Catatan Popular

Selasa, 8 November 2011

RISALAH AL QUSYAIRI BAB 41: TATA ATURAN BEPERGIAN (MUSAFIR)



Allah swt. berfirman :

“Dia-lah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan.” (Qs. Yunus :22).

Riwayat dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila menaiki unta untuk bepergian, selalu bertakbir tiga kali, kemudian membaca :

“Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Qs. Az-Zukruf : 13-4).

Kemudian dialnjutkan dengan doa :

“YA Allallh, sesungguhnya kami bermohon kepada-Mu, agar dalam bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan takwa, melakukan perbuatan yang Engkau ridhai, dan mudahkanlah kami dalam perjalanan kami. Ya Allah, Engkau-lah yang menjadikan Pendamping dalam bepergian, sebagai Khalifah bagi keluarga dan harta. YA Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, dan dari kebinasaan yang cepat, dan dari keburukan pandang pada harta dan keluarga.” Apabila Nabi pulang, selalu mengucapkan pada istri-istrinya, dan ditambah dengan doa : “(kami) orang yang kembali, tergolong orang yang bertobat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji (H.r. Muslim).
Karena soal bepergian sering disebut oleh Kaum Sufi, maka kami secara khusus membuat bab dalam Risalah ini, mengingat masalah bepergian termasuk masalah besar bagi mereka. Tampaknya di antara kaum Sufi sendiri terjadi perbedaan. Ada di antara mereka yang memprioritaskan berdiam diri di rumah, daripada bepergian, kecuali dengan suatu tujuan, seperti naik haji. Namun pada umumnya mereka lebih banyak diam di rumah, seperti al-Junayd, Sahl bin Abdullah, Abi Yazid al-Birhamy, Abu Hafs dan yang lain. Tetapi juga ada yang lebih senang bepergian. Hal demikian dilakukan sampai akhir hayatnya, seperti Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin Adham dan yang lainnya. Rata-rata mereka bepergian pada awal masa mudanya, ketika menjalani perilaku ruhani, kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi pergi pada akhir perjalanan ruhaninya, seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail al-Hiry, Dulaf asy-Syibly dan yang lain. Masing-masing memiliki prinsip, dimana tharikatnya mereka bangun.
Perlu diketahui, bahwa bepergian itu ada dua macam : Pertama : pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu mendaki dari satu tangga sifat ke sifat lain. Banyak orang yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan sedikit sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ada seorang Syeikh dan kalangan Sufi di sebuah desa di luar Naisabur. Ia memiliki beberapa karya tulis. Suatu ketika beberpa orang bertanya padanya : ‘Apakah engkau bepergian, wahai syeikh?” Syeikh itu menjawab : Bepergian di bumi atau bepergian ke langit?” Kalau bepergian di muka bumi, tidak. Tapi kalau bepergian ke langit, memang benar.”
Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah : “Suatu hari, sebagian fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir itu berkata padaku : “Aku telah menempah perjalanan jauh yang meletihkan, hanya untuk menemuimu.’ Aku menjawab : Sebenarnya Anda cukup selangkah saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu sendiri.”
Kisah-kisah bepergian mereka bermacam-macam, baik dalam ragam maupun tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani berkata, : “Aku berada di tengah padang pasir dalam keadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan, sembari berdoa : “Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang letih, padahal aku datang untuk menjadi tamu-Mu.” Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku : “Siapa yang mengundang kamu.” Aku berkata : “Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana Thufaily.” Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap : “Hai orang ajam, mau ke mana kamu!” Kukatakan : “Menuju ke Mekkah al Mukarramah, semoga Allah swt. menjaganya.” Si Badui itu berujar, : “Apakah Allah mengundangmu?” Aku menjawab : “Aku tidak tahu.” Selanjutnya orang itu berkata : “Bukanlah Allah swt. berfirman : ..... bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah?” (Qs. Ali Imran :97). Kukatakan padanya : “Kerajaan kan luas termasuk Thufaily.” Tiba-tiba ia menyahut : “Wahai Thufaily, ternyata adalah engkau. Apakah engkau berkenan untuk diantar unta?” Kujawab : “Ya!” Lelaki Badui itu turun dari kendaraannya dan memberikan unta itu padaku, dan berkata, : “Berjalanlah di atas unta.”
Sebagian para fakir berkata kepada Muhammad al-Kattany : “Berilah aku wasiat.” Jawab al-Kattany : Tekunlah kamu, agar setiap malam menjadi tamu masjid, dan kamu tidak mati kecuali di antara dua tempat itu.”
Ali-al-Hushry berkata : “Sekali duduk lebih baik dibanding seribu argumentasi. Yang dimaksud dengan sekali duduk, adalah upaya cita-cita terkumpul menurut sifat penyaksian. Sepanjang umurku, sungguh yang demikian lebih baik daripada seribu argumentasi menurut sifat kegaiban.”
Muhammad bin Ismail al-Farghany berkata : “Kami bepergian selama kira-kira duapuluh tahun, saya dan Abu Bakr az-Zaqqaq serta Muhammad al-Kattany. Selama itu kami tak pernah bergaul atau bercampur dengan sesama orang. Bila kami datang ke suatu negeri, --- kalau di sana ada seorang syeikh – kami membei salam dan mengikuti majelisnya hingga malam hari, kemudian kami kembali ke masjid. Semetara Muhammad al-Kattay selalu shalat dari awal hingga akhir malam, mengkhatamkan Al-Qur’an. Sedangkan Az-Zaqqaq duduk menghadap kiblat. Aku sendiri bertafakur, hingga dini hari. Kami bersama shalat fajar, dengan lebih dahulu wudhu pada sepertiga malam terakhir. Bila ada orang yang masih tidur, kami melihatnya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai etika bepergian, katanya : “Hendaknya cita-citanya tidak melampaui langkahnya. Bila di mana saja hatinya ingin berhenti, di sanalah tempat tinggalnya.”
Diriwayatkan dari Malik bin Dinar yang berkata : “Allah swt. memberi wahyu kepada Musa as : “Ambillah dua sandal dari besi, dan tongkat dari besi. Kemudian hentakkan di muka bumi, dan raihlah kebajikan dan pelajaran, sampai kedua sandal menjadi robek dan tongkat terbelah.”
Dikatakan : “Muhammad bin Ismail al-Maghriby senantiasa melancong disertai para murid-muridnya. Ketika sedang ikhram, dan sudah tahalul dari ihramnya, ia ihram untuk berikutnya. Sementara bajunya tak pernah kotor, kukunya tak pernah panjang, begitu pula rambutnya. Sedangkan murid-muridnya berjalan di malam hari, dibelakangnya. Apabila salah seorang di antara mereka ada yang menyimpang dari jalan yang dilalui, ia selalu menegur : “Hai Fulan, sebelah kananmu, hai si Fulan! Sebelah kirimu. Ia pun tidak pernah menjulurkan tangannya pada hal-hal yang bisa diraih oleh manusia. Makanannya hanya kar tumbuh-tumbuhan yang diambil kemudian dipotong untuk dimakan. Bahkan dikisahkan, bila ada teman yang berkta padanya : “Berdirilah.” Ia selalu menjawab : “Kemana?” Maka ia tak punya teman.”
Seorang penyair berdendang :
Bila mereka minta bantuan
Tidaklah meminta orang yang memanggil mereka
Di mana pun suatu peperangan
Ataukah di temepat manapun juga.
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Ribathy, berkata : “Aku menemani Abdullah al-Maruzy, dan ia sedang memasuki padang pasir tanpa bekal maupun kendaraan, sebelum aku menemaninya. Ketika aku telah menemani, ia berkata kepadaku :
“Mana yang lebih Anda cintai, Anda pimpinannya atau aku.”
“Tidak, aku lebih senang Anda saja.” Kataku.
“Kalau begitu Anda harus patuh.”
“Ya” jawabku.
Kemudian ia mengambil keranjang untuk ditempati bekal, lalu keranjang itu ia panggul di atas punggungnya. Bila aku minta beban itu dengan kataku : “Mana, berikan keranjang itu, aku bawakan.” Pintaku. Ia lantas menjawab : “Akulah pemimpin, dan Anda harus patuh.”
Tiba-tiba suatu malam turun hujan hingga pagi. Hujan itu membasahi kepalaku, sementara kain penutup miliknya ia bentangkan untuk menghalangi air hujan padaku. Aku berkata dalam hatiku : “ah, celaka bila aku mati, padahal belum kukatakan padanya : “Engkaulah pemimpin!.” Lalu ia berkata padaku : “Bila Anda bersahabt dengan orang lain, maka temanilah ia seperti Anda melihat bagaimana aku menemanimu.”
Seorang pemuda datang pada Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary. Ketika ia hendak keluar, ia berkata : “Syeikh mengatakan sesuatu. “Hai anak muda, mereka tidak berkumpul karena janji, tidak pula berpisah melalui musyawarah.”
Abu Abdullah an-Bashibainy berkisah : “Aku mengembra selama tiga puluh tahun, tak pernah sekalipun aku menambal pakaianku yang sobek. Aku juga tak pernah mampir ke suatu tempat yang kuketahui, bahwa di tempat itu ada seorang teman. Aku tak pernah membiarkan seseorang yang membawa beban, bila ia bersamaku.”
Ketahuilah, para sufi saling menepati adab penghadiran jiwa melalui mujahadah. Kemudian mereka ingin menyandarkan sesuatu pada mujahadah itu. Lalu mereka menyandarkan aturan-aturan bepergian atau pengembaraan pada cara seperti itu, sebagai olah jiwa untuk keluar dari segala hal yang dimaklumi, dan membawanya untuk berpisah dengan segala pengetahuan, agar senantiasa hidup bersama Allah swt. tanpa ketergantungan dan perantara. Dan mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan wirid-wiridnya sekalipun dalam masa pengembaraannya. Mereka berkata : “Kemurahan diberikan  pada orang yang bepergian karena darurat. Sedangkan kita, tidak punya kesibukan sama sekali, dan tentunya tidak ada darurat dalam bepergian kita.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Sekali waktu, aku pernah merasa tak tahan di padang pasir, sampai aku merasa putus asa. Tiba-tiba mataku melihat rembulan di siang hari itu. Di sana tertulis ayat :
“Maka, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka.” (Qs. Al-Baqarah :137).
Sejak saat itu, aku menjadi bebas dan terbuka.”
Abu Ya’kub as-Susy berkata : “Sorang musafir butuh empat hal dalam bepergiannya : ilmu sebagai pertimbangannya; Wara’sebagai pagarnya; kerinduan yang membebaninya; dan akhlak yang menjaganya.”
Dikatakan : “Bepergian menggunakan kata sifr (tulisan), karena merupakan catatan dari akhlak para tokoh.”
Disebutkan : Ibrahim al-Khawwas tidak pernah membawa beban dalam bepergiannya. Hanya saja ia tidak pernah berpisah dengan jatum dan tempat air. Jarum untuk menjahit pakaiannya yan robek, agar auratnya tertutup, sdangkan tempat air digunakan untuk wudhu. Untuk itu pun ia tak pernah bergantung dan memberitahu oarng lain.”
Riwaya dari Abu Abdullah Razy yang berkta : “Aku keluar dari Tharsus memakai sandal, bersama seorang teman. Kami memasuki salah satu perkampungan Syam. Tiba-tiba seorang fakir datang kepadaku dengan membawa sepatu, dan aku menolak untuk menerimanya. Temanku bertanya : “Bukankah ini bisa dipakai, dan Anda kelihatan lelah, padahal toh, Anda telah membuka (mencopo) sandal itu karena aku.” Aku katakan padanya : “Kenapa Anda ini?”
Teman tadi bicara  : “Aku juga mencopot sandalku agar sama dengan Anda, dan menjaga hak persahabatan.”
Dikatakan : “Ibrahim al-Khawwas bepergian bersama tiga kelompok, dimana akhirnya mereka ssampai di sebuah massjid pada suatu lembah. Mereka pun menginap di sana. Masjid itu tak berpintu, sementara udara dingin mencekan mereka. Ketika dini hari bangun, mereka melihat Ibrahim berdiri di sebuah pintu. Mereka bertanya : “mengapa Ibrahim ada di sana? Beliau menjawab : “Aku khawatir jika kalian tercekam kedinginan (sehingga aku berdiri untuk menghalangi udara).” Sungguh, Ibrahim telah berdiri semalam suntuk di pintu itu.”
Dikishakan : “Muhammad al-Kattany minta izin ibunya untuk pergi haji. Ibunya pun memberi izi. Di tengah padang pasir bajunya terkena air kencing. Lalu ia mengatakan : “Sungguh, ini suatu cela bagi keadaan batinku.” Kemudian ia kembali pulang. Ketika mengetuk pintu rumahnya, ibunya menjawab. Setelah pintu dibuka, ia melihat ibunya duduk di belakang pintu. Ia bertanya mengapa sang ibu duduk di sana. Ibunya menjawab : “Sejak engkau keluar, aku bertekad untuk tidak beranjak dari tempat ini, sampai aku melihatmu lagi.”
Ibrahim al-Qashshar berkata : “Saya pergi selama tiga puluh tahun, dalam rangka mendekatkan agar manusia peduli dengan para fakir.”
Seorang laki-laki ziarah ke tempat Dawud ath-Tha’y. Orang itu berkata padanya : “Wahai Abu sulaiman, pada diriku ada rasa yang bertentangan untuk menemuimu sejak beberapa waktu terakhir ini.” Daud menjawab : “Tidak apa-apa. Bila tubuh tak bergerak, hati tentram, maka pertemuan lebih gampang.”
Saya mendengar Abu Nashr ash-Shufy r.a. berkata : “Aku keluar dari Selat Oman, ketika itu perutku terasa lapar. Aku berjalan di pasar, sesampai di kedai makanan, di sana ada beberapa makanan dan manisan. Lalu aku bermaksud minta tolong pada seseorang. Kukatakan padanya : “Bisakah Anda membelikan barang ini untukku?” Lelaki itu menjawab : “Mengapa?” Apakah aku punya tanggungan padamu?” Atau aku punya semacam uang?” Aku menjawab : “Anda harus membelinya untukku.” Tiba-tiba ada seseorang yang melihatku, sembari berkata : “Hai anak muda, tinggalkan dia. Orang yang wajib membelikan apa yang kau mau adalah aku, bukan dia. Silahkan ambil sekehendakmu.” Ia membelikan sesuai apa yang ku maui, dan orang itu pergi begitu saja setelah itu.
Abul Husain al-Mishry berkata : “Aku sepakat dengan asy-Syajary dalam suatu acara bepergian dari Tharablus. Kami berjalan selama beberpa hari, tidak makan sedikitpun. Sejenak aku melihat kambing jantan sudah dimasak. Aku mengambil dan memakannya. Tiba-tiba Syeikh asy-Syajary berpaling kepadaku, sama sekali tidak berucap apa-apa. Lalu kubuang saja makanan itu, karena aku melihat Syeikh tidak suka. Kemudian ia membuka uang lima dinar buat kami. Kami memasuki suatu desa. Aku berkata dalam hati : “Aku akan dibelikan sesuatu, tidak mustahil!.” Namun syeikh tetap berlalu dan tidak berbuat apa-apa, sembari berkata : “Mungkin Anda akan berrkat, ‘Kita ini berjalan dalam keadaan lapar, dan Anda tidak membelikan apa-apa buta kita, begitu?” Kemudian di tengah jalan kami menjumpai orang Yahudi. Dan di sana pula ada seseorang yang memiliki keluarga. Ketika kami masuk ke rumahnya, tampak sekali mereka repot atas kedatangan kami. Kemudian uang itu diberikan pada lelaki tadi, agar membelanjakan untuk kami dan keluarganya. Ketika kami sudah keluar, syeikh itu berkata kepadaku : “Kemana wahai Abul Husein?” Aku menjawab : “Aku berjalan bersamamu.” Beliau menjawab balik : “Tidak, Anda sebenarnya mengkhianatiku ketika melihat kambing jantan (yang masak), dan Anda masih menemaniku. Jangan begitu.” Lantas syeikh itu menolak untuk kutemani.”
Saya mendengar dari Muhammad Abdullah asy-Syirazy yang berkata, bahwa ia mendengar langsung dari Abu Ahmad ash-Shaghir, yang mendengar dari Abu Abdullah bin Khafif yang berkata : “Pada saat awal perjalanan ruhaniku, sebagian para fakir menghadap kepadaku. Ia melihat bekas kesedihan dan kelaparan pada mulutku. Kemudian aku dimasukkan ke dalam rumahnya, dihidangi daging yang dimasak dengan kisyik. Sementara daging itu mulai basi. Aku memakan roti remuk yang direndam, dan menjauhi daging karena basinya. Lantas kau mengambil sesuap, dan memakan dengan hati yang berat. Begitu juga ketika suapan kedua, terasa semakin berat hatiku. Si fakir itu melihat keresahanku, dan wajhnya tampak berubah. Romanku juga ikut berubah melihat perubahan roman si fakir itu. Aku lalu keluar meneruskan perjalanan. Aku mengirim seseorng kepada ibuku agar membawa lembaran (kertas). Ibuku tidak menolak, dan rela atas kepergianku. Aku pun berangkat ke Qadisiah bersama kelompok orang-orang fakir. Kami memakan apa adanya yang ada pada kami, dan kami terancam penderitaan. Akhirnya kami sampai ditengah kehidupan orang-orang Arab, toh, kami tak mendapatkan apa-apa. Kami pun merasa menderita, hingga kami ingin membeli anjing dari mereka dengan beberapa dinar dan memasaknya. Mereka memberi sedikit dagingnya. Namun ketika aku akan memakannya, aku berpikir sejenak tentang keadaanku. Tiba-tiba perasaanku mengatakan bahwa tindakanku membuatnya tersiksas yang memalukan pada si fakir itu. Aku bertobat dalam hatiku. Dan si fakir terdiam, lantas memberi petunjuk jalan padaku. Aku pun berlalu dari tempat itu, dan pergi berhaji. Ketika pulang, aku mohon maaf pada si fakir tadi.”

Tiada ulasan: