1. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Rasulullah
Saw
Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan
aqidah dan peraturan peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan
Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw
sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya.[1]
Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan
dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam.
Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya serta
menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala
bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat
al-Anfal ayat 46,
واطيعوا الله ورسوله
ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا ان الله مع الصابرين
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar”.[2]
Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak
sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri
menjadi penengahnya.
2. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Khulafaur
Rasyidin
Setelah Rasulullah saw wafat, dalam masa khalifah
pertama dan kedua, umat islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena
mereka sibuk menghadapi musuh dan berusaha memprtahankan kesatuan dan kesatuan
umat. Tidak pernah terjadi perbedan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan
memahamkan al Qur’an tanpa mencari ta’wil dari ayat yang mereka baca. Mereka
mengikuti perintah alqur’an dan mereka menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan
Allah swt dengan apa yang Allah swt sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan
Allah swt dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah swt. Apabila
mereka menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihah mereka yang mengimaninya dengan
menyerahkan penta’wilannya kepada allah swt sendiri.
Di masa khalifah ketiga akibat terjadi kekacauan
politik yang diakhiri dengan terbunuhnya khalifah Utsman. Umat Islam menjadi
terpecah menjadi beberapa golongan dan partai, barulah masing-masing partai dan
golongan-golongan itu dengan perkataan dan usaha dan terbukalah pintu ta’wil
bagi nas al Qur’an dan Hadits. Karena itu, pembahasan mengenai akidah mulai
subur dan berkembang, selangkah demi selangkah dan kian hari kian membesar dan
meluas.
3. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah
Umayyah.
Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga
kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa
sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan
pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan
berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa
sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya.
Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini
didiamkan oleh golongan Salaf.
Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah
Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak
ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan
Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang
dan melebur dalam Mazhab mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas
berbuat (sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan
meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan
sifat, Ia Esa (inilah mereka juga menamakan dirinya dengan “Ahlu At-Tauhid”).
Penghujung abad pertama Hijriah muncul pula kaum
Khawarij yang mengkafirkan orang muslim yang mengerjakan dosa besar, walaupun
pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, akhirnya memisahkan
diri karena alasan politik. Sedangkan kelompok yang tetap memihak kepada Ali
membentuk golongan Syi’ah.
4. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah
Abbasyiah.
Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan
Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang
mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah
penerjemahan besar-besaran segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi,
Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada diantara mereka
kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri yang
diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang melatarbelakangi
timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam.
Dalam masa ini muncul polemik-polemik menyerang
paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid
Al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala Al-Qadariyah” untuk menolak paham
Qadariyah. Hisyam bin Al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya “Al-Imamah, Al-Qadar, Al-Raddu
‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya
“Al-Amin wa Al-Muta’allim” dan “Fiqhu Al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah
Ahlussunnah. Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin
Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan
berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah Al-Makmun,
Al-Mu’tasim dan Al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah
bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak
menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada
mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan Al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh
Mu’tazilah Al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah
wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan
penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang
Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy,
al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi
yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya Al-Asy’ary
dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush Al-Maqal fii ma baina
Al-Hikmah wa Asy-Syarizati min Al-Ittishal” dan “Al-Kasyfu an Manahiji
Al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan
muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu
diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan
jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara
syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan
terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah
cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama
Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah
sukar dan membingungkan.
5. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Pasca
Daulah Abbasyiah.
Sesudah masa Bani Abbasiyah datanglah pengikut Al
Asy‘ari yang terlalu jauh menceburkan dirinya ke dalam falsafah, mencampurkan
mantiq dan lain-lain, kemudian mencampurkan semuanya itu dengan ilmu kalam
sebagaimana yang dilakukan oleh Al Baidlawi dalam kitabnya Ath Thawawi dan
Abuddin Al-Ijy dalam kitab Al-Mawaqif. Madzhab Al-Asy‘ari berkembang pesat
kesetara pelosok hingga tidak ada lagi madzhab yang menyalahinya selain madzhab
hambaliyah yang tetap bertahan dalam madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana
yang tersebut dalam alquran dan al hadits tanpa mentakwilkan ayat-ayat atau
hadits-hadits itu.
Pada permulaan abad kedelapan hijriyah lahirlah di
Damaskus seorang ulama’ besar yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimayah menentang urusan
yang berlebih-lebihan dari pihak-pihak yang mencampur adukkan falsafah dengan
kalam, atau menentang usaha usaha yang memasukkan prinsip-prinsip falsafah ke
dalam akidah islamiyah.
Ibnu Tamiyah membela madzab salaf ( sahabat, tabi’in
dan imam-imam mujahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan al
asy’ariyah dan lain-lain, baik dari golongan rafidhah, maupun dari golongan
sufiyah. Maka karenanya masyarakat islam pada masa itu menjadi dua golongan,
pro dan kontra, ada yang menerima pandapat pendapat ibnu taimiyah dengan
sejujur hati, karena itulah akidah ulama’ salaf dan ada pula yang mengatakan
bahwa ibnu taimiyah itu orang yang sesat.
Jalan yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini
diteruskan oleh muridnya yang terkemuka yaitu Ibnu Qayyimil Jauziyah. Maka
sesudah berlalu masa ini, tumpullah kemauan, lenyaplah daya kreatif untuk
mempelajari ilmu kalam seksama dan tinggallah penulis-penulis yang hanya
memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan
lama.
Kemudian diantara gerakan ilmiah yang mendapat
keberkahan dari Allah, ialah gerakan al iman Muhammad ‘Abduh dan gurunya
jmaluddin Al-Afghani yang kemudian dilanjutka oleh As-Said Rosyid Ridla.
Usaha-usaha beliau inilah, yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama dan
timbullah jiwa baru yang cenderung untuk mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah
dan muridnya. Anggota-anggota gerakan ini dinamakan salafiyyin.
B. Pertumbuhan Dan Perkembangan Aliran-Aliran
Dalam Ilmu Tauhid/Kalam
Awal mula munculnya masalah teologi dalam Islam
memang fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan
umat Islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah ke
dalam beberapa firqah (kelompok / golongan) adalah persoalan
politik. Dari masalah ini kemudian lahir berbagai kelompok dan aliran teologi
dengan pandangan dan pendapat yang berbeda. Namun pertentangan yang tampak
dalam ilmu tauhid adalah penggunaan dalil serta penafsirannya. Ada kelompok
yang hanya memandang dalil dari sisi tekstual, ada yang mencoba menafsirkan
dalil dengan pendapat mereka dengan menggunakan ilmu filsafat, dan ada pula
yang mencoba mencari jalan tengah dengan penalaran dalil melalui filsafat yang
masih terbentengi dengan dalil-dalil yang lain. Sehingga, dari tiap kelompok
terdapat keyakinan yang berbeda dalam menentukan sikap dalam berdalil. Bagi
kelompok yang hanya memandang dalil secara tekstual, akan menganggap kelompok lain
yang menggunakan filsafat telah tersesat. Bagi yang menggunakan filsafat
sebagai landasan hukumnya akan menganggap tidak bergunanya keilmuan tanpa
adanya filsafat.
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut berakibat
munculnya golongan-golongan dalam Islam diantaranya :
1. Khawarij
Khawarij adalah golongan yang memisahkan diri dari
golongan yang mengikuti Ali bin Abi Tholib. Golongan ini berpendapat bahwa
orang Islam yang berbuat dosa besar dan belum sempat taubat ketika masih hidup
maka dianggap kafir.
2. Syi’ah
Adalah golongan yang setia terhadap Ali bin Abi
Tholib. Mereka berpendapat bahwa yang berhak menggantikan nabi adalah Ahlul
Bait. Diantara tokohnya adalah Zaid bin Ali dan Ja’far bin Shodik.
3. Murji’ah
Selain khowarij dan syi’ah, pada masa ini juga
muncul aliran lain yang memilih bersikap diam dan tidak mau memvonis siapakah
yang salah antara golongan khawarij, syi’ah dan mu’awiyah. Mereka berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar tetap mu’min selama masih beriman pada Allah Swt.
Dan Rasul-Nya. Adapun pertanggungjawaban dosa orang tersebut ditunda
penyelesaiannya di akhirat kelak, Allah sendiri yang akan menentukannya.
Dalam masalah hakikat iman, kaum murji’ah meyakini
bahwa seseorang yang dalam hatinya percaya kepada Allah Swt. Tetapi secara
lahir menyembah berhala atau memeluk agama Yahudi, Nasrani atau yang lainnya,
ia akan tetap akan diperlakukan sebagai orang mu’min oleh Allah Swt. Dia akan
mendapat ampunan atas perbuatan lahirnya dan akan dimasukkan ke dalam surga.
4. Jabariyah
Golongan ini menyatakan bahwa, perbuatan manusia
pada hakikatnya serba dipaksa (majbur). Manusia tidak mempunyai kebebasan
memilih dan berbuat, karena perbuatan manusia sepenuhnya diatur oleh
Allah.Orang yang pertama kali mengenal faham ini adalah Ja’ad bin Dirham.
5. Qodariyah
Aliran ini merupakan kebalikan dari paham jabariyah.
Aliran qodariyah berpendapat bahwa, manusia mempunyai kekuasaan penuh atas
perbuatannya. Pendiri aliran ini adalah Ma’bahah al-Junahi.Mereka berkeyakinan
bahwa segala perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri. Allah tidak
mempunyai hubungan dengan apa yang dilakukan oleh manusia sebelum perbuatan itu
dikerjakan. Tapi nilai yang telah dikerjakan, maka pekerjaan tersebut baru
diketahui dan mendapat penilaian dari Allah.
6. Asy’ariyah
Golongan ini disebut juga dengan sebutan ahli sunah
wal jama’ah. Aliran ini mempunyai tujuh prinsip pokok :
a) Allah
swt mempunyai sifat diluar zat-Nya dan bukan dzat Tuhan itu sendiri.
b)
Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, maka Al-Qur’an bersifat
qodim.
c) Allah
swt. Dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala manusia secara langsung,
bagi mereka yang diizinkan.
d)
Perbuatan manusia telah diciptakan oleh Allah, meskipun dalam diri
manusia juga terdapat potensi yang bisa digunakan manusia untuk menggerakkan
hati dan badan dalam berbuat dan berusaha.Namun potensi tersebut bersifat
terbatas dan tidak efektif.
e)
Manusia hanya wajib meyakini adanya Allah dan tidak wajib mengetahui
hakikat Allah.
f) Dosa
seseorang tidak dianggap bisa mengkufurkan seseorang, selama muslim tersebut
masih iman, hanya saja dikategorikan sebagai mu’min yang durhaka, mengenai keputusan ada di tangan Allah.
g) Allah
adalah pencipta seluruh alam raya ini, karena itu Allah mempunyai kehendak
mutlak untuk melakukan apa saja terhadap ciptaannya.[3]
2. Awal
mula munculnya masalah teologi dalam Islam memang fakta sejarah menunjukkan,
persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam yang menyebabkan kaum
muslimin terpecah ke dalam
beberapa firqah (kelompok /
golongan) adalah persoalan politik.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan