Catatan Popular

Jumaat, 2 Mac 2018

BELAJAR IKHLAS DARI KHALID BIN WALID


Kisah sahabat nabi Muhammad SAW yang terkenal kepiawaiannya dalam perang ini, Khalid bin Walid, memiliki kadar keikhlasan yang luar biasa terhadap jabatan, pangkat dan ketenaran yang ia peroleh sebagai layaknya manusia biasa. Khalid bin Walid merupakan panglima perang kekholifahan Umar bin Khatab yang terkenal dengan ahli strategi perang, dicintai teman dan disegani musuh.

Beliau sosok pemuda yang menguasai medan perang, jitu dalam mengatur strategi dan berhasil menang dalam setiap peperangan yang dipimpin olehnya. Pada saat itu Khalid bin Walid adalah pemuda yang diidamkan banyak orang. Keberhasilannya dalam setiap perang menjadikan namanya tersohor, dipandang banyak orang dan dihormati masyarakat, bahkan musuh.

Ditengah puncak kemenangan dan populeritasnya, Umar bin Khatab mengirimkan surat kepada Khalid bin Walid tentang pemutasian jabatannya selaku panglima perang menjadi prajurit biasa. Hal ini dilakukan Umar bin Khatab bukan untuk menjatuhkannya, tapi justru mengingatkan dan menyelamatkannya dari kepamoran yang akan melenakannya. Banyak orang yang terkejut dengan keputusan Umar bin Khatab, namun justru tidak dengan Khalid bin walid. Khalid bin Walid sangat mengerti maksud sahabat Rosulullah tersebut, pemimpin mereka Umar bin Khatab. Padahal, penurunan pangkatnya ketika gemilang kemenangan perang Yarmuk di bawah kendali Khalid bin Walid.

Lebih dari pada itu, tanpa ada rasa sedih, kecewa bahkan jauh dari rasa marah, Khalid bin Walid menerima tugasnya sebagai prajurit biasa dan tetap berperang pada perang selanjutnya di bawah komando panglima baru, Abu Ubaidah. Pada saat ditanya oleh masyarakat mengenai hal tersebut, Khalid menjawab, “saya bukan hamba manusia, saya hamba Allah.” Dilain kesempatan Khalid menjawab, “saya berperang karena Allah, bukan karena Umar.”

Ada beberapa ibroh yang dapat diambil dari keteladanan Kahalid bin Walid dan kecintaan Umar terhadap sahabatnya. Pertama, apabila seseorang melakukan suatu tugasnya karena Allah SWT, maka dia akan ikhlas ketika pangkatnya diambil kembali dari dirinya, karena dia paham bahwa pangkat, harta dan jabayan hanyalah buah dari apa yang telah diperjuangkan (ditanam), bukan menjadikan segalanya sebagi tujuan. Kedua, ujian keikhlasan seseorang akan dapat dilihat pada saat seseorang kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam dirinya. Oleh karena itu, Khalid mengajarkan pada kita, manusia tidak akan merasa kehilangan kalau dia melakukan semuanya karena Allah dan sadar apa yang telah dititipkan selama ini hanyalah milik Allah SWT. “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa :125)

Ketiga, kita dapat mengetahui perbedaan orang yang ikhlas dengan orang yang pura- pura ikhlas. Hal ini tampak pada Khalid tetap ikut serta jihad dalam perang berikutnya di bawah komando panglima pegantinya dan taat pada panglima baru tersebut. Keempat, kita merasa kagum kepada Umar atas cinta dan perhatiannya pada saudaranya seiman. Umar tahu bahwa apa yang dilakukannya hanya ingin menyelamatkan Khalid, khawatir timbul rasa ujub (sombong) dalam diri Khalid karena mengingat banyaknya masyarakat muslim yang mengelukan Khalid bin Walid pada saat itu.

Kelima, pelajaran tentang koneksivitas ukhuwah islamiyah anatara keduanya (Khalid bin Walid dan Umar bin Khatab) dikarenakan ketsiqohan (kepercayaan) antara sesama muslim (antara seorang kholifah dan panglima perang). Hal ini tercermin dalam penerimaan Khalid yang wajar dan paham atas keputusan Umar untuk menyelamatkannya dari gunung yang tinggi agar tidak terjatuh ke dalam jurang di balik gunung tersebut. Perasaan Khalid ini juga dikarenakan teladan Umar selama ini yang selalu dapat dipercaya oleh bawahannya dan masyarakat luas. Dengan ini, malah semakin membuat kedua sahabat tersebut saling mencintai karena Allah dan terus berjuang untuk menegakkan agama Alllah.

Dari merekalah kita dapat belajar bahwa harta, pangkat, dan jabatan adalah ujian atas iman dan keikhlasan kita. Oleh karena itu, hanya hati yang bersih dan niat karena Allah SWT yang mampu membuat kita ikhlas ketika apa yang kita miliki saat ini diambil kembali oleh Allah SWT melalui siapapun dan apapun.



Tiada ulasan: