Catatan Popular

Isnin, 28 Jun 2021

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 54 MENGENAI KETERKUASAAN

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Keterkuasaan adalah suatu keadan yang dialami oleh para Sufi, yang di dalamnya dia tidak mampu melihat penyebabnya atau menjaga sikapnya, dan sama sekali tidak mampu membedakan apa-apa mengenai keadaan yang menimpanya; bahkan dia mungkin melakukan sesuatu yang akan menyebabkan dia tidak diterima dengan baik oleh mereka yang tidak mengerti keadaan dirinya. Tapi kalau keterkuasaan itu telah lewat,  maka dia akan kembali kepada keadaan dirinya yang normal. Kekuatan-kekutan ini mungkin merupakan rasa takut, rasa terpesona, rasa hormat, rasa malu atau yang semacam itu.

Suatu pelukisan diberikan dalam cerita Abu Lubabah ibn Mundzir. Banu Quaraizhah bermaksud berunding dengannya, ketika Nabi menghendaki mereka tunduk kepada wewenang Sa’id ibn Mu’adz; dan Sa’id menunjuk lehernya dengan tangan, mengisyaratkan hukum bunuh. Lalu dia bertobat atas apa yag telah dilakukannya, karena amenyadari bahwa dia telah bersikap tidak setia kepada Tuhan dan Rasul-Nya; maka dia pun pergi dengan kebingungan dan akhirnya mengikat dirinya sendiri pada salah satu ting masjid, sambil berkata : “Aku tidak akan meninggalkan tempatku ini sampai Tuhan mengapuni apa yang telah ku lakukan.”

Dia bertindak bagitu karena takut kepda Tuhan yang menguasainya, dan mencegahnya pergi kepada Nabi seperti yang seharusnya dia lakukan, menurut perintah Tuhan : “Kalau mereka, telah menganiaya dirinya sendiri, lalu datang kepadamu sambil memohon ampunan kepda Allah, sedang Rasul pun ikut pula memohonkan ampunan.....” Sebab tidak ada tertulis di dalam Hukum bahwa seseorang mesti diikat pada tembok atau tiang. Ketika Nabi berkata bertapa lama orang itu dalam perjalanan untuk menemui beliau, beliau berucap : “Kalau saja dia telah datang kepadaku, aku pasti telah memohonkan ampun untuknya; tapi karena dia telah melakukan apa yang kini telah dilakukannya, maka bukanlah aku yang harus membebaskannya dari tempat ini, sampai Tuhan mengampuninya.”

Ketika Tuha melihat bahwa dia memang tulus, dan apa yang terjadi merupakan akibat rasa takut yang menguasinya, maka Dia pu mengampuninya. Lalu Tuhan mewahyukan ampunan-Nya, dan Nabi membebaskannya. Nah, ketika rasa takut ini menguasai Abu Lubabah, dia tidak mampu mengamati penyebabnya dan tidak tahu bahwa Rasul harus mohon ampun, sebab Tuhan berfirman : “Kalau mereka telah menganiaya dirinya sendiri....”

Dia juga tidak mampu menjaga seikapnya, yaitu meminta maaf kepada orang yang didosainya, sehingga dia menentang Nabi ketika beliau hendak mengdakan gencatan senjata dengan orang-orang kafir pada tahun Hudaibiyah; Umar melompat bangun dan datang kepada Abu Bakr, berkata : “Wahai Abu Bakr! Tidakkah Beliau itu Rasul Allah?” Dia berkata : “Ya.” Umar berkata : “Tidakkah kita ini orang-orang Muslim?” Dia berkata : “Y.” Umar berkata : “Tidakkah mereka itu orang-orang kafir?” Dia berkata : “Y.” Umar berkata : “Lalu, mengapa kita membawa pertimbangan-pertimbangan duniawi ke dalam agama kita?” Abu Bakr berkata : “Wahai Umar! Berpeganglah engkau pada sanggurdi beliau.”(Menuruti perintahnya), sebab, aku bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah.”

Umar berkata : “Dan aku pun bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah.” Lalu dia dikuasai oleh perasaannya, dan dia datang kepada Nabi dan berkata kepada beliau seperti yang dikatakannya kepada Abu Bakr; dan Nabi menjawab seperti Abu Bakr dan menyudahinya dengan kata-kata : “Aku adalah hamba Tuha dan Rasul-Nya; aku tak akan menetang  perintah-Nya, dan Dia tak akan meninggalkanku.”

Sesudah itu Umar sering berkata : “Aku tak henti-hentinya berbpausa, memberi sedekah, membebaskan para tawanan serta berdoa, untuk menebus kelakuanku pada hari itu, sebab aku takut akan kata-kata yang telah kuucapkan; sampai akhirnya aku berharap agar segala sesuatunya berjalan baik.” Sama halnya ketika dia menentang Nabi, ketika beliau berdoa untuk Abdullah ibn Ubay.

Umar berkata : “Beberapa perubahan datang pada diriku, dan aku berdiri di hadapannya serta berkata : “Wahai Utusan Allah; maukah nekgua berdoa untuk orang ini, mengingat bahwa dia telah berkata begini dan begini pada hari ini dan ini?”

Begitulah dia menyebutkan harinya satu demi satu, sampai Nabi berkata kepadanya : “Biarkan aku; aku telah diberi pilihan, dan aku telah memilih.Abu Taibah, yang menoreh kulit Nabi lalu meminum darah beliau, sesuatu yang terlarang dalam Hukum: ini dilakukannya dalam keadaan dia dikuasai. Tapi Nabi memaafkannya, dan berkata : “Engkau telah memagari dirimu sendiri dengan pagar neraka.”

Ceita-cerita semacam itu  dan banyak lagi lainnya membuktikan bahwa keterkuasaan itu merupakan keadaan murni dari jiwa yang pada saat itu orang diizinkan berbuat hal-hal yag dilarang, dalam keadaan tidak sadar Tapi, jika orang itu ada dalam keadaan tenang, seperti halnya Abu Bakr, dikarenakan kondisi yang agak lebih tinggi, maka dia akan menjadi lebih mantap, dan keadaannya lebih sempurna.

Tiada ulasan: