Catatan Popular

Isnin, 26 Februari 2018

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 38 : Raja'


TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN

IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH

Raja'

Kaitannya dengan tempat persinggahan raja' (mengharap) ini, Allah
telah befirman,

"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada
Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut adzab-Nya."(Al-Isra': 57).

Mencari jalan dalam ayat ini artinya mencari cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ubudiyah dan juga
mencintai-Nya. Ada tiga sendi iman: Cinta, rasa takut dan berharap.
Tentang harapan ini Allah telah menjelaskan,
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendak-lah
ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia memperseku-tukan
seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110).
"Mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah maha Pengam-pun
lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 218).
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Jabir Radhiyallahu Anhu,dia
berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, tiga hari sebelum wafat,
"Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal melainkan dia
berbaik sangka terhadap Rabbnya."
Juga dari Jabir disebutkan di dalam Ash-Shahih, Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Allah Azza wa Jalla befirman, 'Aku berada pada persangkaan hambaKu
kepada-Ku. Maka hendaklah dia membuat persangkaan kepada-Ku
menurut kehendaknya."
Raja' merupakan ayunan langkah yang membawa hati ke tempat
Sang Kekasih, yaitu Allah dan kampung akhirat. Ada yang berpendapat,
artinya kepercayaan tentang kemurahan Allah.
Perbedaan raja' (mengharap) dengan tamanny (berangan-angan),
bahwa berangan-angan disertai kemalasan, pelakunya tidak pernah bersungguh-
sungguh dan berusaha. Sedangkan mengharap itu disertai dengan
usaha dan tawakal. Yang pertama seperti keadaan orang yang berangan-
angan andaikan dia mempunyai sepetak tanah yang dapat dia tanami
dan hasilnya pun dipetik. Yang kedua seperti keadaan orang yang
mempunyai sepetak tanah dan dia olah dan tanami, lalu dia berharap
tanamannya tumbuh. Karena itu para ulama telah sepakat bahwa raja'
tidak dianggap sah kecuali disertai usaha. Raja' itu ada tiga macam; Dua
macam terpuji dan satu macam tercela, yaitu:
1. Harapan seseorang agar dapat taat kepada Allah berdasarkan cahaya
dari Allah, lalu dia mengharap pahala-Nya.
2. Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat dan mengharap ampunan
Allah, kemurahan dan kasih sayang-Nya.
3. Orang yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah tan-pa
disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.
Orang yang berjalan kepada Allah mempunyai dua pandangan:
Pandangan kepada diri sendiri, aib dan kekurangan amalnya, sehingga
membukakan pintu ketakutan, agar dia melihat kelapangan karunia Allah,
dan pandangan yang membukakan pintu harapan baginya. Karena itu ada
yang mengatakan bahwa batasan raja' adalah keluasan rahmat Allah.
Ahmad bin As him pernah ditanya, "Apakah tanda raja' pada diri
hamba?" Dia menjawab, "Jika dia dikelilingi kebaikan, maka dia menda-pat
ilham untuk bersyukur, sambil mengharap kesempurnaan nikmat dari Allah
di dunia dan di akhirat, serta mengharap kesempurnaan ampunan-Nya di
akhirat."
Maka ada perbedaan pendapat, mana di antara dua macam raja'
yang paling sempurna, ra/'a'-nya orang yang berbuat baik untuk mendapatkan
pahala kebaikannya, ataukah ra/'a'-nya orang yang berbuat keburukan
lalu bertaubat dan mengharapkan ampunan-Nya?
Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, bahwa raja' merupakan
tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah bagi orang yang
berjalan kepada Allah, karena di satu sisi raja' menggambarkan perlawanan,
dan di sisi lain menggambarkan protes.
Memang kami mencintai Abu Isma'il yang mengarang Manazilus-
Sa'irin. Tapi kebenaran jauh lebih kami cintai daripada cinta kami
kepadanya. Siapa pun orangnya —selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam yang ma'shum—, perkataannya boleh diambil dan boleh
ditinggalkan. Kami berprasangka baik terhadap perkataan Abu Isma'il ini,
tetapi kami akan menjabarkannya agar menjadi lebih jelas.
Perkataannya, "Raja' merupakan tempat persinggahan dan kedudukan
yang paling lemah bagi orang yang berjalan kepada Allah", hal itu
jika dibandingkan dengan tempat persinggahan lain seperti ma'rifat, cinta,
ikhlas, jujur, tawakal dan lain-lainnya, bukan berarti keadaannya yang
lemah dan kurang.
Sedangkan perkataannya, "Karena di satu sisi raja' menggambar-kan
perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes", karena raja'
merupakan kebergantungan kepada kehendak hamba agar mendapatkan
pahala dan karunia dari Allah. Padahal yang dikehendaki Allah dari hamba
ialah agar hamba itu memenuhi hak Allah dan bermu'amalah dengan-Nya
dengan hukum keadilan-Nya. Jika dalam mu'amalahnya dengan Allah,
hamba mendasarkan kepada hukum karunia, maka hal ini terma-suk
bentuk perlawanan. Seakan-akan orang yang berharap menggantung
hatinya kepada sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Penguasa.
Berarti hal ini menajikan hukum kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya.
Berarti raja' hamba itu berlawanan dengan hukum dan kehendak-Nya.
Orang yang mencintai ialah yang mengabaikan kehendak dirinya sendiri
karena mementingkan kehendak kekasihnya. Sedangkan dari sisi yang
menggambarkan protes, karena jika hati bergantung kepada raja', lalu
tidak mendapatkan apa yang diharapkan, maka ia akan protes. Kalau pun
hati mendapatkan apa yang diharapkan, ia tetap protes, karena apa yang
didapatkan tidak tepat dengan apa yang diharapkan. Toh setiap orang tentu
mengharap karunia Allah dan di dalam hatinya pasti melintas harap-an ini.
Ada sisi lain dari protes ini, yaitu dia protes kepada Allah karena apa yang
diharapkannya itu. Sebab orang yang berharap tentu meng-anganangankan
apa yang diharapkannya dan dia terpengaruh olehnya. Yang
demikian ini berarti merupakan protes terhadap takdir dan menajikan
kesempurnaan kepasrahan dan ridha kepada takdir.
Inilah yang dikatakan Abu Isma'il di dalam Manazilus-Sa'irin beser-ta
interpretasinya yang paling baik. Hal ini dapat ditanggapi sebagai beri-kut,
bahwa apa yang dikatakan itu dan sejenisnya merupakan ketergelin-cuau
yang diharapkan diampuni karena kebaikan beliau yang banyak, ia
memiliki kejujuran yang sempurna, mu'amalahnya dengan Allah benar,
keikhlasannya kuat, tauhidnya murni tetapi tidak ada orang selain Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang terjaga dari kesalahan dan
kekurangan.
Ketergelinciran ini mendatangkan fitnah terhadap golongan orangorang
yang kebaikan, kehalusan jiwa dan mu'amalahnya tidak seperti
mereka. Lalu mereka pun mengingkari dan berburuk sangka terhadap
golongan ini. Bualan ini juga mendatangkan cobaan terhadap orangorang
yang adil dan obyektif, yang memberikan hak kepada orang yang
memang berhak dan menempatkan segala sesuatu pada proporsinya, yang
tidak menghukumi sesuatu yang benar dengan yang cacat atau kebalikannya.
Mereka menerima apa yang memang diterima dan menolak apa
yang memang harus ditolak. Bualan-bualan inilah yang ditolak dan diingkari
para pemuka ulama dan mereka membebaskan diri dari hal-hal
seperti ini serta akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti yang
diceritakan Abul-Qasim Al-Qusyairy, "Aku mendengar Abu Sa'id Asy-
Syahham berkata, "Aku pernah bermimpi bertemu Abu Sahl Ash-Sha'luky
yang sudah meninggal dunia. Aku bertanya kepadanya (dalam mimpi),
"Apa yang dilakukan Allah terhadap dirimu?" Abu Sahl menjawab, "Allah
telah mengampuni dosaku karena masalah-masalah yang ditanyakan orangorang
yang lemah."
Tentang perkataan Abu Isma'il, "Raja' merupakan tempat persinggahan
dan kedudukan yang paling rendah", maka ini tidak benar, bah-kan
ini merupakan tempat persinggahan yang agung, tinggi dan mulia.
Harapan, cinta dan rasa takut merupakan inti perjalanan kepada Allah.
Allah telah memuji orang-orang yang berharap dalam firman-Nya
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab:
21).
Disebutkan di dalam hadits shahih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam,
"Allah befirman, 'Wahai anak Adam, sesungguhnya selagi kamu ber-doa
dan berharap kepada-Ku, maka Aku mengampuni dosamu, apa pun
yang kamu lakukan dan Aku tidak peduli."
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam, beliau bersabda,
"Allah befirman, Aku berada pada persangkaan hamba-Ku kepada-Ku
dan Aku besertanya. Jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka
Aku mengingatnya di dalam Diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di dalam
keramaian orang, maka Aku mengingatnya di dalam keramaian orang
yang lebih baik dari mereka. jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal,
maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika dia mendekat kepada-Ku
sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. jika dia mendatangi-
Ku dengan berjalan kaki, maka Aku mendatanginya dengan berlarilari
kecil." (Muttafaq Alaihi).
Allah telah mengabarkan orang-orang khusus dari hamba-hamba-
Nya, yang kemudian orang-orang musyrik beranggapan bahwa hambahamba
yang khusus ini bisa mendekatkan mereka kepada Allah. Padahal
hamba-hamba yang khusus itu pun masih berharap kepada Allah dan
takut kepada-Nya,
"Katakanlah, 'Panggillah mereka yang kalian anggap (tuhan) selain
Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan
bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya'. Orangorang
yang mereka sent itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb
mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharap rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya
adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (Al-Isra': 56-57).
Allah befirman, "Orang-orang yang kalian sembah selain-Ku adalah
hamba-hamba-Ku, yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan taat
kepada-Ku, mengharap rahmat-Ku dan takut adzab-Ku. Lalu mengapa
kalian menyembah mereka?" Di sini Allah memuji keadaan hamba-hamba-
Nya itu, yang memiliki cinta, rasa takut dan harapan.
Tentang perkataan Abu Isma'il, "Di satu sisi raja' menggambarkan
perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes", juga tidak bisa dianggap
benar. Sebab raja' merupakan ubudiyah dan bergantung kepada
Allah, karena di antara asma'-Nya adalah Al-Muhsin Al-Barr (Yang berbuat
kebaikan dan kebajikan). Beribadah dengan asma' ini dan mengetahui
Allah merupakan pendorong bagi hamba untuk mengharap, entah dia
menyadari atau tidak menyadarinya. Kekuatan harapan tergantung dari
kekuatan ma'rifat tentang Allah, sifat dan asma'-Nya, rahmat dan murka-
Nya. Andaikata tidak ada ruh harapan, tentu banyak ubudiyah hati dan
anggota tubuh yang ditelantarkan, biara dan masjid dirobohkan, yang di
dalamnya nama Allah banyak disebut. Bahkan andaikata tidak ada ruh
harapan, tentu anggota tubuh tidak mau bergerak untuk melakukan
ketaatan. Andaikata tidak ada angin harapan yang berhembus, tentu
perahu amal tidak akan melaju di lautan kehendak.
Kekuatan cinta menjadi gantungan kekuatan harapan. Setiap orang
yang mencintai tentu berharap dan takut. Dialah orang yang paling
mengharapkan apa yang ada pada diri kekasihnya. Begitu pula rasa takutnya,
dia adalah orang yang paling merasa takut andaikan dirinya dipandang
sebelah mata oleh kekasihnya, andaikan dia jauh darinya. Ketakutannya
merupakan ketakutan yang teramat sangat dan harapannya merupakan
cermin cintanya. Tidak ada kehidupan bagi orang yang jatuh cinta,
tidak ada kenikmatan dan keberuntungan kecuali berhubungan dengan
kekasihnya. Setiap cinta tentu disertai rasa takut dan harapan. Seberapa
jauh cinta ini bersemayam di dalam hati orang yang mencintai, maka
sejauh itu pula rasa takut dan harapannya. Tapi ketakutan orang yang
mencintai tidak disertai kekhawatiran seperti halnya orang yang berbuat
keburukan. Harapan orang yang mencintai tidak disertai alasan, berbeda
dengan harapan buruh atau upahan. Bagaimana mungkin harapan orang
yang mencintai disamakan dengan harapan buruh, sementara perbedaan
keadaan di antara keduanya amat jauh berbeda?
Secara umum, harapan merupakan sesuatu yang amat penting bagi
orang yang ber jalan kepada Allah dan orang yang memiliki ma'rifat. Sebab
tentunya dia tidak lepas dari dosa yang dia harapkan pengampunannya,
tak lepas dari aib yang dia harapkan pembenahannya, tidak lepas dari
amal shalih yang dia harapkan penerimaannya, tidak lepas dari istiqamah
yang dia harapkan kekekalannya, tidak lepas dari kedekatan dengan Allah
yang dia harapkan pencapaiannya. Maka bagaimana mungkin harapan
dikatakan sebagai tempat persinggahan dan kedudukan yang paling
lemah?
Harapan merupakan sebab yang dengannya hamba bisa memperoleh
apa yang diharapkan dari Rabb-nya, bahkan ini merupakan sebab
yang paling kuat. Sekiranya harapan itu mengandung perlawanan dan
protes, tentunya doa dan permohonan lebih layak dikatakan sebagai
bentuk perlawanan dan protes. Doa dan permohonan hamba kepada Rabbnya
agar Dia memberikan petunjuk, taufik, jalan lurus, menolongnya
agar tetap taat, menjauhkannya dari kedurhakaan, mengampuni dosadosanya,
memasukkannya ke surga, menjauhkannya dari neraka, berarti
merupakan bentuk perlawanan dan protes. Sebab hamba yang berdoa ini
mengharap dan menuntut apa yang diharapkannya, berarti dia lebih layak
dikatakan melawan dan memprotes.
Harapan dan doa tidak mengandung perlawanan terhadap tindak-an
Penguasa di dalam kekuasaan-Nya. Hamba hanya mengharap tindak-an-
Nya, sesuai dengan sesuatu yang paling disukainya dari dua hal, kare-na
sesungguhnya Allah lebih menyukai karunia daripada keadilan, Allah lebih
menyukai ampunan daripada dendam, Allah lebih menyukai teng-gang
rasa daripada penelitian secara detail, dan yang rahmat-Nya mengalahkan
murka-Nya. Orang yang berharap mengaitkan harapannya
dengan tindakan yang paling disukai dan diridhai-Nya.
Tentang protes hamba jika tidak mendapatkan apa yang diharapkannya,
maka ini merupakan kekurangan dalam ubudiyah dan kebodohan
terhadap Rububiyah. Hamba yang berharap dan berdoa mengharap suatu
lebihan yang sebenarnya bukan merupakan haknya dan tidak seharus-nya
dia meminta imbalan. Kalau memang dia diberi, maka itu semata karena
karunia Allah. Jika dia tidak diberi, bukan berarti haknya tidak akan
diberikan kepadanya. Maka protesnya ini merupakan cermin kebodohan.
Jadi memang tidak mendapatkan apa yang diharapkan dalam hak hamba
yang lurus tidak semestinya menimbulkan perlawanan dan protes.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menyampaikan tiga
permintaan bagi umatnya kepada Allah. Dua dipenuhi dan satu ditolak.
Beliau ridha terhadap apa yang diberikan Allah ini dan tidak mem-protes
apa yang tidak diberikan.
Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, harapan itu ada tiga derajat:
1. Harapan yang bisa membangkitkan hamba yang beramal untuk berusaha,
yang melahirkan kenikmatan dalam pengabdian, dan yang
membangunkan tabiat untuk meninggalkan larangan.
Dengan kata lain, harapan ini membuatnya semakin bersemangat untuk
berusaha dan mengharapkan pahala dari Rabb-nya. Siapa yang
mengetahui kadar tuntutannya, maka dia akan menganggap remeh
usaha yang telah dilakukannya. Melahirkan kenikmatan dalam pengabdian
artinya setiap kali hatinya merasakan buah pengabdian itu dan
hasilnya yang baik, maka dia menikmatinya. Yang demikian ini seperti
keadaan orang yang mengharapkan keuntungan yang me-limpah dalam
perjalanannya, dengan membandingkan beratnya per-jalanan yang
harus dilaluinya. Setiap kali hatinya menggambarkan hal ini, maka
segala kesulitan dianggap enteng dan bahkan dia menik-mati kesulitan
itu. Begitu pula keadaan orang yang mencintai secara tulus, yang
berusaha mendapatkan keridhaan dan cinta kekasihnya, yang
menikmati segala usaha yang dilakukannya karena menggambarkan hasil
keridhaannya. Sedangkan tentang membangunkan tabiat untuk
meninggalkan larangan, karena tabiat itu mempunyai gambar-angambaran
yang menguasai hamba, yang tidak berkenan meninggalkan
gambaran-gambaran itu kecuali jika dia mendapatkan imbalan yang
lebih disukainya. Jika ketergantungan hamba kepada imbalan yang
lebih baik ini, maka tabiatnya menjadi lega. Jiwa tidak mau
meninggalkan sesuatu yang dicintainya kecuali dia berikan kepada
kekasih yang lebih dicintainya, atau jiwa itu akan mewaspadai sesuatu
yang paling banyak mendatangkan kerusakan.
2. Harapan orang-orang yang biasa melatih jiwa, agar mereka mencapai
suatu kondisi yang dapat membersihkan hasrat, dengan menolak
berbagai macam kesenangan, memperhatikan syarat-syarat ilmu dan
berusaha agar terlindung dari hal-hal yang dikhawatirkan akan mendatangkan
mudharat di dunia dan di akhirat.
3. Harapan orang-orang yang dapat menguasai hati, yaitu harapan untuk
bersua Khaliq yang membangkitkan kerinduannya, yang tidak
menyukai kehidupan lebih lama dan yang zuhud di tengah makhluk. Ini
merupakan jenis-jenis harapan yang paling baik dan paling tinggi. Ini
merupakan harapan yang menjadi inti iman.

Tiada ulasan: