Oleh Syeikh
Abu Nashr as-Sarraj
Allah
swt-berfirman: “Dia-iah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan
dan (berlayar) di Lautan.”(Qs. Yunus: 22).
Riwayat dari
Ibnu Umar r.a, bahwa Rasululiah saw. apabila, menaiki unta untuk bepergian,
selalu bertakbir tiga kali, kemudian membaca: “Maha Suci Tuhan yang telah
menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya, Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Q.s.
Az-Zukhruf- 13-4)
Kernudian
dilanjutkan dengan doa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bermohon kepada-Mu, agar
dalam. bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan takwa, melakukan
perbuatan yang Engkau ridhoi, dan mudahkanlah kami dalam perjalanan kami. Ya
Allah, Engkau-lah yang menjadi Pendamping dalam bepergian, sebagai Khaiifah
bagi keluarga dan harta. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kesukaran perjalanan dan dari kebinasaan yang cepat, dan dari keburukan pandang
pada harta dan keluarga. “ Apabila Nabi pulang, selalu mengucapkan pada
istri-istrinya, dan ditambah dengan doa, “(kami) orang yang kembali, tergolong
orang yang bertobat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji.
(H.r.
Muslim).
Karena soal
berpergian sering disebut oleh kaum Sufi, maka kami secara khusus membuat bab
dalam Risalah ini, mengingat masalah bepergian termasuk masalah besar bagi
mereka tampaknya di antara kaum Sufi sendiri terjadi perbedaan. Ada di antara
mereka yang memprioritaskan berdiam diri di rumah daripada berpergian, kecuali
dengan suatu tujuan, seperti naik haji. Namun pada umumnya mereka lebih banyak
diam di rumah, seperti al-junayd, Sahl bin Abdullah, Abu Yazid al-Busthamy, Abu
Hafs dan yang lain. Tetapi juga ada yang lebih senang bepergian. Hai demikian
dilakukan sampai akhir hayatnya, seperti Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin
Adham dan yang lainnya. Rata-rata mereka berpergian pada awal masa mudanya,
ketika menjalani perilaku ruhani, kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi
pergi pada akhir perjalanan ruhaninya, seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail
al-Hiry, Duiaf asy-Syibly dan yang lain. Masing-masing memiliki prinsip, dimana
tharikatnya mereka bangun. Perlu diketahui, bahwa berpergian itu ada dua
macamPertama, pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat
lain. Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu: mendaki dari satu tangga sifat
ke sifat lain.Banyak orang yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan
sedikit sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata: “Ada seorang syeikh dari
kalangan Sufi di sebuah desa di luar Naisabur. ia memiliki beberapa karya
tulis. Suatu ketika beberapa orang bertanya padanya, ‘Apakah engkau berpergian,
wahai syeikh?’ Syeikh itu menjawab, ‘Bepergian di bumi atau bepergian ke
langit?’ Kalau bepergian di muka bumi, tidak. Tapi kalau berpergian ke langit,
memang benar.”Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah, “Suatu hari, sebagian
fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir itu berkata padaku,Aku telah
menempuh perjalanan jauh yang meletihkan,” hanya untuk menemuimu.Aku menjawab,
’Sebenamya Anda cukup selangkah saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu
sendiri’.”Kisah-kisah berpergian mereka bermacam-macam, baik dalam ragam maupun
tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani berkata, Aku berada di tengah padang
pasir dalam keadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan,
sembari berdoa: Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang letih, padahal aku datang
untuk. menjadi tamu-Mu.’ Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku, Siapa yang
mengundang kamu.’ Aku berkata, Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana
Thufaily. Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada
seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap, Hai orang ajam, mau kemana
kamu! Kukatakan, Menuju ke Mekkah al-Mukarramah, semogaAllah swt menjaganya. Si
Badui itu berujar, Apakah Allah mengundangmu? Aku menjawab, Aku tidak tahu.
Selanjutnya orang itu berkata, bukankah Allah swt. berfirman: Bagi orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baituliah? (Q.s. Ali Imran: 97).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan