TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN
IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN
IMAM IBN
QAYYIM AL JAUZIYAH
Ikhbat menurut pengertian bahasa artinya permukaan
tanah yang
rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula Ibnu
Abbas Radhiyallahu Anhu dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam ayat
Al-Qur'an sebagai orang-orang yang merendahkan diri. Sedangkan menurut Mujahid,
mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah, karena menurut
pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitin
artinya orang-orang yang khusyu'. MenurutIbrahim An-Nakha'y, artinya
orang-orang yang shalat dan ikhlas. MenurutAl-Kalby, artinya orang-orang yang
hatinya lembut. Menurut Amr bin Aus,artinya orang-orang yang tidak berbuat
zhalim, dan jika dizhalimi tidak membalas. Allah befirman,
"Dan, berilah kabar gembira kepada orang-orang
yang merendahkan diri (kepada Allah)." (Al-Hajj: 34).
"Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri
kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya." (Hud: 23).
Pendapat-pendapat tentang lafazh mukhbitin ini
berkisar pada dua makna:
Merendahkan diri, dan merasa tenang terhadap Allah.
Karena itu lafazh ini disertai dengan kata ila (kepada), sebagai jaminan
terhadap pengertian ketenangan dan ketundukan kepada Allah.
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhbat ini
merupakan permulaan dari ketentraman", seperti ketenangan, keyakinan dan
kepercayaan kepada Allah, atau juga merupakan rasa percaya diri bagi musafir untuk
tidak surut ke belakang atau ragu-ragu. Karena ikhbat merupakan permulaan
posisi bagi orang yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah, yang tidak
akan menghentikan perjalanannya selagi dia masih bemapas, maka ikhbat ini bisa
diumpamakan air segar yang dilihat musafir saat kehausan di awal tahapan
perjalanannya, sehingga air yang diharapkannya menghilangkan keragu-raguannya
untuk membatalkan perjalanan, meskipun perjalanannya sulit dan berat. Apabila
ia mendapatkan air, maka keragu-raguan atau lintasan pikiran untuk membatalkan
perjalanan menjadi sirna. Begitu pula seorang perantau apabila dia sampai ke
tempat persinggahan yang pertama, yaitu thuma'ninah maka hilanglah keraguraguan
darinya.
Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ikhbat ini
didasarkan kepada tiga derajat:
1. Memperkuat penjagaan dalam menghadapi syahwat,
menjaga hasrat agar tidak lalai dan kecintaan yang dapat mengalahkan
kesenangan.
Alhasil, perlindungan dan penjagaannya dapat
mengalahkan syahwat, hasratnya dapat mengalahkan kelalaian, dan kecintaannya
dapat mengalahkan kesenangan.
2. Hasratnya tidak digugurkan satu sebab pun, hatinya
tidak diusik satu penghambat pun, dan jalannya tidak dipotong satu rintangan
pun. Ini tiga masalah lain yang dihadapi orang yang sedang berjalan kepada Allah
dan yang berada di tempat persinggahan ikhbat. Tapi selagi hasratnya sudah
bulat dan perjalanannya dilakukan secara sungguhsungguh, tentu tidak ada satu
sebab pun yang bisa menghambat perjalanannya.
Penghambat yang paling berat ialah kesepian saat
berjalan sendirian. Maka hal ini janganlah dianggap sebagai penghambat, sebagaimana
yang dikatakan seseorang yang lurus, "Kesendirian-mu dalam mencari sesuatu
merupakan bukti benarnya apa yang kamu cari."
Yang lain berkata, "Janganlah engkau merasa
kesepian karena sedikitnya orang yang berjalan bersamamu dan janganlah terkecoh
karena banyaknya orang yang binasa."
Sedangkan rintangan yang bisa memotong perjalanan
ialah hal-hal yang masuk kedalam hati seseorang sehingga dapat menghambatnya untuk
mencari dan mengikuti kebenaran. Bila seorang hamba sudah mantap berada di
tempat persinggahan ikhbat, hasrat dan pencarian-nya sudah kuat, maka tidak ada
rintangan yang bisa menghambatnya.
3. Sama bagi dia saat mendapatpujianataupuncelaan,
senantiasa mencela diri sendiri, dan tidak melihat kekurangan orang lain yang
di bawah dia derajatnya.
Hamba yang sudah mantap berada di tempat persinggahan
ikhbat, tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi
gembira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mere-ka.
Inilah sifat orang yang bisa melepaskan diri dari
bagian yang seharusnya diterimanya. Jika
seseorang terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka itu merupakan pertanda
bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan belum
merasakan
manisnya kebergantungan kepada-Nya.
Senantiasa mencela nafsu diri sendiri, entah yang
berkaitan dengansifat, akhlak atau perbuatannya yang tercela. Nafsu adalah
gunung yang sulit dilewati dalam perjalanan kepada Allah. Ini merupakan
satusatunya jalan kepada Allah bagi setiap orang, dan setiap orang juga harus
sampai kepada-Nya. Di antara mereka ada yang kesulitan melewatinya dan sebagian
yang lain ada yang mudah melewatinya berkat pertolongan Allah. Di atas gunung
ini ada lembah, perkampungan, jurang, duri, tebing yang terjal, ada perampok
yang akan menghambat siapa pun yang lewat di sana, terlebih lagi orang yang
mengadakan perjalanan pada malam yang gelap gulita.
Jika dia tidak mempunyai persiapan iman, pelita
keyakinan yang dinyalakan dengan minyak ikhbat, maka ia akan menyerah kepada
penghalang dan perintang yang ada, dan perjalanannya akan terhenti. Sementara
syetan juga ada di puncak gunung itu, menakut-nakuti manusia yang ingin mendaki
dan mencapai puncaknya. Di samping perjalanan melewati gunung itu sendiri sudan
sulit, ditambah lagi dengan ketakutan yang dihembuskan syetan, dan lemahnya
hasrat dan niat orangyang hendak melewatinya, ini semua membuat orang
memutuskan perjalanan dan kembali pulang.
Sesungguhnya orang yang terjaga dari godaan ini
hanyalah orang yang dijaga Allah.
Setiap kali perjalanan mendaki gunung ini bertambah
ke depan, semakin jelas terdengar teriakan syetan yang menakut-nakuti dan
meraperingatkannya.
Jika sudah sampai ke puncaknya, maka semua ketakutan itu
berubah menjadi rasa aman. Pada saat itu perjalanan lebih ringan, rambu-rambu
jalan sudah ada, jalannya lapang dan aman, tinggal turun ke lerengnya.
"Tidak melihat kekurangan orang lain karena
derajat yang didapatkannya", artinya tidak memperhatikan keadaan orang
lain, karena dia disibukkan oleh urusannya sendiri dengan Allah, dan hatinya
yang dipenuhi kecintaan kepada-Nya, sekalipun derajatnya lebih tinggi dari orang-orang
lain. Andaikan dia sibuk memperhatikan keadaan orang lain, maka hal ini justru
akan menurunkan derajatnya dan membuatnya mundur ke belakang.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan