Menurut Kalam Hikmah ke 35
Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:
“Pangkal segala
maksiat, kelalaian dan syahwat adalah ridha terhadap nafsu. Dan pangkal dari
segala ketaatan, kewaspadaan dan kesucian adalah engkau tidak ridha terhadap
hawa nafsu.
Bersahabat dengan
orang jahil yang tidak memperturutkan hawa nafsunya lebih baik bagimu daripada
bersahabat dengan orang alim yang tunduk pada hawa nafsunya. Ilmu macam apa
yang disandang si alim yang tunduk pada hawa nafsunya itu? Sebaliknya,
kejahilan apa yang dapat disandangkan pada orang jahil yang tidak
memperturutkan hawa nafsunya?”
Intinya, untuk meraih ridha Allah haruslah tak menuruti hawa nafsu,
sebaliknya, orang yang menuruti hawa nafsunya, akan peroleh murka dari Allah.
Hal itu tentu sudah jelas. Yang perlu kita perjelas sekarang adalah, apakah
yang dimaksud "nafsu" itu?
Yang dimaksud "nafsu" adalah watak hewani yang ada dalam diri
manusia, pendorong bagi keinginan-keinginannya. Makna "nafsu" inilah
yang dimaksud dalam semisal ayat al-Quran berikut QS. 12 : 53
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Jadi yang dimaksud "nafsu" di sini adalah perasaan, watak,
dorongan, dan tabiat yang dimiliki manusia dan seluruh hewan, penjelasan di
atas telah mudah, seperti telah dibahas pada bab sebelumnya.
Kini, mari kita bertanya tentang hal-hal berikut:
[a] apa landasan Ibnu Athaillah bilang bahwa pangkal maksiat, kelalaian dan
syahwat itu menuruti nafsu? dan apa pula landasan bahwa taat bersumber dari
ketidakrelaan / tidak menuruti nafsu?
[b] apa sebab menuruti hawa nafsu jadi pangkal maksiat, dan tak menuruti
nafsu jadi pangkal taat?
[c] bagaimana cara agar orang Islam tidak menuruti nafsunya, hingga bisa
meraih ridha Allah?
Jawaban untuk pertanyaan
[a], landasan Ibnu Athaillah adalah ayat berikut QS.04:49
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?.
Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak
aniaya sedikitpun.“
Dan diperkuat dengann ayat berikut ~QS.53:32
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang
selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas
ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan
kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah
kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang
bertakwa.”
Jawaban untuk pertanyaan poin [b], tentang sebab menuruti hawa nafsu jadi
pangkal maksiat, adalah sebagai berikut:
Bahwa nafsu, seperti kita tahu, adalah potensi hewani yang terletak di
dalam masing-masing diri kita, coba perhatikan ayat berikut ~QS.03:14
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).”
Artinya, Allah menciptakan nafsu itu dalam diri tiap manusia, jika manusia
berhasil melawan nafsunya, tak menuruti nafsunya, maka ia akan dimudahkan untuk
taat pada Allah. Sebaliknya, jika manusia justru terlena dengann nafsu yang
memang mewatak dalam dirinya, pasti ia akan jatuh pada kemaksiatan. Itu
sebabnya mengapa para nabi, para wali, para ulama, semua berusaha melawan nafsu
dalam diri mereka
Selanjutnya, berikut jawaban dari poin [c]: bagamana cara agar kita tak
menuruti hawa nafsu? Jawabannya adalah, bahwa Allah telah menyediakan obat
untuk tiap penyakit yang diciptakanNya. Tadi telah dijelaskan, bahwa manusia
telah diwatak untuk senang menuruti hawa nafsunya. Itu sebabnya manusia lemah
di hadapan nafsunya sendiri, cenderung mengikuti nafsunya.
Al-Quran menjelaskan watak manusia yang lemah dan tak punya daya kekuatan
apa-apa, sebagai berikut ~QS.04:28
“ Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah.”
Nah, jika manusia tahu bahwa dirinya lemah untuk melawan kekuatan nafsu
yang terpendam dalam dirinya. Maka manusia yang menyadari sepenuhnya akan hal
ini, tentu ia tak akan bersikap sombong dan ujub. Sebaliknya, ia akan selalu
bersikap rendah di hadapan Allah, memohon kepada-Nya untuk diselamatkan dari
nafsu yang buruk, dengan bersikap sedemikian, maka ia akan menjadi hamba Allah
yang sejati. Tidak jadi hamba nafsunya.
Nah, jika menuruti nafsu itu asas kemaksiatan, jadi apa bagusnya orang
berilmu yang tenggelam dalam nafsunya? Itu sebabnya kenapa Ibnu Athaillah
mewarning kita agar menghindari orang berilmu yang seperti itu. Bahaya!
Sebaliknya, apa
buruknya kebodohan yang disertai kewaspadaan dan usaha tak menuruti hawa nafsunya? Berteman
dengan orang jenis ini tentu sangat bermanfaat bagi kita, bisa bimbing kita
untuk taqwa kepada Allah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan