Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Syekh Abu
Nashr as-Sarraj r.a berkata:
“Adab mereka
dalam berzakat, maka sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kepada mereka zakat,
karena Allah telah menjauhkan mereka dari harta dunia yang harus dibayar
zakatnya. ”
Dikisahkan
dari Mutharraf bin Abduliah bin asy-Syukhair - rahfmahuliah -yang mengatakan,
“Nikmat Allah yang diberikan kepadaku, dengan menjauhkan diriku dari dunia
jauh, lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan kepadaku dengan segaia
pemberian-Nya.”
Demikian
juga bagi kaum Sufi yang lain, dimana mereka meng¬anggap, bahwa nikmat Allah
yang diberikan kepada mereka dengan menjauhkannya dari dunia merupakan nikmat
yang lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan kepada mereka dengan
memberinya dunia meskipun itu dalam jumiah yang sangat besar.
Sebagian
dari mereka juga mengatakan, sementara ia orang yang memiliki dunia:
“Tak wajib
bagiku zakat harta. Masih wajibkah zakat bagi orang yang dermawan”.
Ia dengan
bangga mengatakan hal itu “Zakat harta tak wajib bagiku,” Maksudnya, tidak
pernah menyisakannya, sehingga tidak ter¬kumpul harta yang mewajibkan zakat.
Saya pernah
mendengar dari Ibrahim bin Syaiban al-Qirmisini - rahimahuliah - bahwa ia
bertemu asy-Syibli - rahimahuliah. Sementara Ibrahim adalah orang yang melarang
orang lain pergi ke asy-Syibli, diam bersamanya dan mendengarkan ucapannya.
Kemudian ia berkata kepada asy-Syibli - rahimahuliah - dengan maksud
mengujinya,
“Berapa
zakat dari lima ekor unta?” Asy¬-Syibli menjawab, “Kewajiban dari perintahnya
adalah seekor domba. Sedangkan bagi kami adalah semuanya, yakni apa yang kami
klaim sebagai madzhab kami.”
Ibrahim
kemudian bertanya lagi, “Apakah dalam pendapat ini Anda juga punya imam?”
Asy-¬Syibli
menjawab, “Ya! Imam saya adalah Abu Bakar, dimana ia mengeluarkan seluruh
hartanya. Saat itu kemudian Nabi bertanya, Apa yang engkau tingggalkan untuk
keluargamu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Cukup Allah dan Rasul-Nya’.” Ibrahim kemudian
bangkit, dan sejak peristiwa itu ia tidak iagi melarang orang lain untuk datang
ke asy-Syibli.
Adapun adab
kaum Sufi dalam hal zakat ialah mereka tidak makan dari harta zakat, tidak
meminta dan tidak pula mengambil¬nya, meskipun Allah membolehkan mereka
mengambil harta zakat. Dan seandainya mereka makan dari harta zakat sebenarnya
mereka makan harta yang halal dan baik. Namun dengan tidak melakukannya adalah
dengan maksud mendahulukan orang¬-orang fakir miskin dan tidak berebut dengan
orang-orang lemah dan mereka yang lebih membutuhkan.
Disebutkan,
bahwa Muhammad bin Manshur sahabat Abu Ya’qub as-Susi jika ia diberi atau
dibawakan sesuatu dari harta zakat, sedekah dan harta tebusan (kafarat) sumpah,
sementara ia tahu bahwa harta tersebut dari beberapa aspek di atas, maka ia
tidak mau mengambilnya dan tidak pula membagikan kepada teman-temannya sesama
kaum fakir (Sufi).
Ia berkata,
“Sesuatu yang saya tidak rela untuk diriku dan juga sahabat-sahabatku.” Dan
jika ia diberi sesuatu yang ia tidak tahu bahwa harta tersebut dari beberapa
aspek di atas maka ia mau mengambil dan memakan¬nya.
Adapun
sebagian kaum Sufi yang lain tidak melihat ada kelong¬garan seperti demikian.
Mereka tidak pernah tamak, meminta dan berharap. Jika mereka diberi sesuatu
dengan tanpa meminta ter¬lebih dahulu maka akan menjaga diri dari pemberian
tersebut.
Saya pernah
mendengar dari sebagian saudara-saudara kami kaum Sufi, bahwa salah seorang di
antara mereka menginfakkan hartanya untuk kaum Sufi yang fakir sebanyak seribu
dinar setiap tahun. Ia bersumpah, tidak akan menginfakkan untuk mereka senilai
satu dirham pun yang diambilkan dari zakatnya. Dan sebagaimana yang saya lihat
sendiri.
Diceritakan
dari Abu Ali al-Masytuli, bahwa ia menginfakkan hartanya untuk kaum Sufi yang
membuat para pedagang Mesir kagum dan mereka berkata, “Harta kita tidak cukup
bila diban-dingkan dengan harta yang ia infakkan.” Dan disebutkan bahwa ia
tidak pernah kena wajib zakat sama sekali.
Saya pernah
mendengar sebagian syekh Sufi yang mulia ber¬kata, “Saya telah menjalin
hubungan persaudaraan yang sangat erat dengan orang kaya.Ia memiliki tempat
tersendiri dalam hatiku dari rasa cinta.
Ia pernah
ingat kepadaku ketika mengeluarkan zakat dan membagikan sedekahnya. Akhirnya
semua itu dapat menghiiangkan rasa cinta kasih dalam hatiku.”
Saya pernah
melihat catatan seorang imam terkenal yang ia tulis untuk salah seorang fakir
Sufi. Dalam catatan surat itu ter¬tulis, “Wahai saudaraku, saya telah
mengirimkan untukmu sesuatu yang bukan dari zakat dan sedekah. Sementara itu
tidak seorang pun selain Allah bisa memberi anugerah. Saya mengharap kepada
Anda untuk bisa menyenangkan hatiku jika Anda mau meneri¬manya.”
Adapun harta
sedekah yang diberikan kepada mereka dengan tanpa diminta dan juga tidak
berharap (tamak), tidak pula karena mencari kemuliaan (harga diri), dimana
sedekah tersebut dari orang-orang yang tidak mengerti perilaku kaum Sufi, tidak
me¬ngerti kondisi mereka, tidak pernah bermuamalah dengan mereka dan tidak tahu
asal-usulnya, maka tidak seyogyanya sedekah tersebut ditolak.
Sebab ada
riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw pernah berkata kepada Umar bin
Khaththab r.a.,
“Jika Allah
memberimu sesuatu dari harta dengan tanpa meminta terlebih dahulu dan tidak
untuk mencari kemuliaan, maka ambilah dan janganlah engkau menolaknya. Sebab
jika engkau menolaknya berarti engkau mengembalikan kepada Allah Azza wa Jalia.
“ (H.r. Malik dan Bukhari-Muslim dari Umar).
Jika ia
tidak menolaknya dan kemudian mengambilnya, maka ia boleh memilih dua
alternatif Jika ia memakannya maka ia ma¬kan dari harta yang halal dan baik,
dan jika ia memberikan kepada orang lain yang ia anggap lebih berhak
menerimanya maka ini adalah tindakan yang baik dan indah.
Saya
mendengar Abu Bakar Muhammad bin Dawud ad-Dina¬wari ad-Duqqi - rahimahuliah -
berkata, ‘Abu Bakar al-Farghani termasuk salah seorang yang namanya tercantum
dalam daftar orang-orang miskin yang mendapatkan ransum di bulan Ramadhan.
Setiap malam ia mengambilnya lalu ia berikan kepada seorang perempuan tua yang
tinggal di sebelah rumahnya, dimana perempuan tua ini tidak tercantum dalam
daftar orang-orang yang berhak mendapatkan ransum yang dibagikan di bulan
Ramadhan.”
Sebagian
kaum Sufi berkata, “Barangsiapa mengambil dari Allah Swt. maka ia mengambil
dengan kemuliaan. Dan barangsiapa mengambil bukan karena Allah, maka ia
mengambil dengan hina. Barangsiapa membiarkan (tidak mengambil) karena Allah
maka ia membiarkan dengan hormat, dan sebaliknya barangsiapa mem¬biarkan bukan
karena Allah Swt. maka ia membiarkan dengan hina. Maka barangsiapa mendasarkan
segala urusannya dalam mengambil dan memberi bukan pada landasan ini maka ia
dalam kondisi yang sangat berbahaya. Sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui
orang yang salah dan yang benar. Sementara tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi bagi Allah Swt.”
Salah satu
bukti kebenaran orang yang mengambil karena Allah, memberi karena Allah dan
membiarkan (tidak mengambil) juga karena Allah ialah bahwa menurut pandangannya
antara diberi atau tidak diberi, kondisi krisis dan penuh nikmat adalah sama
dan tak berbeda.
Ada
tingkatan lain yang lebih memilih harta zakat dan sedekah daripada hadiah,
hibah, pemberian karena orang lain mengutama¬kannya atau karena bantuan untuk
meringankan beban. Mereka berkata, “Allah Swt. telah memberikan hak kepada
orang-orang fakir dalam harta orang-orang kaya. Sehingga apabiia kami
meng¬ambil dari mereka itu berarti mengambil hak yang Allah berikan kepada
kami. Maka tak ada arti untuk tidak mengambilnya.”
Sementara
orang yang tidak suka mengambil harta zakat dengan alasan bahwa itu adalah
kotoran manusia, hanyalah karena ada pendapat yang mengatakan bahwa zakat
(sedekah) bisa mem¬bersihkan kotoran dosa orang-orang yang bersedekah. Andaikan
dengan mengambil harta zakat dan sedekah itu bisa mengurangi atau menurunkan
derajat orang-orang fakir, karena itu merupakan kotoran dosa orang-orang yang
bersedekah tentu hal ini juga bakal terjadi pada para pengumpul zakat (amil),
para mu’alaf (orangyang baru masuk islam), orang yang berperang demi membela
agama Allah
(fi
sabilillah) dan musafir (ibnu sabil).
Sedangkan
orang yang sewaktu di dunia ini tidak memiliki sedikit pun harta yang bisa ia
gunakan untuk bersedekah, sehingga ia tidak bisa mendapatkan keutamaan
bersedekah, maka Allah memberikan cara lain dalam bersedekah, yaitu bersedekah
dengan ucapan dan perbuatannya, dimana pahalanya tidak kalah besar dengan
sedekah harta. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ra¬sulullah Saw yang
bersabda:
“Bersikap
ramah kepada orang lain adalah sedekah.” Anda membantu saudara Anda juga
sedekah.
“Dan
termasuk sedekah adalah jika Anda bertemu saudara Anda dengan wajah
berseri-seri. Dan Anda tuangkan isi wadah Anda ke wadah saudara Anda juga
sedekah. “’
Dikisahkan
dari Bisyr bin al-Harits al-Hafi yang mengatakan, ”Wahai para ahli Hadist,
tunaikanlah zakat Hadist.” Kemudian ia ditanya, ‘Apa zakat Hadist itu?” ia
menjawab, ‘Amalkan lima Hadist dari setiap dua ratus Hadist.” Yakni dari setiap
dua ratus Hadist yang Anda tulis dan anda hafal.Orang yang wajib membayar zakat
membutuhkan empat hal, sehingga ia bisa disebut orang yang menunaikan zakat:
Pertama,
hendaknya memperoleh hartanya dengan cara yang halal.
Kedua,
mengumpulkannya tidak untuk berbangga-bangga dan menyombongkan diri terhadap
orang-orang yang berada di bawahnya.
Ketiga,
memulai dengan perilaku baik dan dermawan kepada keluarga dan kerabat dekatnya.
Keempat,
menjauhkan diri dari mengungkit-ungkit dan me¬nyakiti hati orang yang diberi
zakat. Sementara itu, zakat adalah hak orang-orang fakir, dimana Allah telah
menetapkannya pada harta orang-orang kaya. Maka orang yang membayar zakat
kepada mereka, berarti ia telah me-ngembalikan harta mereka kepada mereka yang
punya hak. Dengan demikian ia telah menghimpun ridha Allah Azza wa Jalla,
menyelamatkan dirinya dari pertanyaan di hari Perhitungan amal (Hisab) dan
selamat dari siksa yang sangat pedih.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan