Catatan Popular

Isnin, 26 Mac 2018

HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH AL SYARQAWI KE 35 (A) : ASAL MAKSIAT DARIPADA NAFSU


Menurut Kalam Hikmah ke 35 (A)  Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:
 “Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Pangkal segala ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri”
                                     
Maksiat berarti menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yang menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah swt.

Menurut orang-orang ‘arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutupi aib dan kesalahannya sehingga yang buruk akan dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yang menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan-bisikan syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yang dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus maksiat.
           
Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal-hal yang diridai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihan dari syahwat.
           
Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Siapa yang bersifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala hal yang datang dan menyerang.
           
Dengan sikap waspada dan sadar diri ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan-bisikan hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah dan menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah.
           
Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalalah sikap orang-orang yang mempelajari ilmu lahir yang tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah melarang kita untuk berteman dengan orang-orang semacam itu.



Menurut Kalam Hikmah ke 35  Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:
 “Berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik bagimu dari pada berteman dengan orang berilmu yang puas dengan keadaan dirinya. Di mana letak berilmunya orang berilmu yang puas dengan dirinya itu? Di mana pula letak bodohnya orang bodoh yang tidak puas terhadap dirinya itu?”


Orang bodoh ialah orang yang tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya.
Tidaklah baik berteman dengan seseorang yang puas dengan keadaan
dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang berilmu).

Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yang besar
padamu. Ketika kau berteman dengan alim yang sudah berpuas diri, kau bisa mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu. Kebodohan yang membuat orang alim puas diri itulah yang berbahaya bagimu. Seakan ia bukan orang yang berilmu karena rela dengan aib yang dimiliki dirinya.

Sebaliknya, berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan
keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang didapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang yang dianggap baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya – yang membuatnya tidak puas terhadap keadaan dirinya – justru amat berguna bagimu.

Seakan ia bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya
sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang
bodoh yang tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yang memiliki ilmu.
Oleh karena itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu.


Tiada ulasan: