Hidayah
merupakan kekuasaan Allah Ta’ala. Tidak seorang pun boleh memberikan hidayah
kepada siapa pun yang dicintainya. Tidak pula ada yang mampu menolak jika Allah
Ta’ala Berkehendak memberikannya kepada siapa yang Dikehendaki-Nya. Benar-benar
mutlak kuasa-Nya. Tiada yang mampu menolaknya.
Namun,
hidayah harus diupayakan. Sebab Allah Ta’ala memberikan kehendak kepada kita
untuk bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah kebenaran yang berlaku. Dia telah anugerahkan
kita potensi fizikal, fikiran, dan ruh untuk bertindak, untuk melakukan amal.
Mengupayakan
hidayah juga bagian dari usaha. Ialah satu di antara sekian banyak jenis taqdir
Allah Ta’ala. Sebagaimana Dia sebutkan, “Sungguh Allah tidak akan mengubah nasib
seseorang, kecuali jika mereka mengubah dirinya sendiri.”
Karenanya,
mengupayakan kebaikan itu harus. Mendatangi kebaikan dan jalan-jalan hidayah
merupakan keniscayaan. Bergabung, mendukung, dan mencintai kebenaran adalah
keharusan. Sebab hidayah tak ubahnya rezeki; harus dijemput. Bahkan menjemput
hidayah harus jauh lebih sungguh-sungguh dari menjemput rezeki berupa materi.
Sebagai
kesatuan, hendaknya kita juga bersungguh-sungguh dalam menjauhi semua jenis
kesia-siaan, keburukan, dan kesesatan dalam semua maknanya. Sebab tidaklah
sempurna iman manakala seseorang masih melakukan kebaikan yang diselingi dengan
keburukan. Apalagi, kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang mustahil bersatu
dalam wadah yang sama.
Di
sini, kita harus bebanr-benar waspada atas segala niat dan rencana yang kita
buat. Harus terus mengawasi diri agar tidak terjerumus dalam kesia-siaan, dosa,
dan kesestan. Pun jika yang dilakukan adalah kebaikan.
Pasalnya,
Allah Ta’ala berfirman, “Sesunguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih
mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya.”
“Maka,”
tutur Imam Ibnu katsir menafsirkan ayat 117 surat al-An’am ini, “Dia memudahkan
orang tersebut ke arah kesesatan.”
‘Orang
tersebut’ dalam ayat ini merujuk kepada sebagian besar manusia yang menuruti
persangkaan dusta dan bathil. Mereka enggan mengikuti kebenaran lantaran
menuruti hawa nafsu. Mereka enggan menikmati hidangan hidayah lantaran menyukai
gelimang maksiat dan dosa.
Keadaan
inilah yang harus senantiasa kita waspadai. Sebab ada begitu banyak orang yang
terjerumus dalam keburukan dan kesesatan, bermula dari niat yang keliru ketika
melakukan kebaikan.
Semoga
kita masuk dalam kategori yang disebutkan dalam kelanjutan surat al-An’am [6]
ayat 117 ini, “Dan Dia lebih mengetahui orang-orang
yang mendapatkan petunjuk.”
“Allah
Ta’ala pun memudahkan mereka kepada petunjuk. Dan setiap orang dimudahkan
sesuai dengan yang ditakdirkan untuknya.” pungkas Imam Ibnu katsir dalam Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhiim.
Ya
Allah, takdirkan kami senantiasa dalam hidayah-Mu hingga akhir hayat.
Aamiin.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan