Catatan Popular

Ahad, 16 November 2014

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 13) : TASAWUF MENURUT PARA SUFI



Setiap orang yang berbicara tentang tasawuf selalu bertanya: Apa arti tasawuf itu? Dan siapa yang disebut sufi? Tulisan berikut ini akan membeberkannya.

Setiap ungkapan atau pendapat selalu dikaitkan dengan pengalaman orang yang menjalaninya. Berikut adalah ungkapan beberapa orang sufi mengenai pengertian tasawuf secara sekilas.

Ketika Muhammad Al-Jurairy ditanya tentang tasawuf, dia menjelaskan, “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”

Al-Junayd ditanya soal tasawuf, dia menjawab, “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya.”

Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj, ketika ditanya tentang sufi, menjawab, “Kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun yang menerimanya, dan juga tak menerima siapa pun.”

Abu Hamzah Al-Baghdady berkata, “Tanda sufi yang benar adalah, dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, dan dia bersembunyi setelah terkenal. Tanda seorang sufi palsu adalah, dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, dan dia menjadi masyhur setelah tersembunyi.”

Amr bin Utsman Al-Makky ditanya tentang tasawuf, jawabnya, “Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik pada saat itu.”

Muhammad bin Ali Al-Qashashab mengatakan, “Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia, di tengah-tengah kaum yang mulia.”

Ketika ditanya tentang tasawuf, Samnun berkata, “Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apapun, tidak pula dimiliki oleh apapun.”

Ruwaym ditanya tentang tasawuf, jawabnya; “Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apapun yang dikehendakiNya.”

Al-Junayd ditanya tentang tasawuf, jawabnya, “Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT, tanpa keterkaitan apapun.”

Ruwaym bin Ahmad berkata, “Tasawuf didasarkan pada tiga sifat; memeluk kemiskinan, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan cara mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri, dan meninggalkan sikap menentang dan memilih.”

Ma’ruf Al-Karkky menjelaskan, “Tasawuf artinya memihak kepada hakikat-hakikat, dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk.”

Hamdun Al-Qashar berkata, “Bersahabatlah dengan para sufi, karena mereka melihat alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan sesuatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakannya.”

Al-Kharraz menjawab, ketika ditanya tentang ahli tasawuf, “Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan, yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Kemudian mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat dihatinya, ‘Ingatlah! Menangislah kalian karena Kami.’. Itulah ahli tasawuf.”

Al-Junayd berkata, “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.” Dia berkata pula, “Para sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.” Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi, “Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang disertai penyimakan, dan tindakan yang didasari sunnah Rasul.”

Sahl bin Abdullah berkata, “Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”

Al-Junayd menyatakan, “Kaum sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik.”

Dia juga mengatakan, “Seorang sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa, juga seperti mendung, memayungi segala yang adas, seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.” Dia melanjutkan, “Jika engkau melihat seorang sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.”

Ahmad An-Nury berkata, “Tanda seorang sufi adalah dia rela ketika tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.”

Muhammad bin Ali Al-Kattany menegaskan, “Tasawuf adalah akhlak yang baik. Yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti dia melebihimu dalam tasawuf.”

Asy-Syibli mengatakan, “Tasawuf adalah duduk bersama Allah SWT tanpa hasrat.”

Al-Jurairy mengatakan, “Tasawuf berarti kesadaran atas keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”

Al-Muzayyin menegaskan, “Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”

Askar An-Nakhasyaby menyatakan, “Seorang sufi tidaklah dikotori oleh sesuatu pun, tapi menyucikan segala sesuatu.”

Dikatakan, “Pencarian tidaklah meletihkan sang sufi, dan hal-hal duniawi tidaklah mengganggunya.”

Ketika Dzun Nun Al-Mishry ditanya tentang orang-orang sufi, dia menjawab, “Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah SWT di atas segala-galanya, dan yang diutamakan Allah di atas segala makhluk yang ada.”

Muhammad Al-Wasithy mengatakan, “Mula-mula para sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”

Dikatakan, “Sufi adalah orang yang manakala disuguhi dua keadaan atau dua akhlak yang baik, dia akan memilih yang lebih baik diantanya.”

Asy-Syibly ditanya, “Mengapa para sufi itu disebut sufi?” Dia menjawab, “Hal itu karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”

Ahmad Ibnul Jalla’ ditanya, “Apakah yang disebut sufi?” Dia menjawab, “Kita tidak mengenal mereka melalui pra syarat ilmiah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah SWT tanpa tirakat pada suatu tempat, tetapi Allah SWT tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut sufi.”

Abu Ya’qub Al-Mazabily menjelaskan, “Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”

Menurut Syekh Abu Ali Ad-Daqqaq, yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah SWT untuk menyapu kotoran binatang.”

Abu Ali pada suatu hari menyatakan, “Seandainya si miskin tak punya apa-apa lagi yang tersisa selain ruhnya, dan ruhnya itu ditawarkan kepada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang akan menaruh perhatian kepadanya.”

An-Nury ditanya tentang sufi, dan dia menjawab, “Sufi adalah manusia yang menyimak pendengaran dan yang mengutamakan sebab-sebab yang diridhai.”

Abu Nasr As-Sarraj bertanya kepada Ali Al-Hushry, “Siapakah menurutmu sufi itu?” Ali Al-Hushry menjawab, “Yang tidak dibawa bumi dan tidak dinaungi langit.” Mendengar itu Abu Nasr berkomentar, “Menurut saya, ini Al-Hushry merujuk kepada nuansa keleburan.”

Syekh Abu Sahl Ash-Sha’luki berkata, “Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah SWT.”

Al-Hushry berkomentar, “Sang sufi tiada setelah ketiadaannya, dan tidak pula tiada setelah keberadaannya.”

Ucapan ini tidak mudah dipahami. Kata-kata, “Dia tiada setelah ketiadaannya.” Berarti bahwa setelah cacat-cacatnya hilang, cacat-cacat itu tidaklah akan kembali. Perkataan, “Tidak pula dia tiada setelah keberadaannya.” Berarti bahwa dia sibuk bersama Allah SWT, gugur karena gugurnya makhluk. Seluruh peristiwa dunia, tidaklah sampai mempengaruhinya.

Dikatakan, “Sang sufi terhapuskan dalam kilasan yang diterimanya dari Allah.” Dikatakan pula, “Sang sufi terkungkung dalam pelaksanaan Rubibiyah dan tertutupi melalui pelaksanaan ubudiyah.”

Juga dikatakan pula, “Sufi itu tidak berubah. Tapi seandainya dia berubah, dia tidak akan ternodai.”

Disarikan dari kitab Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, karya Imam Al-Qusyairy An-Naisabury.


Tiada ulasan: