Kadang di hati terbersit, ‘Mengapa kita begitu mudah melakukan maksiat?
Mengapa kita sering melalaikan Tuhan? Mengapa kita sangat berhasrat memenuhi
segala syahwat?’ Sementara orang lain tampak khusu’ dalam ketaatan beribadah,
kesadaran mengingat Tuhan dan sangat terjaga dari maksiat?
Dalam konteks ini Ibn Abdilah as-Sakandari menyampaikan hikmah:
Menurut
Kalam Hikmah ke 35 (A) Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As
kandary
“Asal setiap maksiat, kelalaian dan syahwat
adalah kerelaan menuruti nafsu; dan asal setiap ketaatan, kesadaran dan terjaga
maksiat adalah dirimu ketidakrelaan menuruti nafsu.”
Kenapa bisa demikian? Merujuk penjelasan Ibn ‘Abbad ar-Randi (Syarh
al-Hikam, 31), sebab orang yang memandang dirinya sebagai orang baik niscaya
tidak akan melihat berbagai aib dan kekurangannya, sehingga akan menuruti
berbagai syahwat, semakin lupa dengan Tuhan dan terus terjebak dalam kenikmatan
maksiat yang semu belaka. Jauh dari sikap mawas diri.
Lain halnya dengan orang selalu mawas diri yang memandang dirinya
sebagai pribadi yang penuh kekurangan, niscaya akan selalu curiga terhadap
dirinya, tidak menuruti berbagai rayuan nafsu untuk mencicipi maksiat, sehingga
selalu menyadari pengawasan Tuhan serta asik khusu’ dalam ketaatan terhadap
Sang Pencipta, selaras syair populer karya Abdullah bin Mu’awiyyah (w. 129
H/746 M) yang didendangkan dari penjara:
“Pandangan kerelaan membutakan dari setiap kekurangan dan
pandangan kebencian akan menampakkannya.”
Kita Orang Baik?
Karenanya, masihkah kita PD (percaya diri) menganggap diri kita sebagai
orang baik, shaleh, alim dan suci, sementara Allah telah menfirmankan:
“Maka jangan anggap diri kalian suci. Allah Maha Mengetahui
siapa orang yang bertakwa.” (QS.
an-Najm: 32)
Baca Juga: Nabi: Segar Jasmani dan Ruhani untuk Melihat Allah
(Hikam-33)
Begitu pula Nabi Muhammad —shallallahu ‘alaihi wa sallam— bersabda:
“Ada
tiga (3) hal yang membinasakan manusia: “Kekaguman orang pada dirinya sendiri,
kikir yang diikuti dan hawa nafsu yang dituruti.” (HR. al-Baihaqi dan
selainnya. Dha’if)
Teladan Ulama
Selain itu, banyak pula teladan ulama yang sampai kepada kita,
bagaimana mereka sibuk meneliti aib dan kekurangan diri, serta selalu mawas
diri dari penyimpangan nafsu.
Dalam hal ini Abu Hafsh Umar bin Maslamah al-Haddad (w. 264
H)—radhiyallahu ‘anhu—berkata:
“Sejak 40 tahun lalu, aku meyakini diriku bahwa Allah
memandangku dengan pandangan kemurkaan dan berbagai amalku memang menunjukkan
demikian.”
Sementara Siri as-Saqathi (w. 253 H/867 M), sufi agung guru sekaligus
paman Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata:
“Sungguh tiap hari aku (bercermin) melihat wajahku berulang
kali, sebab khawatir wajahku menjadi hitam pekat karena siksaan yang akan aku
terima.”
Bila demikian kekhawatiran ulama terhadap diri mereka, bagaimana dengan
kita? Apakah kita selalu mawas diri?
Menurut
Kalam Hikmah ke 35 (B) Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As
kandary
Manfaat Utama
Pergaulan
“Pergaulanmu dengan orang bodoh yang
tidak menuruti nafsunya lebih baik dari pergaulanmu dengan orang pandai yang
menuruti nafsunya. Karenanya, ilmu mana sebenarnya yang dimiliki orang pandai
yang menuruti nafsunya? Kebodohan mana sebenarnya yang dimiliki orang bodoh
yang tidak menuruti nafsunya?”
Ini berangkat dari manfaat utama pergaulan dalam persektif para sufi,
yaitu bagaimana pergaulan dapat semakin mendekatkan seseorang kepada Allah.
Karenanya sangat penting memilih teman sejati, sesui sabda Nabi Muhammad
—shallallahu ‘alaihi wa sallam— :
“Seseorang identik dengan agama kekasihnya, maka lihatlah
salah seorang dari kalian siapa yang menjadi kekasihnya.” (HR. at-Tirmidzi dan
ia nilaih hasan)
Seiring pula dengan untaian kata penyair kenamaan asal Damaskus Syiria,
‘Adi bin Zaid (w. 95 H/714 M):
“Jangan tanya langsung seseorang, tapi tanyalah temannya.
Sebab setiap orang akan mengikuti orang yang menjadi temannya.”
Dalam Syarh al-Hikam (32-33) Ibn ‘Abbad lebih lanjut menjelaskan,
bergaul dengan orang yang sering menuruti hawa nafsu meskipun alim merupakan
bahaya besar dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Sebab ilmunya tidak bermanfaat
bagi dirinya sendiri. Kebodohan yang menggiringnya hingga sering menuruti
bujukan nafsu pun sangat membahayakan. Dalam kondisi seperti ini, seolah-olah
ia tidak berilmu.
Sebaliknya, bergaul dengan orang bodoh yang tidak menuruti hawa nafsu
merupakan kebaikan yang sangat nyata, sebab kebodohannya tidak membahayakan,
sementara pengetahuan yang mengarahkannya untuk tidak menuruti nafsu sangat
bermanfaat, baik untuk dirinya maupun teman sepergaulannya. Karennya, dalam
kondisi seperti ini seolah-olah ia tidak bodoh sama sekali.
Hikmah Utama
Karenanya, yuk kita belajar sedikit demi sedikit untuk tidak mudah
menuruti rayuan nafsu, belajar mawas diri, agar semakin ingat terhadap Ilahi
dan semakin mudah melakukan ketaatan diri. Beruntung sekali bila mendapatkan
atau menjadi teman sejati, teman yang menginspirasi. Semakin mawas diri semakin
menginspirasi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan