Mahabbah menurut arti bahasa
adalah saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai
Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya,
mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan
seluruh diri kepada-Nya.
Mahabbah juga dapat
diertikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk
bertemu dengan Kekasih iaitu Allah SWT.
Cinta sering mendatangkan
kebutaan dan ketulian, cinta membutakan segala kecuali terhadap yang dicintai
sehingga orang itu tidak melihat apa pun kecuali Dia.Cinta membuat telinga
tuli, tidak mendengar sesuatu pun di mana dia hanya mendengar ungkapan dan
ucapan-ucapan dari yang dicintaiNya.
Cinta dalam hal ini dapat
dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu:
1. Mencintai Allah merupakan
kesempurnaan cinta dan tuntutan cinta;
2. Mencintai kerana Allah,
mengharuskan cinta untuk mencintai apa
yang dicintai oleh
Kekasihnya itu dan mencintai sesuatu yang boleh
membantu cintanya untuk
membawanya kepada keredhaanNya dan mendekatiNya;
3. mencintai sesuatu bersama
Allah adalah cinta yang berbentuk syirik
yang memasukkan hal-hal lain
ke dalam muatan cinta.
Mahabbah atau cinta dalam
pengertian di atas memberikan keterangan
yang jelas terhadap makna
mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah
usaha menuangkan segala yang
dimiliki untuk mengisinya kembali dengan
muatan cinta sehingga hati
sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh
perkara-perkara lain.
Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahawa sesuatu
yang dikasihi sebagai
sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi.
Amr bin 'Utsman Makki
mengatakan dalam Kitab-i Mahabbat bahwa Allah menciptakan jiwa (dilha) tujuh
ribu tahun sebelum badan, dan menjaganya dalam peringkat kedekatan (qurb), dan
bahwa Dia menciptakan ruh (janha) tujuh ribu tahun sebelum jiwa dan menjaganya
dalam derajat kedekatan (uns), dan bahwa Dia menciptakan kalbu (sirrha) tujuh
ribu tahun sebelum ruh dan menjaganya dalam derajat persatuan (washl), dan
mengungkapkan keindahan-Nya kepada kalbu sebanyak tiga ratus enam puluh kali
setiap hari dan menganugerahkan kepadanya tiga ratus enam puluh penglihatan
akan rahmat, dan Dia menyebabkan ruh mendengar kata cinta dan menampakkan tiga
ratus enam puluh nikmat kedekatan yang mendalam kepada jiwa, sehingga semuanya
memandangi alam semesta yang fenomenal dan melihat tidak ada yang lebih elok
daripada diri mereka sendiri dan mereka dipenuhi dengan kesia-siaan dan
kecongkakan.
Karena itu ; Tuhan pun
mengujinya. Dia rnemenjarakan kalbu di dalam ruh dan ruh di dalam jiwa dan jiwa
di dalam badan. Kemudian Dia mencampur akal ('aql) dengan mereka, dan mengutus
nabi-nabi dan memberikan perintah-perintah. Lalu masing-masing di antara mereka
mulai mencari peringkat (maqam) aslinya. Tuhan menyuruh mereka bersembahyang.
Badan lalu melakukan shalat, jiwa menggapai cinta, ruh sampai pada kedekatan
dengan Tuhan, dan kalbu menemukan ketenangan dalam persatuan dengan-Nya.
Cinta Ilahi (al-Hubb
al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan
mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau
antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak
bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan
ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi
dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa
pun.
Kaum Sufi juga menganggap
mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah Swt, untuk menuju
kejenjang ahwâl yang lebih tinggi.
Konsep al-hub (cinta)
pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi'atul Adawiyah
(96 H - 185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war raja'
dari tokoh sufi Hasan Al Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih tinggi dan
lebih sempurna daripada al khauf war raja' (takut dan pengharapan), karena
cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya.
Menurut Rabi'atul Adawiyah, al hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu
dan pasrah kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati
Rabi'atul Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk
mencintai Allah SWT. Sehingga perkara yang menarik tentang diri Rabi'ah ialah
dia menolak lamaran untuk menikah dengan alasan:
"Pernikahan itu memang
perlu bagi siapa yang memiliki pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan
untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak
memiliki apa-apa pun. "
Kecintaan Rabi'ah kepada
Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga, hanya untuk Allah
semata-mata. Sebagaimana dalam munajat beliau :
"Jika aku menyembah-Mu karena
takut dari api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku
menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya!
Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku
balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia
itu. "
Rabi'ah seolah-olah tidak
mengenali yang lain dari Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah
semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan
Allah. Rabi'ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya
kepada akhirat semata-mata. Dia selalu meletakkan kain kapannya di hadapannya
dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.
Cinta Rabi'ah kepada Allah
SWT begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak seluruh tawaran untuk
menikah. Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, karenanya
siapa yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu kepada-Nya. Pernah
ditanyakan kepada Rabi'ah, apakah engkau benci kepada syetan ? Dia menjawab,
"Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku,
untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi
Muhammad SAW ? Dia menjawab, "Saya cinta kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi
cintaku kepada khalik memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk. Banyak
sekali syair dan gubahan dari Rabi'ah menggambarkan cintanya kepada Allah SWT.
Adalah Imam al Qusyairi,
pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada
hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia
kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum
untuk semua hambaNya--menurut Qusyairi--dinamakan Rahmat; kemudian jika irâdah
tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka(ghadlab).
Masih dalam konteks yang
sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut versi kaum
salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah lantas
menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan
sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran
yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta diidentikkan dengan kecenderungan
pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka
mereka menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi
yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka
(baca:kaum salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang
bersifat ilâhiyah.
Al Junaidi Al Baghdadi
menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati
seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang
daripada- Nya tanpa usaha.
Abu Nasr as Sarraj at-Tusi
seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat : (1) Mahabbah
orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan
memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya,
(2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal
Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik
ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir
yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup
menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu
dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang
telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini,
yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada
akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta
pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat
berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Banyak sekali dalil naqli,
Al Qur'an dan Al Hadis yang menjadi dasar adanya mahabbah antara makhluk dengan
khalik-Nya.
Firman Allah SWT,
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al Maidah 5 : 54).
Firman Allah SWT,
Artinya : Katakanlah,
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Q.S. Ali Imran 3 : 31).
Sabda Rasulullah SAW,
Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,
"Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang
bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka
Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya" (H.R. Bukhari).
Sabda
Rasulullah SAW: Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW menuturkan
bahwa Jibril a.s memberitahukan bahwa Tuhan Allah SWT telah berfirman,
"Barangsiapa yang menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah
memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu- ragu dalam
melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba- Ku
yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun
tidak ada jalan darinya. Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk
mendekati-Ku adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah
Ku-perintahkan kepadanya, dan senantiasa dia mendekat kepada-Ku dengan
melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan bagi barangsiapa
yang Ku-cintai, maka Aku menjadi telinganya, matanya, tangannya dan tiang
penopangnya".(H.R. Ibnu Abidunya, Al Hakim, Ibnu Mardawih dan Abu Na'im).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan