Catatan Popular

Ahad, 8 Julai 2018

TOBATNYA SANG LAKI-LAKI PENYEMBAH BERHALA

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Dahulu kala di kalangan Bani Israil ada seorang ahli ibadat yang dikagumi oleh kaumnya.


Suatu hari mereka menceritakan perihal perilakunya keapda Nabinya dan memujinya. Nabi itu pun berkata, “Demikianlah dia sebagaimana kalian ketahui, namun dia enggan menjalankan suatu sunnah.”


Apa yang dikatakan oleh Nabi ini akhirnya sampai kepada si ahli ibadat, dia pun berkata, “Jika memang demikian, bagaimana aku mendidik diriku sendiri?”


Si ahli ibadat itu kemudian berangkat menuju rumah sang Nabi yang pada saat itu dikelilingi oleh beberapa sahabatnya, sedang Nabi sendiri tidak mengenali lagi wajah si ahli ibadat itu. Laki-laki itu pun memberikan salam dan berkata, “Wahai Nabi Allah, aku telah mendengar bahwa namaku sering disebut-sebut, namun disayangkan enggan menjalankan sunnah. Bila demikian realitinya, mengapa aku mesti menyusahkan diri sendiri sepanjang siang dan malam dengan meninggalkan keramaian orang (untuk beribadat)? Semua itu kulakukan untuk melakukan sunnah (ajaran) Tuhanku, Allah SWT.”

“Engkaukah ini si Fulan itu?” kata sang Nabi.
“Ya,” jawabnya.
“Demi Allah, sebenarnya tidak ada sesuatu yang engkau ada-adakan dalam agama Islam ini, hanya saja engkau tidak mau menikah,” kata sang Nabi.
“Tidak ada yang lain?” tanya orang itu.
“Tidak,” jawab Nabi.

Setelah sang Nabi mengetahui jika orang itu merasa terhina, Nabi pun berkata, “Bukankah engkau tahu jika semua orang telah melakukan sebagaimana yang engkau lakukan. Lalu apa yang didapatkan seseorang yang takut pada musuh orang-orang Islam, dan apa yang didapatkan seorang yang dizalimi dari orang-orang yang menzalimi?”


Nabi lalu menyebutkan tentang shalat.

“Benar Anda wahai Nabi Allah! Sebenarnya aku tidak mengharamkan diriku untuk menikah, akan tetapi aku takut menikah dengan seorang wanita Muslimat karena aku ini orang miskin dan khawatir justru akan menyia-nyiakannya. Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kuberikan sebagai nafkah, sedang orang-orang kaya tidak mau menikahkan diriku,” katanya kepada Nabi.

“Apakah itu saja yang menjadi beban fikiranmu?” tanya Nabi kepadanya.
“Saya kira hanya itu saja,” jawabnya.
“Apabila itu kendalamu, sekarang aku akan menikahkanmu dengan putriku,” kata sang Nabi.
“Benarkah engkau melakukannya?” kata si ahli ibadah itu.


Sang Nabi pun menikahkannya dengan putri beliau, dan beberapa waktu kemudian lahirlah putra pertama mereka.

Demi Allah, di kalangan kaum Bani Israil tidak seorang bayi pun terlahir laki-laki yang membuat mereka gembira sebagaimana halnya kelahiran putra si ahli ibadah itu.


Begitu meluapnya kegembiraan yang mereka rasakan hingga mengatakan, “Inilah keturunan Nabi kita dan anak ahli ibadah kita, kita sangat mengharapkan agar dia dapat tumbuh dewasa sebagaimana layaknya tokoh lain.”

******
Setelah menginjak dewasa, ia memutuskan untuk menyembah berhala dan segenap penduduk pun mengikutinya, bahkan jumlah para penyembah berhala semakin banyak. Pada suatu kesempatan dimana telah berkumpul para anggota penyembah berhala, berkata pemuda itu, “Sebenarnya keberadaan kita lebih ramai, lalu bagaimana dengan kelompok minoriti yang selalu memaksakan suatu aturan kepada kita semua ini?”

“Karena mereka mempunyai seorang pemimpin yang mengurus segala aktiviti mereka, sedangkan kita ini tidak mempunyai pemimpin,” jawab mereka.


“Hanya itukah faktor penyebabnya?” tanya sang pemuda itu.
“Ya,” jawab mereka.
“Jika hanya itu, akulah yang akan menjadi pemimpin kalian,” katanya.
“Benarkah hal itu hendak engkau lakukan?” tanya mereka.
“Ya,” jawab si pemuda.

Setelah ada kesepakatan demikian, keluarlah dia bersama para pengikutnya, dan berita kepergian mereka itu sampailah kepada sang Nabi, juga sampai pada ayah si pemuda.


Melihat adanya gejala yang tidak baik itu, kaum Bani Israil dan juga ayah pemuda ini berkumpul di rumah Nabi. Setelah mengadakan pembicaraan secukupnya, Nabi pun mengutus seseorang untuk menemui pemuda itu dan mengingatkannya agar kembali kepada Allah dan agama Islam, tetapi ajakan tersebut ditolak oleh si pemuda beserta kelompoknya.

Karena si pemuda itu enggan kembali kepada Islam, akhirnya Nabi dan ayah pemuda itu keluar dengan membawa balatentara secukupnya. Demikianlah, sehingga saling berhadapan anak dengan orang tua dan Nabi di medan pertempuran. Pertumpahan darah tidak terelakkan lagi, bahkan Nabi maupun ayah sang pemuda gugur dalam pertempuran.


Para pengikut Nabi dari kalangan Bani Israil yang tersisa banyak yang melarikan diri. Akan tetapi, si pemuda beserta kelompoknya tetap mengejar mereka dan membunuhnya pula bila tertangkap.

Akhirnya pemuda itu bertemu dengan seorang pendeta dari kaum Bani Israil di sebuah bukit dan ia dudukung oleh banyak orang. Dirinya pun enggan berpisah dengan mereka dan dia menyangka bahwa sang raja tidak berbuat adil kepadanya, hingga hancurlah kaum Bani Israil itu.

Akhirnya pemuda itu berusaha melacak sang raja ke bukit-bukit untuk dibunuhnya dan orang-orang pun mendukungnya. Maka semakin kacaulah kerajaannya.

Ketika para pendeta kaum Bani Israil tahu akan apa yang diperbuatnya atas mereka, para pendeta itu pun berkata, “Tinggalkanlah laki-laki ini berikut kerajaannya, namun dia tidak mau meninggalkan kami! Sungguh, kita kembali mendapatkan amarah Allah. Kita telah meninggalkan Nabi dan seorang ahli ibadah kita sampai mereka berdua terbunuh, sedangkan dia tidak mau meninggalkan kami. Marilah kita sekarang bertaubat kepada Allah SWT. Kita temui laki-laki ini dan kemudian kita bunuh. Kita pun tetap dalam keadaan bertaubat.”

Kaum Bani Israil lalu mengangkat seseorang dari kalangan mereka untuk menjadi pemimpin dan dilantiknya sekaligus. Setelah itu, mereka pun bergerak mempersiapkan dirinya, dan siap berkorban serta bertaubat kepada Allah SWT.

Laki-laki yang baru diangkat itu menemui mereka dan akhirnya terjadilah pertempuran sengit mulai pagi hingga menjelang malam hari. Pertempuran itu dilanjutkan pada keesokan hari dan banyak korban berjatuhan pada kedua belah pihak, dan perang ini pun berlangsung hingga malam.

Pada hari ketiga, kaum Bani Israil telah berangkat dini hari dengan meneguhkan hatinya demi Allah. Kemudian mereka pun berperang melawan musuh dengan sekuat tenaga sehingga pecahlah pertempuran yang sangat dahsyat.


Salah seorang teman mereka berkata, “Sungguh aku sangat mengharapkan semoga Allah berkenan menerima taubat kita, karena aku telah melihat bahwa kesabaran telah diturunkan kepada kita dan angin segar pun bertiup ke arah kita jika kalian dapat memenangkan pertempuran ini. Jika kalian nanti dapat menangkapnya hidup-hidup, janganlah kalian membunuhnya!”

Mereka kemudian melanjutkan pertempuran hingga hari menjelang malam, tetapi masih belum tampak tanda-tanda siapa pemenangnya. Sementara itu, Allah melihat bahwa kebenaran berada di pihak kaum Bani Israil dan karenanya, Allah pun memberikan pertolongan sehingga pada akhirnya mereka berhasil memporak-porandakan musuh, menumpas dan juga menangkap pemuda itu dibawa menghadap kepada pemimpin mereka.

Seluruh kaum Bani Israil berkumpul di hadapan pemimpin barunya dan berkatalah sang pemimpin itu. “Apa sanksi atas perbuatan seorang laki-laki dari keluarga kita ini yang telah berani membunuh Nabi dan tega pula membunuh ayah kandungnya, serta menjerumuskan kita untuk menyembah berhala. Bahkan kelompok kita pun mereka perangi dan usir hingga ke beberapa daerah?”

“Bakar saja orang itu!” teriak salah seorang pengunjung yang hadir.
“Rejam saja tubuhnya!” sahut yang lain.
“Siksa saja dia!” seru yang lain lagi.

Ketika para hadirin telah menyampaikan pendapatnya, berkatalah sang pemimpin itu, “Inilah saatnya kita menjatuhkan sanksi balasan atas segala tindakannya.”

Mendengar ucapan pemimpinnya, mereka pun berkata, “Engkau lah yang lebih tahu akan hal itu!”
“Aku mempunyai pendapat, sebaiknya dia diikat dan disalibkan secara hidup-hidup dan tidak pula memberinya makan maupun minum. Kita biarkan dia disana hingga meninggal,” demikian kata sang pemimpin.
“Terserah apa yang hendak Anda lakukan atas dirinya!” timpal mereka.

Akhirnya putra si ahli ibadat itu disalib hidup-hidup dan dikawal oleh seorang penjaga.

Pemuda itu berada dalam tiang penyaliban sudah tiga hari lamanya. Ketika menjelang sore dan dia merasa bahwa ajalnya segera tiba, berdoalah dia kepada tuhannya, tuhan selain Allah SWT.

Dalam doa diawalinya dengan menyebut dari tuhan yang dianggapnya sebagai tuhan yang termulia, tetapi bila tuhannya tidak mau menjawabnya, ditinggalkanlah tuhannya itu dan kemudian beralih menyebut-nyebut tuhannya yang lain. Akan tetapi, tuhan-tuhan yang telah dipanggilnya tidak satu pun yang menjawab panggilannya. Hal semacam ini dilakukannya di tengah malam.

Karena semua tuhan yang diserunya tidak ada satu pun yang menjawab, dia pun berkata, “Ya Allah, Tuhan nenek dan ayahku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan aku telah berusaha berdoa kepada semua tuhan yang dulu pernah kusembah selain Engkau. Jika mereka ini mempunyai kebajikan, niscaya mereka akan menjawabnya. Oleh karena itu, ampuni dan selamatkanlah aku dari keadaan seperti sekarang ini!”

Seusai berdoa, tiba-tiba tali pengikatnya terlepas dengan sendirinya dan dirinya telah pula berada di bawah sebatang pohon kurma.


******
Dalam hadis yang lain Ibnu Abbas berkata, Dia kemudian berdoa pada berhala, akan tetapi tidak satu berhala pun yang menjawabnya.

Akhirnya, dia menengadah ke arah langit seraya berdoa, “Wahai Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah! Aku bersaksi bahwasanya semua yang disembah mulai dari Arsy-mu sampai ke dasar bumi-Mu adalah batil, kecuali hanya Dzat-Mu Yang Maha Mulia. Oleh karenanya, tolonglah hamba!”

Akhirnya Allah SWT mengutus malaikat agar melepaskan tali pengikatnya dan kemudian menurunkannya dari tiang salib.

Sang pengawal kemudian menangkapnya dan membawanya menghadap sang pemimpin dan ternyata di sana telah berkumpul kaum Bani Israil. Sang pemimpin selanjutnya berkata, “Apa yang akan kalian lakukan terhadap laki-laki ini?”
Mereka lalu menjawab, “Mengenai laki-laki ini terserah Anda, Allah-lah yang telah melepaskannya dan Anda tidak perlu lagi meminta pendapat kami.”

“Kalian benar, “ kata sang pemimpin. “Tinggalkanlah laki-laki ini!” perintahnya lagi.

Sa’id bin Zubair berkata, “Aku telah mendengar Ibnu Abbas berkata, ‘Demi Allah, di kalangan kaum Bani Israil, tidak ada kebajikan dan keutamaan seorang pun yang melebihinya, setelah pertaubatan laki-laki itu.”

Tiada ulasan: