Catatan Popular

Ahad, 16 November 2014

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 9) : Perkembangan Tauhid dari Masa ke Masa



1.    Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Rasulullah Saw

Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya.[1] Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat al-Anfal ayat 46,
 واطيعوا الله ورسوله ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا ان الله مع الصابرين
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.[2]
Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.

2.    Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Khulafaur Rasyidin

Setelah Rasulullah saw wafat, dalam masa khalifah pertama dan kedua, umat islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena mereka sibuk menghadapi musuh dan berusaha memprtahankan kesatuan dan kesatuan umat. Tidak pernah terjadi perbedan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan memahamkan al Qur’an tanpa mencari ta’wil dari ayat yang mereka baca. Mereka mengikuti perintah alqur’an dan mereka menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan Allah swt dengan apa yang Allah swt sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan Allah swt dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah swt. Apabila mereka menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihah mereka yang mengimaninya dengan menyerahkan penta’wilannya kepada allah swt sendiri.
Di masa khalifah ketiga akibat terjadi kekacauan politik yang diakhiri dengan terbunuhnya khalifah Utsman. Umat Islam menjadi terpecah menjadi beberapa golongan dan partai, barulah masing-masing partai dan golongan-golongan itu dengan perkataan dan usaha dan terbukalah pintu ta’wil bagi nas al Qur’an dan Hadits. Karena itu, pembahasan mengenai akidah mulai subur dan berkembang, selangkah demi selangkah dan kian hari kian membesar dan meluas.

3.      Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Umayyah.

Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa (inilah mereka juga menamakan dirinya dengan “Ahlu At-Tauhid”).
Penghujung abad pertama Hijriah muncul pula kaum Khawarij yang mengkafirkan orang muslim yang mengerjakan dosa besar, walaupun pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, akhirnya memisahkan diri karena alasan politik. Sedangkan kelompok yang tetap memihak kepada Ali membentuk golongan Syi’ah.

4.      Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Abbasyiah.

Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penerjemahan besar-besaran segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada diantara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam.
Dalam masa ini muncul polemik-polemik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid Al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala Al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin Al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya Al-Imamah, Al-Qadar, Al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “Al-Amin wa Al-Muta’allim” dan “Fiqhu Al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah. Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan Al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh Mu’tazilah Al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya Al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush Al-Maqal fii ma baina Al-Hikmah wa Asy-Syarizati min Al-Ittishal” dan “Al-Kasyfu an Manahiji Al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.

5.      Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Pasca Daulah Abbasyiah.

Sesudah masa Bani Abbasiyah datanglah pengikut Al Asy‘ari yang terlalu jauh menceburkan dirinya ke dalam falsafah, mencampurkan mantiq dan lain-lain, kemudian mencampurkan semuanya itu dengan ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan oleh Al Baidlawi dalam kitabnya Ath Thawawi dan Abuddin Al-Ijy dalam kitab Al-Mawaqif. Madzhab Al-Asy‘ari berkembang pesat kesetara pelosok hingga tidak ada lagi madzhab yang menyalahinya selain madzhab hambaliyah yang tetap bertahan dalam madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tersebut dalam alquran dan al hadits tanpa mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits itu.
Pada permulaan abad kedelapan hijriyah lahirlah di Damaskus seorang ulama’ besar yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimayah menentang urusan yang berlebih-lebihan dari pihak-pihak yang mencampur adukkan falsafah dengan kalam, atau menentang usaha usaha yang memasukkan prinsip-prinsip falsafah ke dalam akidah islamiyah.
Ibnu Tamiyah membela madzab salaf ( sahabat, tabi’in dan imam-imam mujahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan al asy’ariyah dan lain-lain, baik dari golongan rafidhah, maupun dari golongan sufiyah. Maka karenanya masyarakat islam pada masa itu menjadi dua golongan, pro dan kontra, ada yang menerima pandapat pendapat ibnu taimiyah dengan sejujur hati, karena itulah akidah ulama’ salaf dan ada pula yang mengatakan bahwa ibnu taimiyah itu orang yang sesat.
Jalan yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini diteruskan oleh muridnya yang terkemuka yaitu Ibnu Qayyimil Jauziyah. Maka sesudah berlalu masa ini, tumpullah kemauan, lenyaplah daya kreatif untuk mempelajari ilmu kalam seksama dan tinggallah penulis-penulis yang hanya memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama.
Kemudian diantara gerakan ilmiah yang mendapat keberkahan dari Allah, ialah gerakan al iman Muhammad ‘Abduh dan gurunya jmaluddin Al-Afghani yang kemudian dilanjutka oleh As-Said Rosyid Ridla. Usaha-usaha beliau inilah, yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung untuk mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya. Anggota-anggota gerakan ini dinamakan salafiyyin.

B.     Pertumbuhan Dan Perkembangan Aliran-Aliran Dalam Ilmu Tauhid/Kalam

Awal mula munculnya masalah teologi dalam Islam memang fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah  ke  dalam  beberapa  firqah (kelompok / golongan) adalah persoalan politik. Dari masalah ini kemudian lahir berbagai kelompok dan aliran teologi dengan pandangan dan pendapat yang berbeda. Namun pertentangan yang tampak dalam ilmu tauhid adalah penggunaan dalil serta penafsirannya. Ada kelompok yang hanya memandang dalil dari sisi tekstual, ada yang mencoba menafsirkan dalil dengan pendapat mereka dengan menggunakan ilmu filsafat, dan ada pula yang mencoba mencari jalan tengah dengan penalaran dalil melalui filsafat yang masih terbentengi dengan dalil-dalil yang lain. Sehingga, dari tiap kelompok terdapat keyakinan yang berbeda dalam menentukan sikap dalam berdalil. Bagi kelompok yang hanya memandang dalil secara tekstual, akan menganggap kelompok lain yang menggunakan filsafat telah tersesat. Bagi yang menggunakan filsafat sebagai landasan hukumnya akan menganggap tidak bergunanya keilmuan tanpa adanya filsafat.
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut berakibat munculnya golongan-golongan dalam Islam diantaranya :
1.       Khawarij
Khawarij adalah golongan yang memisahkan diri dari golongan yang mengikuti Ali bin Abi Tholib. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar dan belum sempat taubat ketika masih hidup maka dianggap kafir.
2.      Syi’ah
Adalah golongan yang setia terhadap Ali bin Abi Tholib. Mereka berpendapat bahwa yang berhak menggantikan nabi adalah Ahlul Bait. Diantara tokohnya adalah Zaid bin Ali dan Ja’far bin Shodik.
3.      Murji’ah
Selain khowarij dan syi’ah, pada masa ini juga muncul aliran lain yang memilih bersikap diam dan tidak mau memvonis siapakah yang salah antara golongan khawarij, syi’ah dan mu’awiyah. Mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tetap mu’min selama masih beriman pada Allah Swt. Dan Rasul-Nya. Adapun pertanggungjawaban dosa orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat kelak, Allah sendiri yang akan menentukannya.
Dalam masalah hakikat iman, kaum murji’ah meyakini bahwa seseorang yang dalam hatinya percaya kepada Allah Swt. Tetapi secara lahir menyembah berhala atau memeluk agama Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, ia akan tetap akan diperlakukan sebagai orang mu’min oleh Allah Swt. Dia akan mendapat ampunan atas perbuatan lahirnya dan akan dimasukkan ke dalam surga.
4.      Jabariyah
Golongan ini menyatakan bahwa, perbuatan manusia pada hakikatnya serba dipaksa (majbur). Manusia tidak mempunyai kebebasan memilih dan berbuat, karena perbuatan manusia sepenuhnya diatur oleh Allah.Orang yang pertama kali mengenal faham ini adalah Ja’ad bin Dirham.
5.      Qodariyah
Aliran ini merupakan kebalikan dari paham jabariyah. Aliran qodariyah berpendapat bahwa, manusia mempunyai kekuasaan penuh atas perbuatannya. Pendiri aliran ini adalah Ma’bahah al-Junahi.Mereka berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri. Allah tidak mempunyai hubungan dengan apa yang dilakukan oleh manusia sebelum perbuatan itu dikerjakan. Tapi nilai yang telah dikerjakan, maka pekerjaan tersebut baru diketahui dan mendapat penilaian dari Allah.
6.      Asy’ariyah
Golongan ini disebut juga dengan sebutan ahli sunah wal jama’ah. Aliran ini mempunyai tujuh prinsip pokok :
a)      Allah swt mempunyai sifat diluar zat-Nya dan bukan dzat Tuhan itu sendiri.         
b)      Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, maka Al-Qur’an bersifat qodim.
c)      Allah swt. Dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala manusia secara langsung, bagi mereka yang diizinkan.
d)     Perbuatan manusia telah diciptakan oleh Allah, meskipun dalam diri manusia juga terdapat potensi yang bisa digunakan manusia untuk menggerakkan hati dan badan dalam berbuat dan berusaha.Namun potensi tersebut bersifat terbatas dan tidak efektif.
e)      Manusia hanya wajib meyakini adanya Allah dan tidak wajib mengetahui hakikat Allah.
f)       Dosa seseorang tidak dianggap bisa mengkufurkan seseorang, selama muslim tersebut masih iman, hanya saja dikategorikan sebagai mu’min yang durhaka,  mengenai keputusan ada di tangan Allah.
g)      Allah adalah pencipta seluruh alam raya ini, karena itu Allah mempunyai kehendak mutlak untuk melakukan apa saja terhadap ciptaannya.[3]

2.    Awal mula munculnya masalah teologi dalam Islam memang fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah  ke  dalam  beberapa  firqah (kelompok / golongan) adalah persoalan politik.

Tiada ulasan: