Catatan Popular

Isnin, 26 Mac 2018

HIKAM ATHAILLAH SYARAH USTAZ AHMAD MUNTAHA AM KE 35 (A) : Mawas Diri Dalam Islam


Kadang di hati terbersit, ‘Mengapa kita begitu mudah melakukan maksiat? Mengapa kita sering melalaikan Tuhan? Mengapa kita sangat berhasrat memenuhi segala syahwat?’ Sementara orang lain tampak khusu’ dalam ketaatan beribadah, kesadaran mengingat Tuhan dan sangat terjaga dari maksiat?

Dalam konteks ini Ibn Abdilah as-Sakandari menyampaikan hikmah:

Menurut Kalam Hikmah ke 35 (A) Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary   

Asal setiap maksiat, kelalaian dan syahwat adalah kerelaan menuruti nafsu; dan asal setiap ketaatan, kesadaran dan terjaga maksiat adalah dirimu ketidakrelaan menuruti nafsu.”

Kenapa bisa demikian? Merujuk penjelasan Ibn ‘Abbad ar-Randi (Syarh al-Hikam, 31), sebab orang yang memandang dirinya sebagai orang baik niscaya tidak akan melihat berbagai aib dan kekurangannya, sehingga akan menuruti berbagai syahwat, semakin lupa dengan Tuhan dan terus terjebak dalam kenikmatan maksiat yang semu belaka. Jauh dari sikap mawas diri.

Lain halnya dengan orang selalu mawas diri yang memandang dirinya sebagai pribadi yang penuh kekurangan, niscaya akan selalu curiga terhadap dirinya, tidak menuruti berbagai rayuan nafsu untuk mencicipi maksiat, sehingga selalu menyadari pengawasan Tuhan serta asik khusu’ dalam ketaatan terhadap Sang Pencipta, selaras syair populer karya Abdullah bin Mu’awiyyah (w. 129 H/746 M) yang didendangkan dari penjara:

Pandangan kerelaan membutakan dari setiap kekurangan dan pandangan kebencian akan menampakkannya.”

Kita Orang Baik?
Karenanya, masihkah kita PD (percaya diri) menganggap diri kita sebagai orang baik, shaleh, alim dan suci, sementara Allah telah menfirmankan:

Maka jangan anggap diri kalian suci. Allah Maha Mengetahui siapa orang yang bertakwa.”  (QS. an-Najm: 32)

Baca Juga: Nabi: Segar Jasmani dan Ruhani untuk Melihat Allah (Hikam-33)

Begitu pula Nabi Muhammad —shallallahu ‘alaihi wa sallam— bersabda:
 Ada tiga (3) hal yang membinasakan manusia: “Kekaguman orang pada dirinya sendiri, kikir yang diikuti dan hawa nafsu yang dituruti.” (HR. al-Baihaqi dan selainnya. Dha’if)

Teladan Ulama
Selain itu, banyak pula teladan ulama yang sampai kepada kita, bagaimana mereka sibuk meneliti aib dan kekurangan diri, serta selalu mawas diri dari penyimpangan nafsu.

Dalam hal ini Abu Hafsh Umar bin Maslamah al-Haddad (w. 264 H)—radhiyallahu ‘anhu—berkata:

Sejak 40 tahun lalu, aku meyakini diriku bahwa Allah memandangku dengan pandangan kemurkaan dan berbagai amalku memang menunjukkan demikian.”

Sementara Siri as-Saqathi (w. 253 H/867 M), sufi agung guru sekaligus paman Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata:

Sungguh tiap hari aku (bercermin) melihat wajahku berulang kali, sebab khawatir wajahku menjadi hitam pekat karena siksaan yang akan aku terima.”

Bila demikian kekhawatiran ulama terhadap diri mereka, bagaimana dengan kita? Apakah kita selalu mawas diri?

Menurut Kalam Hikmah ke 35 (B) Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary   

Manfaat Utama Pergaulan
Pergaulanmu dengan orang bodoh yang tidak menuruti nafsunya lebih baik dari pergaulanmu dengan orang pandai yang menuruti nafsunya. Karenanya, ilmu mana sebenarnya yang dimiliki orang pandai yang menuruti nafsunya? Kebodohan mana sebenarnya yang dimiliki orang bodoh yang tidak menuruti nafsunya?”
Ini berangkat dari manfaat utama pergaulan dalam persektif para sufi, yaitu bagaimana pergaulan dapat semakin mendekatkan seseorang kepada Allah. Karenanya sangat penting memilih teman sejati, sesui sabda Nabi Muhammad —shallallahu ‘alaihi wa sallam— :
Seseorang identik dengan agama kekasihnya, maka lihatlah salah seorang dari kalian siapa yang menjadi kekasihnya.” (HR. at-Tirmidzi dan ia nilaih hasan)

Seiring pula dengan untaian kata penyair kenamaan asal Damaskus Syiria, ‘Adi bin Zaid (w. 95 H/714 M):

Jangan tanya langsung seseorang, tapi tanyalah temannya. Sebab setiap orang akan mengikuti orang yang menjadi temannya.”

Dalam Syarh al-Hikam (32-33) Ibn ‘Abbad lebih lanjut menjelaskan, bergaul dengan orang yang sering menuruti hawa nafsu meskipun alim merupakan bahaya besar dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Sebab ilmunya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri. Kebodohan yang menggiringnya hingga sering menuruti bujukan nafsu pun sangat membahayakan. Dalam kondisi seperti ini, seolah-olah ia tidak berilmu.

Sebaliknya, bergaul dengan orang bodoh yang tidak menuruti hawa nafsu merupakan kebaikan yang sangat nyata, sebab kebodohannya tidak membahayakan, sementara pengetahuan yang mengarahkannya untuk tidak menuruti nafsu sangat bermanfaat, baik untuk dirinya maupun teman sepergaulannya. Karennya, dalam kondisi seperti ini seolah-olah ia tidak bodoh sama sekali.

Hikmah Utama
Karenanya, yuk kita belajar sedikit demi sedikit untuk tidak mudah menuruti rayuan nafsu, belajar mawas diri, agar semakin ingat terhadap Ilahi dan semakin mudah melakukan ketaatan diri. Beruntung sekali bila mendapatkan atau menjadi teman sejati, teman yang menginspirasi. Semakin mawas diri semakin menginspirasi.

Tiada ulasan: