TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN
IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN
IMAM IBN
QAYYIM AL JAUZIYAH
Dalam kaitannya dengan tempat
persinggahan wara' ini Allah telah
befirman,
"Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui
apa yang kalian kerjakan."
(Al-Mukminun: 51).
"Dan pakaianmu, bersihkanlah."
(Al-Muddatstsir: 4).
Menurut Qatadah dan Mujahid, artinya
bersihkan dirimu dari dosa.
Diri ini dikiaskan dengan pakaian. Ini
merupakan pendapat Ibrahim, An-
Nakhah'y, Adh-Dhahhak, Asy-Sya'by,
Az-Zuhry dan para mufassir. Menu-rut
Ibnu Abbas, artinya janganlah engkau
mengenakan pada dirimu kedurhakaan
dan pengkhianatan. Orang-orang Arab
biasa mensifati orang
yang jujur dan selalu menepati janji
dengan sebutan tahiruts-tsiyab (ber-sih
pakaiannya), sedangkan orang yang jahat
dan suka berkhianat dise-but
danisuts-tsiyab (kotor pakaiannya).
Menurut Adh-Dhahhak, artinya benahilah
amalmu. Menurut As-
Suddy, biasa dikatakan kepada orang yang
dikenal shalih, "Bersih pakaiannya".
Sedangkan kepada orang yang jahat akan
dikatakan, "Kotor pakaiannya".
Menurut Sa'id bin Jubair, yang
dibersihkan adalah hatinya.
Menurut Al-Hasan dan Al-Qurazhy, yang
dibersihkan adalah akhlaknya.
Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid berkata,
"Ini merupakan perintah untuk
membersihkan pakaian dari hal-hal najis,
yang tidak bisa dipergunakan
untuk shalat, sebab orang-orang musyrik
tidak biasa membersihkan diri
dan juga tidak biasa membersihkan pakaian."
Menurut Thawus, artinya pendekkanlah
pakaianmu, karena dengan
memendekkan pakaian bisa menjaga
kebersihannya. Tapi yang be-nar
adalah pendapat yang pertama, seperti
yang tertera dalam ayat.
Tidak dapat diragukan bahwa membersihkan
pakaian dan memendekkannya
termasuk cara membersihkan yang
diperintahkan, karena
dengan cara ini bisa menunjang
pembenahan amal dan akhlak. Kotoran
zhahir bisa mengimbas ke kotoran batin.
Karena itu orang yang berdiri di
hadapan Allah diperintahkan untuk
menghilangkan dan menjauhi kotoran
itu.
Maksudnya, wara' dapat membersihkan
kotoran hati dan najisnya,
sebagaimana air yang dapat membersihkan
kotoran pakaian dan najisnya.
Antara pakaian dan hati ada kesesuaian
zhahir dan batinnya. Karena itu
pakaian seseorang saat tidur menunjukkan
keadaan dirinya dan hatinya,
yang satu berpengaruh terhadap yang
lain. Maka ada larangan bagi kaum
laki-laki mengenakan pakaian sutera,
emas dan mengenakan kulit-kulit dari
binatang buas, karena yang demikian itu
berpengaruh terhadap hati, yang
tidak menggambarkan ubudiyah dan
ketundukan.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah
menghimpun keseluruhan
wara' dalam satu kalimat,
"Di antara tanda kebaikan Islam
seseorang ialah meninggalkan apa
yang tidak bermanfaat baginya."
Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat
ini mencakup perkataan,
pandangan, pendengaran, berjalan,
berpikir, memegang dan semua gerakan
zhahir dan batin. Pernyataan beliau ini
sudah mencakup semua
yang ada dalam wara'.
Ibrahim bin Adham berkata, "Wara'
artinya meninggalkan setiap
syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang
tidak bermanfaat bagimu
artinya meninggalkan hal-hal yang
berlebih."
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan
secara marfu' kepada Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam,
" Wahai Abu Hurairah, jadilah
engkau orang yang wara', niscaya
engkau akan menjadi orang yang paling
banyak melakukan ibadah."
Menurut Asy-Syibly, wara' artinya
menjauhi segala sesuatu selain
Allah. Menurut Abu Sulaiman Ad-Darany,
wara' merupakan permulaan
zuhud, seperti halnya rasa berkecukupan
merupakan permulaan ridha.
Menurut Yahya bin Mu'adz, wara' artinya
berada pada batasan ilmu tan-pa
melakukan ta'wil. Wara' itu ada dua
sisi: Wara'zhahir dan wara' batin. Wara'
zhahir artinya tidak bertindak kecuali
karena Allah semata, sedangkan wara'
batin ialah tidak memasukkan hal-hal
selain ke dalam hati. Siapa yang
tidak melihat detail wara' tidak akan
bisa melihat besarnya anugerah."
Sufyan Ats-Tsaury berkata, "Aku
tidak melihat sesuatu yang lebih
mudah daripada wara', yaitu jika ada
sesuatu yang meragukan di dalam
jiwamu, maka tinggalkanlah."
Menurut Yunus bin Ubaid, wara' artinya
keluar dari setiap syubhat
dan menghisab diri sendiri setiap saat.
Menurut Al-Hasan, wara' seberat
dzarrah lebih baik daripada shalat dan
puasa seribu kali. Menurut sebagi-an
salaf, seorang hamba tidak mencapai
hakikat takwa hingga dia meninggalkan
apa yang diperbolehkan baginya, sebagai
kehati-hatian dari apa
yang tidak diperbolehkan baginya.
Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan,
"Wara' adalah menjaga
diri semaksimal mungkin secara waspada,
dan menjauhi dosa karena
pengagungan." Dengan kata lain,
menjaga diri dari hal-hal yang haram
dan syubhat serta hal-hal yang bisa
membahayakan semaksimal mungkin
untuk dijaga. Menjaga diri dan waspada
merupakan dua makna yang
hampir serupa. Hanya saja menjaga diri
merupakan perbuatan anggota
tubuh, sedangkan waspada merupakan
amalan hati.
Adakalanya seseorang menjaga diri dari sesuatu
bukan karena takut atau
kewaspadaan, tapi karena hendak
menunjukkan kebersihan diri, kemuliaan
dan kehor-matan, seperti orang yang
menjaga diri dari hal-hal yang hina
dan kebu-rukan, sekalipun dia tidak
percaya kepada surga dan neraka.
Sedangkan menjauhi dosa karena
pengagungan, artinya dorongan
terhadap orang yang menjauhi hal-hal
yang haram dan syubhat, bisa
karena menghin-dari ancaman atau karena
pengagungan terhadap Allah.
Sedangkan menjauhi kedurhakaan, bisa
karena dorongan takut atau pun
pengagungan. Pengagungan ini cukup
disamakan dengan cinta. Artinya,
orang yang mencintai tentu tidak mau
mendurhakai kekasihnya.
Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin,
"Warn' merupakan kesudah-an
zuhud orang-orang awam, dan merupakan
permulaan zuhud orang
khusus yang berjalan kepada Allah."
Wara'
ini ada tiga derajat:
1. Menjauhi keburukan karena hendak
menjaga diri, memperbanyak
kebaikan dan menjaga iman.
Menjaga diri artinya memelihara dan
melindunginya dari hal-hal yang
bisa mengotori dan menodainya di sisi Allah,
para malaikat, hambahamba-
Nya yang beriman dan semua makhluk.
Karena siapa yang
dirinya mulia di sisi Allah, maka Dia
akan menjaga, melindungi, mensucikan,
meniggikan dan meletakkannya di tempat
yang paling ting-gi,
berkumpul bersama orang-orang yang
memiliki kesempurnaan.
Sedangkan siapa yang dirinya hina di
sisi Allah, maka Dia melemparkannya
ke dalam kehinaan, tidak menjaganya dari
keburukan dan
melepaskan dirinya. Batasan minimal
menjauhi keburukan adalah
menjaga diri.
Memperbanyak kebaikan dapat dilakukan
dengan dua cara: Pertama,
memperbanyak kesempatan dalam
melaksanakan kebaikan. Jika seorang
hamba melakukan keburukan, berarti
kesempatan yang telah
dipersiapkan untuk kebaikan menjadi
berkurang. Kedua, memperbanyak
kebaikan yang dilakukan agar tidak
berkurang, sebagaimana telah
dikupas dalam masalah taubat, bahwa
keburukan bisa menggu-gurkan
kebaikan, entah secara keseluruhan
ataukah sekedar terku-rangi.
Minimal akan melemahkan posisi kebaikan
itu. Kaitannya dengan
menjaga iman, karena menurut seluruh
ulama Ahlus-Sunnah, iman itu
bisa bertambah karena ketaatan dan bisa
berkurang karena kedurhakaan.
Pendapat ini juga dikisahkan dari
Asy-Syafi'y dan lain-lainnya dari
kalangan shahabat dan tabi'in. Peranan
kedurhakaan yang melemahkan
iman ini merupakan perkara yang sudah
dimaklumi rasa dan dibuktikan
kenyataan. Sebab sebagaimana yang telah
disebutkan di dalam hadits,
bahwa jika hamba melakukan dosa, maka di
dalam hatinya ditorehkan
satu titik hitam. Jika dia memohon
ampunan, maka hatinya menjadi
mengkilap kembali. Jika dia kembali
melakukan dosa, maka di dalam
hatinya ditorehkan titik hitam lainnya.
Keburukan membuat hati
menjadi hitam dan mema-damkan cahayanya.
Iman adalah cahaya di
dalam hati, sedangkan keburukan bisa
melenyapkan cahaya itu atau
minimal menguranginya.
Kebaikan menambah cahaya hati dan
keburukan memadamkan cahaya
hati. Allah mengabarkan bahwa melanggar
perjanjian yang te-lah
diteguhkan Allah terhadap
hamba-hamba-Nya merupakan sebab
kerasnya hati. Firman-Nya,
"Karena mereka melanggar janjinya,
Kami kutuk mereka, dan Kami
jadikan hati mereka keras membatu.
Mereka suka merubah perkataan
(Allah) dari tempat-tempatnya, dan
mereka (sengaja) melupakan sebagian
dari apa yang mereka telah diperingatkan
dengannya." (Al-
Maidah: 13).
Dosa melanggar perjanjian menimbulkan
beberapa dampak, berupa
kekerasan hati, datangnya kutukan,
kebiasaan merubah kalam Allah
dan melupakan ilmu. Kedurhakaan bagi
iman seperti penyakit bagi
kekuatan. Keduanya hampir serupa. Karena
itu orang-orang salaf berkata,
"Kedurhakaan merupakan
kurirkekufuran, seperti penyakit yang
menjadi kurir kematian." Iman orang
yang melakukan keburukan
seperti kekuatan orang yang sakit,
tergantung dari parah tidaknya penyakit
yang diderita.
Tiga sifat yang ada dalam derajat
pertama ini juga merupakan wara'-nya
orang-orang yang berjalan kepada Allah.
Dengan kata lain, mereka
masih mempunyai jenis wara' lain yang
disebutkan dalam dua derajat
berikut.
2. Menjaga hukum dalam perkara-perkara
yang mubah, mengekalkan,
melepaskan diri dari kehinaan, dan
menjaga diri agar tidak melam-paui
batasan hukum.
Orang yang naik dari derajat pertama
dari wara' lalu beralih ke derajat
kedua ini, meninggalkan sekian banyak
hal-hal yang mubah, karena
takut hatinya akan terkotori dan
cahayanya padam. Sebab memang
banyak hal-hal yang mubah dapat
mengotori kebersihan hati, mengurangi
gemerlapnya dan memadamkan cahayanya.
Suatu kali
Syaikhul-Islam berkata kepadaku
sehubungan dengan hal yang mubah,
"Ini dapat menghilangkan derajat
yang tinggi, sekalipun
meninggalkannya bukan merupakan syarat
untuk mendapatkan keselamatan."
Orang yang memiliki ma'rifat lebih
banyak meninggalkan hal-hal yang
mubah, karena untuk mengekalkan
penjagaan hati, apalagi jika yang
mubah itu merupakan sekat antara yang
halal dan yang haram. Jika
orang yang ada pada derajat pertama
berusaha untuk mendapatkan
penjagaan, maka orang pada derajat yang
kedua ini berusaha untuk
menjaga kebersihan hati agar tidak
terkotori dan agar cahayanya tidak
padam. Inilah makna mengekalkan
penjagaan. Melepaskan diri dari
kehinaan artinya menjauhi jalan-jalan
kehinaan dan perbuatannya.
Sedangkan menjaga diri agar tidak
melampaui batasan hukum, maka
batasan hukum di sini artinya kesudahan
dan pemutusan yang halal dan
yang haram. Selagi suatu hukum disudahi
dan diputuskan, maka itulah
batasannya. Siapa yang melanggarnya,
berarti dia berada dalam
kedurhakaan.
3. Menjauhi segala sesuatu yang mengajak
kepada perceraian, bergan-tung
kepada perpisahan dan yang menghalangi
kebersamaan secara total.
Perbedaan antara perceraian dan
bergantung kepada perpisahan seperti
perbedaan antara sebab dan akibat,
penafian dan penetap-an. Siapa
yang bercerai, maka tidak ada kesempatan
baginya untuk bergantung
kepada selain tuntutannya. Siapa yang
tidak menjadikan Allah sebagai
kehendaknya, berarti dia menghendaki
selain-Nya. Siapa yang tidak
menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan, maka dia akan
menyembah selain-Nya. Siapa yang amalnya
bukan karena Allah,
berarti amalnya karena selain Allah.
Perasaan takut membuahkan
wara', permohonan pertolongan dan
harapan yang tidak muluk-muluk.
Kekuatan iman kepada perjumpa-an dengan
Allah membuahkan zuhud.
Ma'rifat membuahkan cinta, takut dan
harapan. Rasa cukup
membuahkan keridhaan. Dzikir membuahkan
kehidupan hati. Iman
kepada takdir membuahkan tawakal.
Terus-menerus memperhatikan
asma' dan sifat Allah membuahkan
ma'rifat. Wara' membuahkan
zuhud. Taubat dan terus-menerus
me-ngingat Allah membuahkan cinta
kepada-Nya.
Ridha membuahkan syukur.
Tekad yang kuat dan sabar
membuahkan semua keadaan dan kedudukan
yang tinggi. Ikhlas dan
kejujuran saling membuahkan. Ma'rifat
membuahkan akhlak. Pikiran
membuahkan tekad. Menge-tahui nafsu dan
membencinya
membuahkan rasa malu kepada Allah,
menganggap banyak karunia-
Nya dan menganggap sedikit ketaatan
kepada-Nya. Memperhatikan
secara benar ayat-ayat yang didengar dan
disaksikan membuahkan
pengetahuan yang benar. Penopang semua
ini ada dua macam: Pertama,
memindahkan hati dari kampung dunia ke
kampung akhirat. Kedua,
mendalami, menyimak dan memahami
makna-makna Al-Qur'an serta
sebab-sebab diturun-kannya, lalu engkau
mengambil dari ayat-ayatnya
untuk mengobati penyakit di dalam hati.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan