Menurut Kalam Hikmah ke 35
(A) Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:
Ashlu kulli ma’shiyati waghaflatin wasyahwatin arridha
‘aninnafsi wa ashlu kulli thaa’atin wayaqzhatin wa’iffatin ‘adamurridhaa minka
‘anhaa.
Artinya : "Asal dari semua
maksiat, lupa kepada Allah dan rela menuruti syahwat yang mendatanginya dari
hawa nafsu. Dan asal dari setiap ketaatan, kesadaran dan menjaga diri dari
syahwat itu tidak ada kerelaan darimu dalam menuruti hawa nafsu”.
Menurut
para ahli ma’rifat, bahwasanya asal mula timbulnya kemaksiatan yang dilakukan
seseorang itu adalah karena mereka itu berpaling dari Allah dan menurutkan
kehendak hawa nafsu. Padahal sebenarnya kalau manusia itu mau berfikir dengan
hati dan akal yang sehat, niscaya dia akan tahu bahwa nafsu yang tidak
terkendali selalu akan menyeret manusia kedalam jurang kehancuran, kebinasaan
dan juga kehinaan.
Namun
demikian, tidaklah bijak kalau itu kita lenyapkan begitu saja. Karena pada
dasarnya, nafsu itulah yang mendorong manusia kea rah kemajuan. Dan dalam hal
ini nafsu tersebut terbagi menjadi dua macam, yakni :
1.
Nafsu Amarah, yaitu nafsu yang cenderung untuk berbuat keburukan dan kejahatan.
Perhatikan firman Allah dalam Al-Quran Surat Yusuf ayat 53, yang artinya : dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan, sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
2.
Nafsu Mutmainah, yaitu nafsu yang tenang dan dapat dikendalikan, sehingga tidak
mempunyai kecenderungan untuk berbuat kejahatan atau kemaksiatan. Perhatikan
firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Fajr ayat 27-28, yang artinya : Wahai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-Ku dan masuklah ke dalam
surga-Ku”
Adapun
nafsu ammarah itu masih terbagi lagi menjadi enam macam. Yakni :
1.
Syahwat, yang harus diatasi dengan jalan mengerjakan amalan-amalan yang dapat
menekatkan diri kepada Allah.
2.
Amarah, yang harus diatasi dengan sifat sabar.
3.
Thama’ yang harus diatasi dengan sifat qona’ah.
4.
Takabbur tau sombong, yang harus diatasi dengan sifat tawadhu’.
5.
Riya’, yang harus diatasi dengan sifat ikhlas.
6.
Dengki, yang harus diatasi dengan sifat pasrah dan menerima apa yang sudah
menjadi bagiannya.
Keenam sifat itu buruk yang menjadi cabang dari nafsu
amarah tadi haruslah diperangi dan diatasi dengan cara menanamkan sifat-sifat
baik sebagaimana yang tersebut diatas yang sebenarnya merupakan cabang dari
nafsu muthmainah
KITAB AL- HIKAM
ATHAILLAH SYARAH GURU LANANG KE 35 (B) : SEBAIK-BAIK SAHABAT
DALAM BERGAUL
Menurut Kalam Hikmah ke 35 (B) Al-Arifbillah Syeikh Ahmad
Ibnu Athaillah As kandary:
Wala-an tashhaba jaahilaan laa yardhaa ‘an nafsihi
khairun laka min an tashhaba ‘aalimaan yardhaa ‘an nafsihi ga-ayyu’ilmin
li’aalimin yardhaa ‘an nafsihi wa-ayyu jahlin lijaahilin laa yardhaa ‘an
nafsihi.
Artinya : "Demi
sungguh, seandainya engkau bersabar dengan orang bodoh yang tidak rela
mengumbar nafsu amarahnya itu lebih baik bagimu daripada engkau bersahabat
dengan oaring alim (pandai) yang rela mengumbar nafsu amarahnya. Maka manakah
ada ilmu bagi orang yang berilmu rela mengumbar nafsu amarahnya? Dan manakah
kebodohan bagi orang yang bodoh yang ia tidak rela mengumbar nafsu amarahnya?”.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, seseorang tak akan terlepas dari pergaulan dengan
sesamanya. Walaupun demikian, seseorang haruslah pandai memilih menentukan
kawan dalam bergaul. Karena sesungguhnya pengaruh pergaulan itu amat besar bagi
perkembangan jiwa seseorang.
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah
mengumpamakan sahabat yang baik itu seperti pembawa minyak wangi. Adakalanya
kamu diberi dan ada kalanya pula kamu memberi. Dan yang pasti, kamu akan
rasakan bau harum dari minyak wangi yang dibawanya. Sedangkan sahabat yang
buruk diumpamakan sebagai peniup api. Kalau tidak terbakar pakaianmu, tentulah
engkau akan mencium bau busuk darinya.
Perlu
dikatahui pula, bahwa bergaul dengan orang bodoh tetapi tidak suka mengumbar
hawa nafsunya, adalah lebih baik dari pada bergaul dengan orang alim (berilmu)
tetapi suka mengumbar hawa nafsunya.
Dalam hal
ini kita perlu memperhatikan kata-kata mutiara yang pernah diucapkan Khalifah
Ali bin Abi Thalib sebagai berikut ini, sebagai pedoman dalam memilih sahabat:
jangan bersahabat, kecuali dengan yang taqwa, terdidik, terhormat, cerdik,
cendikiawan, tepat dengan janji-janjinya. Teguhkan keyakinanmu kepada Allah
dalam setiap peristiwa, niscaya Tuhan akan menolongmu di setiap saat, dari
kejahatan dengki tukang hasut”.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan