Adapun orang yang takutkan keadaan semasa dia berdiri di mahkamah Tuhannya, (untuk dihitung amalnya), serta dia menahan dirinya dari menurut hawa nafsu; Maka sesungguhnya Syurgalah tempat kediamannya. (An-Naziat: 41)
Diriwayatkan dari Jabir ra bahawa Rasulullah saw telah mengatakan, “Hal yang paling kutakutkan pada umatku adalah menurut hawa nafsu dan panjang harapan [terhadap dunia]. Menurut kehendak hawa nafsu memalingkan manusia dari Tuhan, dan harapan yang berpanjangan [terhadap dunia] membuat orang lupa kepada akhirat.” Kerana itu, ketahuilah bahawa melawan hawa nafsu adalah awal ibadah.
Ketika para syeikh ditanya tentang Islam, mereka menjawab, “Islam beerti membedah hawa nafsu dengan pisau penentangan. Dan ketahuilah bahawa bagi seseorang yang hawa nafsunya telah bangkit, keakrabannya [dengan Tuhan] pun akan terbenam.”
Dzun Nun Al-Mishri menyatakan, “Kunci ibadah adalah tafakur. Tanda tercapainya tujuan adalah perlawanan terhadap hawa nafsu dengan meninggalkan keinginan-keinginan.”
Abu Hafs mengatakan, “Barangsiapa yang tidak mencurigai dirinya dalam setiap keadaan, tidak menentangnya dalam setiap keadaan, dan memaksakan dirinya apa yang tidak disukainya dalam semua hari-harinya, adalah manusia yang tertipu. Dan barangsiapa yang memberikan perhatian kepada nafsu dan menyetujui sebahagian darinya beerti ia telah menghancurkan dirinya.”
"Dan tiadalah aku berani membersihkan diriku; sesungguhnya nafsu manusia itu sangat menyuruh melakukan kejahatan, kecuali orang-orang yang telah diberi rahmat oleh Tuhanku (maka terselamatlah dia dari hasutan nafsu itu). Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani." (Yusuf: 53)
Al-Junaid menuturkan, “Suatu malam aku tidak dapat tidur, lalu aku bangun untuk melaksanakan wiridku. Tetapi aku tidak menemukan kemanisan atau kenikmatan yang biasanya kurasakan dalam percakapan akrabku dengan Tuhan. Maka aku menjadi bingung dan berharap dapat tidur sahaja, tapi tidak dapat. Lalu aku duduk, tetapi aku tidak dapat duduk nyaman. Maka kubuka jendela dan aku pergi ke luar. Kulihat seorang laki-laki berselimutkan baju bulu sedang berbaring di jalan. Ketika dia menyedari kehadiranku, dia mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai Abul Qasim, lihatlah waktu! [Engkau telah terlambat]” Aku menjawab, “Tapi tidak ada ketentuan waktu.” Dia berkata, “Bahkan aku sudah memohon kepada Sang Pembangkit Hati agar menggerakkan hatimu kepadaku.” Aku berkata, “Dia telah melakukannya. Jadi apa keinginanmu?” Dia menjawab, “Bilakah penyakit diri menjadi ubat bagi dirinya sendiri?” Aku menjawab, “Jika dirinya sendiri menentang hawa nafsunya, maka penyakitnya akan menjadi ubatnya bagi dirinya sendiri.” Kemudian laki-laki itu berpaling pada dirinya sendiri dan berkata kepadanya, “Dengar, aku telah menjawab pertanyaanmu 7 kali dengan jawapan seperti itu, tapi engkau menolak menerimanya sampai engkau mendengarnya dari Junaid, dan sekarang engkau telah mendengarnya.” Kemudian dia meninggalkan aku. Aku tidak tahu siapa dia dan tidak pernah bertemu lagi dengannya sejak itu.
Abu Bakr At-Tamastani mengatakan, "Rahmat terbesar adalah jika engkau muncul melampaui dirimu sendiri, sebab ia adalah tabir paling besar antaramu dengan Allah SWT. "
"Tidak ada ibadah bagi Allah selain yang lebih utama dari menetang hawa nafsu", kata Sahl bin Abdullah.
Ketika ditanya tentang hal yang paling dibenci oleh Allah SWT, Ibn Atha menjawab, “Memberikan perhatian kepada diri sendiri dan keadaan-keadaannya. Lebih buruk dari itu adalah mengharapkan imbalan bagi perbuatan-perbuatannya.”
Ibrahim Al-Khawwas menuturkan, “Aku sedang berada di atas gunung Al-Lakam, ketika aku melihat sekumpulan pohon delima, dan aku ingin memakan buahnya sebiji. Maka aku lalu naik ke atas dan memetik sebiji darinya dan membelahnya akan tetapi rasanya masam. Lalu aku meihat seorang laki-laki terbaring di tanah, dikerumuni lebah. Aku berkata kepadanya, “Assalamualaikum”. Dia menjawab, “Wa’alaikumussalam, wahai Ibrahim.” Aku bertanya, “Bagaimana engkau mengetahui namaku?” Dia menjawab, “Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari manusia yang mengenal Allah SWT.” Aku berkata, ku-lihat engkau berada dalam keadaan bersama Allah. Mengapa engkau tidak meminta kepada-Nya agar melindungimu dari gangguan lebah-lebah ini?” Dia berkata, “Dan engkau, kulihat engkau pun berada dalam keadaan bersama Allah SWT. Mengapa pula engkau tidak meminta kepada-Nya agar melindungimu dari keinginan untuk makan delima?” Manusia akan mengalami rasa sakit dari sengatan terhadap delima di akhirat, sementara dia merasa sakit akibat sengatan lebah di dunia! Aku pun pergi meninggalkan orang itu dan meneruskan perjalananku.
Abu ‘Abdurrahman As-Sulami menuturkan bahawa datuknya pernah berkata, “Malapetaka seorang hamba adalah rasa puasnya dengan keadaan dirinya.”
Isham bin Yusuf Al-Balkhi mengirimkan sesuatu kepada Hatim Al-Ashamm. Seseorang bertanya, “Mengapa anda menerimanya?” Dia menjawab, “Dengan menerimanya aku merasakan rasa maluku sekaligus merasakan kebanggaannya. Sebaliknya, apabila aku menolaknya aku merasakan kebanggaanku dan kehinaanku daripada kehinaannya.”
Seseorang berkata kepada salah seorang sufi, “Aku ingin melaksanakan ibadah haji dalam keadaan tidak memiliki apa-apa.” Sang sufi menjawab, “Lebih dahulu buanglah sifat lalai dari dalam hatimu, dan percakapan yang sia-sia dari lidahmu; setelah itu pergilah ke mana sahaja engkau mahu.”
Abu Sulaiman Ad-Darani, mengatakan “Orang yang melewat malam harinya dengan cara yang baik akan memperoleh balasan di siang harinya, dan orang yang melewati siang dengan cara yang baik akan memperoleh balasan di malam harinya.”
Barangsiapa yang tulus dalam menjauhi hawa nafsu akan terbebas dari beban memberi nafsu makanan. Allah bersifat Maha Pemurah hingga tidak mahu menghukum hati yang menjauhi hawa nafsu demi Dia.
Allah mewahyukan kepada Dawud, “Wahai Dawud, peringatkanlah para sahabatmu terhadap sikap menuruti hawa nafsu, sebab pemahaman hati yang terikat kepada hawa nafsu dunia terdinding dari Ku”.
Dikatakan bahawa seseorang sedang duduk di udara, dan seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau dapat melakukan hal ini?” Dia menjelaskan, “Aku meninggalkan hawa nafsu (hawaa), maka Allah menjadikan udara (hawaa’) tunduk kepadaku.”
Dikatakan, “Jika seribu hawa nafsu ditawarkan kepada seorang mukmin, nescaya dia akan menolaknya dengan rasa takut kepada Allah. Tetapi jika pemenuhan satu kehendak hawa nafsu ditawarkan kepada seorang pendosa, pemenuhan itu akan mengusir darinya rasa takut kepada Allah.”
“Jangan kamu tempatkan kendalimu di tangan nafsu, sebab ia pasti akan membawamu kepada kegelapan.”
Yusuf bin Asbat mengatakan, "Hanya takut yang sangat atau kerinduan yang gelisah sajalah yang dapat memadamkan nafsu dalam hati."
Ja’far bin Nashir mengabarkan, “Junaid memberikanku wang satu dirham dan menyuruhku membeli buah kenari. Kubeli beberapa biji, dan ketika saat berbuka puasa tiba, dia memecahkan salah satunya dan memakan isinya. Tapi kemudian dia memuntahkannya dan menangis. “Singkirkan buah-buah ini. Sebuah suara berseru dalam hatiku, “Tidakkah kau punya rasa malu? Engkau menjauhi satu nafsu demi Ku, tapi kemudian mengambilnya lagi!”
Kaum sufi menuturkan, “Huruf nun dari kata hawan (kehinaan) telah dicuri dari kata hawaa (nafsu). Menyerah kepada setiap hawa nafsu beerti menjadi korban kehinaan.” Ketahuilah bahawa diri manusia memiliki sifat-sifat yang tercela, di antaranya adalah dengki.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan