Catatan Popular

Isnin, 26 Mac 2018

HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH AL BUTHI KE 35 : Pangkal Segala Maksiat, Kelalaian Dan Syahwat Adalah Ridha Terhadap Nafsu


Menurut Kalam Hikmah ke 35 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:

 “Pangkal segala maksiat, kelalaian dan syahwat adalah ridha terhadap nafsu. Dan pangkal dari segala ketaatan, kewaspadaan dan kesucian adalah engkau tidak ridha terhadap hawa nafsu.

Bersahabat dengan orang jahil yang tidak memperturutkan hawa nafsunya lebih baik bagimu daripada bersahabat dengan orang alim yang tunduk pada hawa nafsunya. Ilmu macam apa yang disandang si alim yang tunduk pada hawa nafsunya itu? Sebaliknya, kejahilan apa yang dapat disandangkan pada orang jahil yang tidak memperturutkan hawa nafsunya?”

Intinya, untuk meraih ridha Allah haruslah tak menuruti hawa nafsu, sebaliknya, orang yang menuruti hawa nafsunya, akan peroleh murka dari Allah. Hal itu tentu sudah jelas. Yang perlu kita perjelas sekarang adalah, apakah yang dimaksud "nafsu" itu?

Yang dimaksud "nafsu" adalah watak hewani yang ada dalam diri manusia, pendorong bagi keinginan-keinginannya. Makna "nafsu" inilah yang dimaksud dalam semisal ayat al-Quran berikut  QS. 12 : 53

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”

Jadi yang dimaksud "nafsu" di sini adalah perasaan, watak, dorongan, dan tabiat yang dimiliki manusia dan seluruh hewan, penjelasan di atas telah mudah, seperti telah dibahas pada bab sebelumnya.

Kini, mari kita bertanya tentang hal-hal berikut:

[a] apa landasan Ibnu Athaillah bilang bahwa pangkal maksiat, kelalaian dan syahwat itu menuruti nafsu? dan apa pula landasan bahwa taat bersumber dari ketidakrelaan / tidak menuruti nafsu?

[b] apa sebab menuruti hawa nafsu jadi pangkal maksiat, dan tak menuruti nafsu jadi pangkal taat?

[c] bagaimana cara agar orang Islam tidak menuruti nafsunya, hingga bisa meraih ridha Allah?

Jawaban untuk pertanyaan
[a], landasan Ibnu Athaillah adalah ayat berikut  QS.04:49

”Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun.

Dan diperkuat dengann ayat berikut ~QS.53:32

“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Jawaban untuk pertanyaan poin [b], tentang sebab menuruti hawa nafsu jadi pangkal maksiat, adalah sebagai berikut:

Bahwa nafsu, seperti kita tahu, adalah potensi hewani yang terletak di dalam masing-masing diri kita, coba perhatikan ayat berikut ~QS.03:14

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Artinya, Allah menciptakan nafsu itu dalam diri tiap manusia, jika manusia berhasil melawan nafsunya, tak menuruti nafsunya, maka ia akan dimudahkan untuk taat pada Allah. Sebaliknya, jika manusia justru terlena dengann nafsu yang memang mewatak dalam dirinya, pasti ia akan jatuh pada kemaksiatan. Itu sebabnya mengapa para nabi, para wali, para ulama, semua berusaha melawan nafsu dalam diri mereka

Selanjutnya, berikut jawaban dari poin [c]: bagamana cara agar kita tak menuruti hawa nafsu? Jawabannya adalah, bahwa Allah telah menyediakan obat untuk tiap penyakit yang diciptakanNya. Tadi telah dijelaskan, bahwa manusia telah diwatak untuk senang menuruti hawa nafsunya. Itu sebabnya manusia lemah di hadapan nafsunya sendiri, cenderung mengikuti nafsunya.

Al-Quran menjelaskan watak manusia yang lemah dan tak punya daya kekuatan apa-apa, sebagai berikut ~QS.04:28

“ Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”

Nah, jika manusia tahu bahwa dirinya lemah untuk melawan kekuatan nafsu yang terpendam dalam dirinya. Maka manusia yang menyadari sepenuhnya akan hal ini, tentu ia tak akan bersikap sombong dan ujub. Sebaliknya, ia akan selalu bersikap rendah di hadapan Allah, memohon kepada-Nya untuk diselamatkan dari nafsu yang buruk, dengan bersikap sedemikian, maka ia akan menjadi hamba Allah yang sejati. Tidak jadi hamba nafsunya.

Nah, jika menuruti nafsu itu asas kemaksiatan, jadi apa bagusnya orang berilmu yang tenggelam dalam nafsunya? Itu sebabnya kenapa Ibnu Athaillah mewarning kita agar menghindari orang berilmu yang seperti itu. Bahaya!

Sebaliknya, apa buruknya kebodohan yang disertai kewaspadaan dan usaha tak menuruti hawa nafsunya? Berteman dengan orang jenis ini tentu sangat bermanfaat bagi kita, bisa bimbing kita untuk taqwa kepada Allah.

Tiada ulasan: