ibrahim al-Khawwas bepergian bersama tiga kelompok, dimana
akhirnya mereka ssampai di sebuah massjid pada suatu lembah. Mereka pun menginap
di sana. Masjid itu tak berpintu, sementara udara dingin mencekan mereka.
Ketika dini hari bangun, mereka melihat Ibrahim berdiri di sebuah pintu. Mereka
bertanya : “mengapa Ibrahim ada di sana? Beliau menjawab : “Aku khawatir jika
kalian tercekam kedinginan (sehingga aku berdiri untuk menghalangi udara).”
Sungguh, Ibrahim telah berdiri semalam suntuk di pintu itu.”
Dikishakan : “Muhammad al-Kattany minta izin ibunya untuk pergi haji.
Ibunya pun memberi izi. Di tengah padang pasir bajunya terkena air kencing.
Lalu ia mengatakan : “Sungguh, ini suatu cela bagi keadaan batinku.” Kemudian
ia kembali pulang. Ketika mengetuk pintu rumahnya, ibunya menjawab. Setelah
pintu dibuka, ia melihat ibunya duduk di belakang pintu. Ia bertanya mengapa
sang ibu duduk di sana. Ibunya menjawab : “Sejak engkau keluar, aku bertekad
untuk tidak beranjak dari tempat ini, sampai aku melihatmu lagi.”
Ibrahim al-Qashshar berkata : “Saya pergi selama tiga puluh tahun, dalam
rangka mendekatkan agar manusia peduli dengan para fakir.”
Seorang laki-laki ziarah ke tempat Dawud ath-Tha’y. Orang itu berkata
padanya : “Wahai Abu sulaiman, pada diriku ada rasa yang bertentangan untuk
menemuimu sejak beberapa waktu terakhir ini.” Daud menjawab : “Tidak apa-apa.
Bila tubuh tak bergerak, hati tentram, maka pertemuan lebih gampang.”
Saya mendengar Abu Nashr ash-Shufy r.a. berkata : “Aku keluar dari Selat
Oman, ketika itu perutku terasa lapar. Aku berjalan di pasar, sesampai di kedai
makanan, di sana ada beberapa makanan dan manisan. Lalu aku bermaksud minta
tolong pada seseorang. Kukatakan padanya : “Bisakah Anda membelikan barang ini
untukku?” Lelaki itu menjawab : “Mengapa?” Apakah aku punya tanggungan padamu?”
Atau aku punya semacam uang?” Aku menjawab : “Anda harus membelinya untukku.”
Tiba-tiba ada seseorang yang melihatku, sembari berkata : “Hai anak muda,
tinggalkan dia. Orang yang wajib membelikan apa yang kau mau adalah aku, bukan
dia. Silahkan ambil sekehendakmu.” Ia membelikan sesuai apa yang ku maui, dan
orang itu pergi begitu saja setelah itu.
Abul Husain al-Mishry berkata : “Aku sepakat dengan asy-Syajary dalam
suatu acara bepergian dari Tharablus. Kami berjalan selama beberpa hari, tidak
makan sedikitpun. Sejenak aku melihat kambing jantan sudah dimasak. Aku
mengambil dan memakannya. Tiba-tiba Syeikh asy-Syajary berpaling kepadaku, sama
sekali tidak berucap apa-apa. Lalu kubuang saja makanan itu, karena aku melihat
Syeikh tidak suka. Kemudian ia membuka uang lima dinar buat kami. Kami memasuki
suatu desa. Aku berkata dalam hati : “Aku akan dibelikan sesuatu, tidak
mustahil!.” Namun syeikh tetap berlalu dan tidak berbuat apa-apa, sembari
berkata : “Mungkin Anda akan berrkat, ‘Kita ini berjalan dalam keadaan lapar,
dan Anda tidak membelikan apa-apa buta kita, begitu?” Kemudian di tengah jalan
kami menjumpai orang Yahudi. Dan di sana pula ada seseorang yang memiliki
keluarga. Ketika kami masuk ke rumahnya, tampak sekali mereka repot atas
kedatangan kami. Kemudian uang itu diberikan pada lelaki tadi, agar
membelanjakan untuk kami dan keluarganya. Ketika kami sudah keluar, syeikh itu
berkata kepadaku : “Kemana wahai Abul Husein?” Aku menjawab : “Aku berjalan
bersamamu.” Beliau menjawab balik : “Tidak, Anda sebenarnya mengkhianatiku
ketika melihat kambing jantan (yang masak), dan Anda masih menemaniku. Jangan
begitu.” Lantas syeikh itu menolak untuk kutemani.”
Saya mendengar dari Muhammad Abdullah asy-Syirazy yang berkata, bahwa ia
mendengar langsung dari Abu Ahmad ash-Shaghir, yang mendengar dari Abu Abdullah
bin Khafif yang berkata : “Pada saat awal perjalanan ruhaniku, sebagian para
fakir menghadap kepadaku. Ia melihat bekas kesedihan dan kelaparan pada
mulutku. Kemudian aku dimasukkan ke dalam rumahnya, dihidangi daging yang
dimasak dengan kisyik. Sementara daging itu mulai basi. Aku memakan roti remuk
yang direndam, dan menjauhi daging karena basinya. Lantas kau mengambil sesuap,
dan memakan dengan hati yang berat. Begitu juga ketika suapan kedua, terasa
semakin berat hatiku. Si fakir itu melihat keresahanku, dan wajhnya tampak
berubah. Romanku juga ikut berubah melihat perubahan roman si fakir itu. Aku
lalu keluar meneruskan perjalanan. Aku mengirim seseorng kepada ibuku agar
membawa lembaran (kertas). Ibuku tidak menolak, dan rela atas kepergianku. Aku
pun berangkat ke Qadisiah bersama kelompok orang-orang fakir. Kami memakan apa
adanya yang ada pada kami, dan kami terancam penderitaan. Akhirnya kami sampai
ditengah kehidupan orang-orang Arab, toh, kami tak mendapatkan apa-apa. Kami
pun merasa menderita, hingga kami ingin membeli anjing dari mereka dengan
beberapa dinar dan memasaknya. Mereka memberi sedikit dagingnya. Namun ketika
aku akan memakannya, aku berpikir sejenak tentang keadaanku. Tiba-tiba
perasaanku mengatakan bahwa tindakanku membuatnya tersiksas yang memalukan pada
si fakir itu. Aku bertobat dalam hatiku. Dan si fakir terdiam, lantas memberi
petunjuk jalan padaku. Aku pun berlalu dari tempat itu, dan pergi berhaji.
Ketika pulang, aku mohon maaf pada si fakir tadi.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan