Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Syeikh ABu
Nashr as-Sarraj-Rahimahullah berkata:
Dikisahkan
dari Abu al-Qasim al Junaid - rahimahullah - yang mengatakan, “Rahmat dari
Allah swt. diturunkan kepada para kaum Sufi-dalam tiga tempat: Saat mereka
makan.
Karena mereka tidak akan makan kecuali karena sangat membutuhkannya;
1. Ketika membicarakan ilmu. Sebab yang
mereka bicarakan hanyalah kondisi spiritual orang-orang jujur dan para wali.
2. Ketika sedang Sama ‘ (mendengar dengan
ekstase). Sebab mereka tidak mendengar kecuali dari Yang Haq dan tidak berdiri
kecuali dengan wajd-Nya.
Abu al-Abbas
Ahmad bin Muhammad bin Masruq ath Thusi berkata: Muhammad bin Manshur ath-Thusi
berkata padaku, dan Abu al-Abbas datang ke rumahku sebagai tamu, “Tinggallah di
rumahku selama tiga hari. Dan jika lebih dari tiga hari maka itu adalah sedekah
dari Anda untuk kami.”
Sari
as-Saqathi - rahimahullah - berkata, “Aduh! Sesuap nasi yang tidak karena Allah
akan menjadi beban berat bagiku, dan sesuatu yang tidak untuk makhluk bagiku
adalah suatu anugerah.”
Abu Ali
an-Nauribathi berkata, “Jika ada orang sufi datang kepada kalian, maka suguhkan
sesuatu yang biasa ia makan. Jika ada para ahli fiqih datang kepada kalian,
maka tanyakan masalah kepada mereka. Dan jika ada orang-orang pandai membaca
al-Qur’an (qurra’) datang kepada kalian maka tunjukkan ke mihrab.”
Abu Bakar
al-Kattani berkata: Abu Hamzah berkata, “Aku pernah bertamu ke rumah Sari
as-Saqathi. Maka la datang menemuiku dengan membawa sepotong roti, dan menjadikannya
separo dimasukkan ke dalam mangkok. Lalu aku bertanya, Apa yang Anda lakukan
ini? Aku bisa minum ini dalam sekali telan. Kemudian ia tertawa dan berkata,
‘Ini jauh lebih baik bagi Anda daripada haji’.”
Sementara
itu, Abu Ali ar-Rudzabari ketika melihat orang-orang sufiberkumpul di satu
tempat, maka la mengutip ayat ini:
“Dan Dia
Mahakuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.” (Q.s. asy-Syura: 29).
Abu Ali juga
berkata, “Jika para sufi berkumpul di satu tempat maka akan memberikan rasa kasih
sayang kepada mereka, dan akan dibukakan banyak hal bagi mereka.” la kemudian
mensinyalir sebuah ayat:
“Katakanlah,
‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara
kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui’.”
(Q.s. Saba’: 26).
Ja’far
al-Khuldi - rahimahullah - berkata, “Makan yang sekarang ini adalah makan
setelah makan yang kalian melihatnya setelah sahabat-sahabat kami sangat
lapar.”
Selanjutnya
la mengatakan, “Jika Anda melihat seorang sufi makan dengan porsi yang banyak,
maka Anda perlu tahu, bahwa tindakan itu tidak lepas dari tiga hal: Pertama,
mungkin karena waktu yang telah ia lalui, atau waktu yang akan datang, atau
karena waktu di mana ia sekarang alami.”
Sementara
itu asy-Syibli - rahimahullah - berkata, “Andaikan dunia ini adalah sesuap
makanan yang ada di mulut seorang bayi maka akan aku sayangi anak itu.”
la juga mengatakan, “Andaikan dunia dan apa yang ada
di dalamnya adalah sesuap makanan, tentu akan kumakan, dan akan kubiarkan
seluruh makhluk berhubungan dengan Allah tanpa perantara.”
Sebagian
kaum Sufi berkata, “Etika makan itu dibedakan menjadi tiga: (1) Makan bersama
teman dengan cara memberikan kesenangan; (2) Bersama para pemilik dunia, maka
dengan adab; dan (3) Bersama orang-orang Sufi dengan cara mengutamakan mereka
daripada diri sendiri.”
Syekh Abu
Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Ini bukanlah termasuk adab kaum
fakir. Sebab di antara adab kaum Sufi ketika mereka makan, mereka tidak sedih
dan gelisah, serta tidak merasa memiliki beban. Mereka tidak memilih makanan
yang banyak tapi jelek dari pada makanan yang sedikit tapi bersih dan bagus.
Mereka juga tidak memiliki jadwal tertentu untuk makan. Jika ada makanan yang
datang mereka tidak saling menyuapi antara satu dengan yang lain. Namun jika
disuapi mereka juga tidak menolak. Mereka tidak suka makanan banyak yang
kering. Ketika sangat lapar, maka adab mereka ketika makan adalah dengan sangat
baik.
Aku pernah
mendengar seorang Syekh yang mulia berkata, “Aku kelaparan selama sepuluh hari
dan selama itu aku tidak makan apa-apa. Kemudian setelah itu aku diberi
makanan, akhirnya aku makan dengan menggunakan dua ujung jari. Kemudian orang
yang memberiku makanan berkata, ‘Makanlah dengan tiga jari sesuai dengan Sunnah
Rasulullah saw’.”
Dikisahkan
dari Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah -yang berkata, “Sejak delapan puluh
tahun aku tidak makan sesuatu sesuai dengan seleraku.”
Abu Bakar
al-Kattani ad-Dinawari di Baghdad tidak makan apa pun. la menampakkannya karena
ada pertanyaan dan pertentangan.
Al Junaid -
rahimahullah - berkata, “Merupakan tindakan yang sangat hina seseorang yang
makan dengan alat agamanya.”
Abu Turab
berkata, “Aku diberi makanan, namun aku menolak untuk makan. Setelah itu aku
dihukum dengan kelaparan selama sepuluh hari. Kemudian aku sadar, bahwa aku
sedang diuji. Akhirnya aku memohon pertolongan pada Allah dan segera bertobat.”
Al Junaid -
rahimahullah - berkata, “Dengan bersihnya - makanan, pakaian, dan tempat
tinggal maka seluruh perkara akan menjadi baik.”
Di ceritakan
dari Sari as-Saqathi - rahimahullah - yang berkata, “Makan mereka ( kaum Sufi )
seperti makannya orang sakit, tidurnya seperti tidurnya orang yang tenggelam.”
Abu Abdillah
al-Hushri - rahimahullah -berkata, ‘Aku diam selama bertahun-tahun, dimana aku
tidak pantas mengatakan, Aku tidak berselera.’ dan tidak pantas aku makan.”
Di kisahkan,
bahwa Abu Muhammad al-Fath bin Said al-Maushili - rahimahullah - pernah datang
dari Mousul berkunjung ke rumah Bisyr al-Hafi. Kemudian al-Hafi mengeluarkan
uang satu dirham dan diberikan kepada Ahmad bin Yahya bin al Jalla’, yang saat
itu la menjadi pembantunya.
“Berangkatlah
ke pasar dan belilah makanan dan lauk-pauk yang baik,” perintah al-Hafi kepada
al Jalla’.
Ahmad al
Jalla’ berkata: Kemudian aku berangkat ke pasar, dan membeli roti. Sementara
itu aku berkata pada diriku sendiri, “Nabi saw tidak pernah mendoakan pada
suatu makanan dengan doa, ‘Ya Allah berkahilah kami pada makanan ini dan
tambahkanlah kami darinya.’ kecuali pada susu.” Akhirnya aku membeli susu dan
kurma yang baik. Aku datang dan aku suguhkan kepadanya. Kemudian la makan apa
yang perlu la makan, dan mengambil sisanya kemudian la keluar.
Ketika
tamunya sudah keluar, maka Bisyr al-Hafi berkata kepada orang yang ada di sisinya,
“Ia adalah al-Fath al-Maushili yang datang kepadaku untuk berziarah. Tahukah’
kalian, mengapa ia tidak berkata kepadaku, ‘Makanlah!?’ Sebab seorang tamu
tidak boleh mengatakan kepada tuan rumah, ‘Makanlah!’ Dan tahukah kalian
mengapa aku memerintahkan kepada al Jalla’, ‘Belilah makanan yang baik?’ Sebab
makanan yang baik berusaha mengeluarkan syukur yang murni. Lalu tahukah kalian,
mengapa ia membawa sisa makanan tersebut? Sebab jika tawakalnya sudah benar
maka apa yang dibawanya tidak akan membahayakannya.”
Dikatakan
kepada Ma’ruf al-Karkhi - rahimahullah, “Mengapa Anda selalu berangkat kepada
orang yang mengundangmu?” la menjawab, ‘Aku hanyalah seorang tamu, aku akan
mampir di mana mereka mempersilakan aku mampir.”
Dikisahkan
dari Abu Bakar al-Kattani -rahimahullah -yang berkata, “Selama setahun
kira-kira tiga ratus orang dari kaum sufidan guru Sufi (syekh) berkumpul di
sini, yakni di Mekkah. Mereka berkumpul di satu tempat. Selama itu di kalangan
mereka tidak pernah berlangsung suatu rizudzakarah (belajar ilmu). Sementara
itu yang ada di kalangan mereka hanyalah akhlak, kemuliaan dan antara yang satu
dengan yang lain saling memberikan prioritas daripada diri mereka sendiri.”
Abu Sulaiman
ad-Darani - rahimahullah - berkata, “Jika Anda menginginkan suatu hajat
(kebutuhan) dunia maupun akhirat, maka janganlah Anda makan sehingga Anda
berhasil meraihnya. Sebab makan itu akan mematikan hati.”
Dikisahkan
dari Ruwaim - rahimahullah - yang berkata, “Sejak dua puluh tahun benakku tidak
pernah terlintas masalah makanan sampai ia datang sendiri.”
Aku
mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Atha’ ar-Rudzabari berkata, ‘Abu All
ar-Rudzabari pernah membeli beberapa kantong gula putih. Kemudian la memanggil
sekelompok orang yang ahli membuat manisan. Mereka menjadikan gula tersebut
suatu dinding yang memiliki teras dan mihrab yang memiliki beberapa tiang yang
berukir. Seluruhnya dari bahan gula. Kemudian ia mengundang kaum Sufi sehingga
mereka menghancurkan seluruhnya dan merampasnya.
Saya
mendengar Abu Abdillah ar-Rudzabari berkata, “Ada seseorang mengadakan jamuan.
la menyalakan lampu sebanyak seribu. Kemudian ada seorang laki-laki berkata
kepadanya, ‘Anda telah melakukan pemborosan.’
Seseorang
yang mengadakan jamuan balik berkata, ‘Silakan Anda memasuki ruangan, dan silakan
Anda memadamkan lampu yang saya nyalakan karena Allah.’
Laki-laki
tersebut kemudian masuk ruangan dan berusaha memadamkan lampu-lampu itu. Namun
ia tidak mampu memadamkan satu lampu pun, dan akhirnya berhenti.”
Dikisahkan
dari Abu Abdillah al-Hushri - rahfmahullah - yang berkata: Aku mendengar Ahmad
bin Muhammad as-Sulami berkata, “Aku pernah di Mekkah, dan selama tiga hari aku
tidak pernah makan apa pun. Kemudian terlintas dalam benakku untuk mengumpulkan
para ahli ibadah, para sufi dan orang-orang yang memiliki keutamaan yang
tinggal di tanah Haram. kemudian aku menyewa sebelas pasang tenda, dan berharap
rezeki yang datang dari berbagai penjuru. Aku terus melakukannya selama sebelas
hari. Dan selama sebelas hari itu pula aku tidak pernah makan apa pun.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan