Setiap orang yang berbicara tentang tasawuf selalu
bertanya: Apa arti tasawuf itu? Dan siapa yang disebut sufi? Tulisan berikut
ini akan membeberkannya.
Setiap ungkapan atau pendapat selalu dikaitkan
dengan pengalaman orang yang menjalaninya. Berikut adalah ungkapan beberapa
orang sufi mengenai pengertian tasawuf secara sekilas.
Ketika Muhammad Al-Jurairy ditanya tentang tasawuf,
dia menjelaskan, “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar
dari setiap akhlak yang tercela.”
Al-Junayd ditanya soal tasawuf, dia menjawab,
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu
dengan-Nya.”
Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj, ketika ditanya
tentang sufi, menjawab, “Kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun yang
menerimanya, dan juga tak menerima siapa pun.”
Abu Hamzah Al-Baghdady berkata, “Tanda sufi yang
benar adalah, dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, dan dia
bersembunyi setelah terkenal. Tanda seorang sufi palsu adalah, dia menjadi kaya
setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan,
dan dia menjadi masyhur setelah tersembunyi.”
Amr bin Utsman Al-Makky ditanya tentang tasawuf,
jawabnya, “Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik
pada saat itu.”
Muhammad bin Ali Al-Qashashab mengatakan, “Tasawuf
adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia, di tengah-tengah kaum yang mulia.”
Ketika ditanya tentang tasawuf, Samnun berkata,
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apapun, tidak pula dimiliki oleh
apapun.”
Ruwaym ditanya tentang tasawuf, jawabnya; “Tasawuf
artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apapun yang
dikehendakiNya.”
Al-Junayd ditanya tentang tasawuf, jawabnya,
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT, tanpa keterkaitan
apapun.”
Ruwaym bin Ahmad berkata, “Tasawuf didasarkan pada
tiga sifat; memeluk kemiskinan, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan
cara mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri, dan
meninggalkan sikap menentang dan memilih.”
Ma’ruf Al-Karkky menjelaskan, “Tasawuf artinya
memihak kepada hakikat-hakikat, dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada
makhluk.”
Hamdun Al-Qashar berkata, “Bersahabatlah dengan para
sufi, karena mereka melihat alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan
yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan sesuatu yang
besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakannya.”
Al-Kharraz menjawab, ketika ditanya tentang ahli
tasawuf, “Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan, yang
mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya.
Kemudian mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat dihatinya,
‘Ingatlah! Menangislah kalian karena Kami.’. Itulah ahli tasawuf.”
Al-Junayd berkata, “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
Dia berkata pula, “Para sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa
dimasuki oleh orang-orang selain mereka.” Selanjutnya dia juga menjelaskan
lagi, “Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang disertai penyimakan, dan
tindakan yang didasari sunnah Rasul.”
Sahl bin Abdullah berkata, “Sufi adalah orang yang
memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
Al-Junayd menyatakan, “Kaum sufi adalah seperti
bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan
kecuali segala tumbuhan yang baik.”
Dia juga mengatakan, “Seorang sufi adalah bagaikan
bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa, juga seperti mendung,
memayungi segala yang adas, seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.” Dia
melanjutkan, “Jika engkau melihat seorang sufi menaruh kepedulian kepada
penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.”
Ahmad An-Nury berkata, “Tanda seorang sufi adalah
dia rela ketika tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.”
Muhammad bin Ali Al-Kattany menegaskan, “Tasawuf
adalah akhlak yang baik. Yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti dia
melebihimu dalam tasawuf.”
Asy-Syibli mengatakan, “Tasawuf adalah duduk bersama
Allah SWT tanpa hasrat.”
Al-Jurairy mengatakan, “Tasawuf berarti kesadaran
atas keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
Al-Muzayyin menegaskan, “Tasawuf adalah kepasrahan
kepada Al-Haq.”
Askar An-Nakhasyaby menyatakan, “Seorang sufi
tidaklah dikotori oleh sesuatu pun, tapi menyucikan segala sesuatu.”
Dikatakan, “Pencarian tidaklah meletihkan sang sufi,
dan hal-hal duniawi tidaklah mengganggunya.”
Ketika Dzun Nun Al-Mishry ditanya tentang
orang-orang sufi, dia menjawab, “Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah SWT
di atas segala-galanya, dan yang diutamakan Allah di atas segala makhluk yang
ada.”
Muhammad Al-Wasithy mengatakan, “Mula-mula para sufi
diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu
pun yang tinggal selain kesedihan.”
Dikatakan, “Sufi adalah orang yang manakala disuguhi
dua keadaan atau dua akhlak yang baik, dia akan memilih yang lebih baik
diantanya.”
Asy-Syibly ditanya, “Mengapa para sufi itu disebut
sufi?” Dia menjawab, “Hal itu karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa
mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan
pada mereka.”
Ahmad Ibnul Jalla’ ditanya, “Apakah yang disebut
sufi?” Dia menjawab, “Kita tidak mengenal mereka melalui pra syarat ilmiah,
namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tak
memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah SWT tanpa tirakat pada
suatu tempat, tetapi Allah SWT tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat.
Karenanya disebut sufi.”
Abu Ya’qub Al-Mazabily menjelaskan, “Tasawuf adalah
keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
Menurut Syekh Abu Ali Ad-Daqqaq, yang terbaik untuk
diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang tidak cocok kecuali
bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah SWT untuk menyapu kotoran
binatang.”
Abu Ali pada suatu hari menyatakan, “Seandainya si
miskin tak punya apa-apa lagi yang tersisa selain ruhnya, dan ruhnya itu
ditawarkan kepada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang akan
menaruh perhatian kepadanya.”
An-Nury ditanya tentang sufi, dan dia menjawab,
“Sufi adalah manusia yang menyimak pendengaran dan yang mengutamakan
sebab-sebab yang diridhai.”
Abu Nasr As-Sarraj bertanya kepada Ali Al-Hushry,
“Siapakah menurutmu sufi itu?” Ali Al-Hushry menjawab, “Yang tidak dibawa bumi
dan tidak dinaungi langit.” Mendengar itu Abu Nasr berkomentar, “Menurut saya,
ini Al-Hushry merujuk kepada nuansa keleburan.”
Syekh Abu Sahl Ash-Sha’luki berkata, “Tasawuf adalah
berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah SWT.”
Al-Hushry berkomentar, “Sang sufi tiada setelah
ketiadaannya, dan tidak pula tiada setelah keberadaannya.”
Ucapan ini tidak mudah dipahami. Kata-kata, “Dia
tiada setelah ketiadaannya.” Berarti bahwa setelah cacat-cacatnya hilang,
cacat-cacat itu tidaklah akan kembali. Perkataan, “Tidak pula dia tiada setelah
keberadaannya.” Berarti bahwa dia sibuk bersama Allah SWT, gugur karena
gugurnya makhluk. Seluruh peristiwa dunia, tidaklah sampai mempengaruhinya.
Dikatakan, “Sang sufi terhapuskan dalam kilasan yang
diterimanya dari Allah.” Dikatakan pula, “Sang sufi terkungkung dalam
pelaksanaan Rubibiyah dan tertutupi melalui pelaksanaan ubudiyah.”
Juga dikatakan pula, “Sufi itu tidak berubah. Tapi
seandainya dia berubah, dia tidak akan ternodai.”
Disarikan dari kitab Risalatul Qusyairiyah Induk
Ilmu Tasawuf, karya Imam Al-Qusyairy An-Naisabury.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan