Menurut Kalam Hikmah ke 35
(A) Al-Arifbillah
Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:
“Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan
syahwat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Pangkal segala
ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri
sendiri”
Maksiat
berarti menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati
tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti
ketergantungan terhadap sesuatu yang menyibukkan diri dan membuat lupa dari
Allah swt.
Menurut orang-orang
‘arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri
sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutupi aib
dan kesalahannya sehingga yang buruk akan dijadikannya baik. Siapa yang puas
dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa
nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yang menganggap baik semua kondisi
pribadinya akan lalai dari Allah. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi
dan mengendalikan bisikan-bisikan syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh
syahwat. Siapa yang dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus maksiat.
Adapun ketaatan
berarti melaksanakan segala perintah Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang
kehadiran Tuhan dan hal-hal yang diridai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad
dan kebersihan dari syahwat.
Pangkal dari segala
ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri.
Jika seseorang tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan
menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Siapa
yang bersifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala
hal yang datang dan menyerang.
Dengan sikap
waspada dan sadar diri ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini
bisikan-bisikan hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak
bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan
menjauhi semua larangan Allah dan menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat
kepada Allah.
Sikap puas terhadap
keadaan diri sendiri adalalah sikap orang-orang yang mempelajari ilmu lahir
yang tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah
melarang kita untuk berteman dengan orang-orang semacam itu.
HIKAM ATHAILLAH SYARAH
SYEIKH AL SYARQAWI KE 35 (B) : BERTEMAN DENGAN ORANG BODOH...
Menurut Kalam Hikmah ke 35
Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:
Orang bodoh
ialah orang yang tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri
sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya.
Tidaklah
baik berteman dengan seseorang yang puas dengan keadaan
dirinya
sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang berilmu).
Bagaimanapun,
pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yang besar
padamu.
Ketika kau berteman dengan alim yang sudah berpuas diri, kau bisa mendapatkan
sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu.
Kebodohan yang membuat orang alim puas diri itulah yang berbahaya bagimu.
Seakan ia bukan orang yang berilmu karena rela dengan aib yang dimiliki
dirinya.
Sebaliknya,
berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan
keadaan
dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang
didapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang
yang dianggap baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang bodoh tidak
akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya – yang membuatnya tidak puas terhadap
keadaan dirinya – justru amat berguna bagimu.
Seakan ia
bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya
sampai tidak
merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang
bodoh yang
tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yang memiliki ilmu.
Oleh karena
itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik
bagimu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan