Allah swt.
kberfirman :
“Dan Tuhan kamu
sekalian adalah Tuhan Yang Esa.” (Qs. Al-Baqarah :163).
Rasulullah saw. bersabda :
“Ada seseorang
dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali tidak pernah beramal
baik kecuali bahwa ia bertauhid saja. Orang tersebut berwasiat pada
keluarganya, “Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah diriku, kemudian
taburkan separo tubuhku di darat dan separohnya lagi di laut pada saat angin
kencang.” Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah swt.
berfirman pada angin, “Kemarikan apa yang kami ambil.” Tiba-tiba orang tersebut
sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Alalh swt. bertanya pada orang tersebut,
“Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?” Dia menjawab : Karena malu
kepada-Mu.” Kemudian Allah swt. mengampuni-nya (H.r. Bukhari).
Tauhid adalah suatu hubungan bahwa sesungguhnya Allah swt. Maha Esa, dan
mengetahui bahwa sesuatu itu satu, bisa dikatakan tauhid pula. Dikatakan,
Wahhadathu, apabila Anda menyifati-Nya dengan sifat Wahdaniyah. Seperti
dikatakan : “Anda berani dengan si Fulan bila Anda dihubungkan dengan sifat
keberanian (syaja’ah).”
Dari segi etimologi (lughat) disebutkan, wahhada, yahiddu, fahuwa waahid,
wahd dan wahiid. Seperti diucapkan : Farrada fahuwa faarid, fard dan fariid.
Akar kata Ahada, adalah wahada, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah,
sebagaimana huruf-huruf yang di-kasrah dan dhammah, diganti.
Makna eksistensi Allah swt. sebagai berifat Esa didasarkan ucapan ilmu.
Dikatakan : “Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk disifati dengan penempatan
dan penghilagnan.” Berbeda dengan ucapan Anda, manusia satu, berarti Anda
mengatakan, ‘manusia tanpa tangan dan tanpa kaki.” Sehingga dibenarkan
hilangnya sesuatu dari organ manusia. Sedangkan Allah swt. adalah ketunggalan
Dzat.”
Sebagaian ahli hakikat berkata : “Arti bahwa Allah itu Esa, adalah
penafian segala pembagian terhadap Dzat, penafian terhadap penyerupaan tentang
Hak dan Sifat-sifat-Nya, serta penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam
Kreasi dan Cipta-Nya.”
Tauhid ada tiga kategori : Pertama, tauhdi Allah swt. bagi Allah swt.
yakni ilmu-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah esa. Kedua, tauhidnya Allah swt.
terhadap makhluk, yaitu ketentuan-Nya, bahwa hamba adalah yang menauhidkan dan
menjadi ciptaan-Nya, atau disebut tauhidnya hamba. Ketiga, tauhidnya makhluk
terhadap Alalh swt. yaitu pengetahuan bahwa Allah swt. Yang Maha Perkasa dan
Agung adalah Maha Esa. Ketentuan dan Khabar dari-Nya, menegaskan bahwa Dia
adalah Esa. Semua wacana ini mengandung artian tauhid dalam ungkapan yang
ringkas.
Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang tauhid, ia berkata, “Hendaknya engkau
ketahui bahwa kekuasaan Allah terhadap makhluk ini tanpa ada campur tangan;
cipta-Nya terhadap segala sesuatu tanpa unsur luar; tak ada sebab langsung
segala yang ada adalah ciptaan-Nya; ciptaan-Nya pun tidak ada cacat. Setiap
yang terproyeksi dalam gambaran jiwamu (tentang Alalh), ,maka Allah swt. pasti
berbeda.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Tidak ada bagi ilmu tauhid kecuali sekedar
ucapan tentang tauhid saja.”
Al-Junay ditanya seputar tauhid, jawabnya : Menunggalkan Yang
Ditunggalkan melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya, dengan keparipurnaan
Tunggal-Nya, bahwa Dia adalah Yanga Maha Esa, Yang tidak beranak dan tidak
diperanakkan, dengan menafikan segala hal yang kontra, mengandung keraguan dan
keserupaan; tanpa keserupaan, tanpa bagaimana, tanpa gambran dan tamsil. Tiada
sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Al-Junayd berkomentar : “Bila akal para pemikir sudah mencapai ujungnya dalam
tauhid, akan berujung pada kebingungan.” Saat kembali ditanya soal tauhid,
al-Junayd menjawab : “Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dan didalamnya
terkandung sejumlah ilmu. Sedangkan Alalh sebagaimana Ada-Nya.”
Al-Hushry berkata : “Prinsip amaliah tauhid kita mendasarkan pada lima
hal : Menghilangkan sifat baru (hadits); menunggalkan Yang Qadim; menghindari
teman (yang mungkar); berpisah dari tempat tinggal; dan melupakan apa yang
diketahui dan tidak.”
Manshur al-Maghriby berkata : “Tauhid adalah mengugurkan seluruh
perantara ketika terliput oleh perilaku ruhani, dan kembali kepada perantara
itu di sisi hukum, sebab kebajikan-kebajikan tidak akan merubah pembagian,
apakah celaka atau bahagia.”
Al-Junayd ditanya soal tahidnya kalangan khusus. Ia berkata : “Hendaknya
hamba menengadahkan di sisi Alalh swt.; dimana urusan-urusan Allah berlaku di
sana dalam lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya dalam arungan samudera
tauhid-Nya, melalui fana’ dari dirinya, fana’ dari ajakan makhluk dan menjawab
ajakannya, melalui hakikat Wujud-Nya,
dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat kedekatan pada-Nya, dengan cara
menghilangkan rasa dan geraknya karena Tegaknya Alalh swt. sebagaimana
kehendak-Nya : yaitu sang hamba dikembalikan pada awalnya. Sehingga ia
sebagaimana adanya, sebelum dirinya ada.”
Al-Busyanjy ditanya tentag tauhid : “Tidak adanya keserupaan Dzat dan
tidak adanya faktor penafian sifat.” Jawabnya.
Sahl bin Abdullah ditanya soal Dzat Allah swt. Dia menejawab : “Dzat
Allah swt. disifati dengan sifat Ilmu, tetapi tidak bisa dditerka melalui
jangkuan, tidak terlihat melalui mata di dunia. Allah swt. maujud melalui
kebenaran iman, tanpa dibatasi, jangkauan dan penjelmaan. Mata akan memandang
di akhirat nanti, yang Tampak di kerajaan dan kekuasaan-Nya. Makhluk telah
tertirai dalam mengenal eksistensi Dzat-Nya. Namun Allah swt. menunjukkan
melaui ayat-ayat-Nya. Hati mengenal-Nya, sedang akal tidak menemukan-Nya.
Orang-orang yang beriman melihat-Nya dengan mata hati tanpa adanya jangkauan
dan penemuan ujungnya.”
Al-Junayd berkata : “Kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah apa yang
telah diucapkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. : “Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan
jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak
berdaya mengenal-Nya.”
Al-Junayd mengomentarinya : “Diaksudkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.
bahwa Allah swt. itu tidak bisa dikenal. Sebab menurut ahli hakikat, yang dimaksud
dengan tidak berdaya,a dalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam
arti tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari
duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk
itu sendiri maujud di dalamnya. Begitu pula orang yang ‘arif (mengenal Allah
swt.) tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu maujud di dalam
dirinya, karena sifatnya yag langsung. Menurut kalangan Sufi, Ma’rifat kepada
Allah swt. pada ujung terakhirnya adalah bersifat langsung. Ma;rifat yang
dilakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma;rifat itu
merupakan hakikat.” Ash-Shiddiq r.a. sedikitpun tidak memperhitungkan ma’rifat
yang disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit
dan cahayanya membias pada lampu itu.”
Al-Junayd berkata : “Tauhid yang dianut secara khusus oleh para Sufi,
adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari yang hadits, keluar meninggalkan
tempat tinggal, memutus segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun
tidak diketahui, dan Allah swt. berada dalam keseluruhan.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Siapa yang tercebur dalam samudera tauhid,
tidak akan bertambah dalam waktu yang berlalu, kecuali rasa dahaga yang terus
menerus.”
Ada seseorng berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin Manshur :
“Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana yang ditunjukkan kaum Sufi?”
Husain menjawab : “Dia-lah Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak
disebabkan oleh apa-pun.”
Al-Junayd berkata : “Ilmu tauhid memisah dengan eksistensinya, dan
eksistensinya berpisah dengan ilmunya.” Al-Junayd berkata pula : “Ilmu tauhid
melipat hamparannya sejak duapuluh tahun. Sedangkan manusia sama-sama
membincangkan dalam hatinya.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Siapa yag meliaht sebiji sawi ilmu tauhid, ia
akan lunglai membawa sisa-sisa kulitnya, karena berat bebannya.”
Dulaf as-Syibly ditanya tentang tauhid yang hanya diucapkan melalui lisan
kebenaran secara tersendiri. Beliau berkata : “Celaka Anda!” Siapa yang
menjawab tauhid melalui ungkapan ibarat, dia telah menyimpang. Dan siapa yang
menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut dualisme. Siapa yang menunjukkan
lewat isyaratanya pada tauhid, berarti ia menyembah berhala. Siapa yang bicara
dalam tauhid, berarti ia alpa. Namun siapa yang diam dari tauhid, berarti dia
bodoh. Siapa yang menganggap dirinya telah sampai kepada-Nya, berarti dia tidak
sukses. Barangsiapa merasa dirinya dekat dengan-Nya, sebenarnya ia jauh
dari-Nya. Siapa yang merasa menemukan-Nya, berarti telah kehilangan. Semua yang
Anda istimewakan melalui pandang khayal Anda, dan Anda temukan melalui akal
dalam pengertian yang lebih sempurna, maka sebenarnya semua itu terlempar dan
tertolak pada Anda. Semua merupakan sesuatu yang dicipta dan terbuat seperti
eksistensi Anda sendiri.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Tauhidnya orang khusus, yaitu tauhid itu
total dengan batin, ekstase dan kalbunya. Seakan-akan ia bediri di sisi Allah
swt. mengikuti aliran yang berlaku dalam aturan-Nya dan hukum-hukum Qudrat-Nya,
mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa karena tegak-Nya al-Haq
Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-Nya, Maka, sebagaimana dikatakan, bahwa
ia hendaknya berada dalam arus ketentuan Allah swt.”
Dikatakan : “Tauhid hanya bagi Allah swt. sedangkan makhluk hanyalah
benalu.”
Dikatakan : “Tauhid berarti mengugurkan “kekuatan” karenanya jangan
bicara : “Bagiku, denganku, dariku dan kepadaku.”
Abu Bakr ath-Thamastany ditanya : “Apakah tauhid itu?” Beliau menjawab :
“Yaitu tauhid, muwahhad dan muwahhid, semuanya berjumlah tiga.”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tauhid berarti melebur unsur-unsur
kemanusiaan, dan manunggal dengan Ketuhanan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata menjelang akhir
hayatya, di saat sakitnya mulai parah : “Salah satu tanda keteguhan hati,
adalah memelihara tauhid dalam waktu-waktu kenetuan huku,”. Kemudian beliau
berketa seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa yang terjadi dalam
perilaku ruhaninya, “Yaitu Anda dipotong oleh gunting-gunting takdir, dalam
pelaksanaan ketentuan-ketentuan, sepotong-potong, sedang Anda tetap bersyukur
dan memuji.”
Asy-Syibly berkata : “Tak akan mencium bau tahid, orang gyang tergambar
dalam dirinya sesuatu tentang tauhid.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Tahap mula bagi orang yang
menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya adalah fana’ dari ingatan atas segala
hal dari hatinya, kecuali hanya kepada Alalh swt.”
Asy-Syibly berkata pada seseorang : “Apakah Anda mengerti, mengapa tauhid
Anda tidak sah?” Maka dijawab sendiri oleh asy-Syibly : “Karena Anda mencarinya
melalui diri Anda.”
Ibnu Atha’ berkata : “Tanda-tanda hakikat tauhid adalah melupakan tauhid,
yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan tauhid hanya Sat.”
Dikatakan : “Pada diri manusia ada golongan yang dalam tauhidnya terbuka
melalui perbuatan, melihat segala ciptaan ini bersama Allah swt. Diantaranya
ada yang terbuka melalui hakikat, sehingga perasaannya membuang segala hal
selain Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al-Jam’u) secara batin. Dan
lahiriahnya, melalui lewat diskripsi keragman.”
Al-Junayd ditanya tentang tauhid : “Aku mendengar orang bersayir :
Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
Dan mereka sebagaimana kami ada.”
Ditanyakan kepada al-Junayd : “Keahlian Anda (di bidang) Al-Qur’an dan
Hadist?” Al-Junayd menjawab : “Tidak. Tetapi orang yang menunggalkan-Nya meraih
tauhid tertinggi dan ucapan terendah dan teringan.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan