Catatan Popular

Isnin, 28 Jun 2021

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 62.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PEMBERIAN MA’RIFAT

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Al-Hasan ibn Ali ibn Yazdaniyar ditanya : “Kapankah ahli ma’rifat itu bersama Tuhan?” Dia menjawab : “Ketika kesaksian itu muncul dan kesaksian-kesaksian itu hilang, indera-indera itu lenyap dan ketulusan musnah.” Ketia dia mengatakan : “Kesaksian itu muncul. Maksudnya adalah kesaksian Tuhan, yaitu apa yang dilakukan-Nya terhadap Sufi itu sebelumnya, kebaikan-Nya dan pemberian-pemberian ma’rifat, pengesaan dan iman kepada-Nya yang begitu banyak, pemikiran akan hal ini akan menyebabkan tindakan-tindakan para Sufi itu sendiri, kesalehan dan kepatuhannya sendiri, akan lenyap dari benaknya. Lalu dia akan melihat bahwa sebagian besar dirinya tertelan dalam sebagian kecil dari Tuhan, meski yang demikian Tuhan itu banyak dan yang dimilikinya sedikit. Keluruhan kesaksian adalh hilangnya pemikiran akan orang-orang lain, apakah mereka akan merugikan atau menguntungkan, menyalahkan ayau memuji, sementara lenyapnya indera-indera itu dicontohkan di dalam hadits (Qudsi) ini : “Lewat aku dia berkata dan lewat aku dia melihat.”. Musnahnya ketulusan berati bahwa ketika Sufi itu memikirkan sifatnya sendiri --- sebab sifatnya tunduk kepada penyebab, seperti dirinya sendiri – dia tiak lagi menganggap dirinya tulus, dan tidak lagi menganggap tindakan-tindakannya pernah atau kan tulus.

Dzul Nun ditanya : “Bagaimanakah kesudahan ahli Ma’rifat itu?” Dia menjawab : “Ketika dia tetap seperti dia sebelumnya di tempat dia sebelumnya di hadapan sesuatu yang dihadapinya sebelumnya.” Dengan ini, yang dimaksudkannya adalah bahwa dia merenungkan Tuhan dan tindakan-tindakan-Nya, bukannya merenungkan dirinya sendiri dan tindakan-tindakannya.

Yang lain berkata : “orang yang paling mengenal Tuhan adalah orang yang paling bingung.” Dzu’l Nun ditanya : “Apakah langkah pertama yang harus diambil oleh ahli ma’rifat?” Dia menjawab : “Kebingungan, sesudah itu kebutuhan, sesudah itu penyatuan, sesudah itu kebingungan.” Kebingungan yang pertama adalah pada tindakan-tindakan dan karunia-karunia Tuhan terhadap dirinya; sebab, dia merasa bahwa rasa syukurnya kepada Tuhan tidak sesuai dengan karunia Tuhan itu, dan dia tahu bahwa dia perlu bersyukur lantaran karunia-karunia itu; bahkan, jika dia bersyukur, kesyukurannya merupakan suatu karunia yang harus disyukurinya. Dia merasa bahwa tindakan-tindakannya tidak cukup patut untuk membawanya bertemu Tuhan; sebab dia mengecilkan arti tindakan-tindakan itu, menganggap tindakan-tindakan itu sebagai kewajibannya, yang tidak akan terhapuskan dalam keadaan apapun.

 Dikatakan bahwa Al-Syibli pada suatu kesempatan berdiri untuk bersembahyang, dan menanti lama sekali, sesudha itu bersembahyang; dan setelah dia selesai bersembahyang dia berkata : “Aduh! Jika aku berdoa, aku menyangkal, dan jika aku tidak berdoa, aku tidak bersyukur.” Yang dimaksudkannya : “ Aku menyangkal besarnya kebaikan dan sempurnanya karunia (Tuhan), kalau aku bandingkan itu dengan tindakan bersyukurku yang buruk itu. Lalu dia mulai bersyair :

Kini, terrpujilah Tuhan, bahwa aku bagaikan seekor kodok

Yang makanan pokonya tersedia di air dalam

Dan membuka mulutnya, dan segera penuh;

Ia mempertahankan kedamaiannya, dan pasti mati dalam kesedihan

Kebingungan yang kedua adalah di dalam keliaran tanpa penyatuan yang tak berarah, yang di dalamnya pengertian ahli ma’rifat itu lenyap dan akalnya menciut di hadapan kebesaran kekuasaan, pesona dan keagungan Tuhan. Telah dikatakan : “Di sisi pengesaan ini terdapat keliaran yang di dalamnya pikiran-pikiran itu lenyap.”

Abu’l-Sauda bertanya kepada salah seorang tokoh besar Sufi : “Apakah ahli ma’rifat itu memiliki kesempatan (waqt)?” Dia menjawab : “Tidak,” Yang lain bertanya : “Mengapa tidak?”

Tokoh Sufi itu menjawab : “Sebab, kesempatan adalah suatu jarak waktu untuk penyegaran setelah kemarahan, dan ma’rifat itu (bagaikan) ombak yang menarik (ahli ma’rifat), terkadang mengangkatnya, terkadang membantingnya, dan kesemepatannya itu hitam dan gelap.” Lalu dia berkata :

Ma’rifat membuat satu tuntutan, dan hanya satu;

Bahwa, segala sesuatu darimu harus dihapuskan.

Maka, ketika penyelidikan panjang itu dimulai pertama kali,

Yang mencari, belajar menjaga kemurnian pandangannya

Faris berkata : “Ahli ma’rifat adalah seseornag yang pengetahuannya merupakan suatu keadaan kejiwaan, dan yang geraknnya berlimpah-limpah.”

Junaid, ketika ditanya mengenai ahli ma’rifat berkata : “Warna air itu adalah warna wadahnya.” Yang dimaksudkannya adalah bawa dalam setiap keadaan dia mengikuti apa yang lebih patut; nah, keadaan-keadaannya itu berbeda-beda, maka dia disebut :Putera sang waktu>”

Dzu’l Nun berkata, utnuk menjawab pertanyaan yang sama : “Dia ada di sisi dan kemudian pergi,” yang berarti bahwa ahli ma’rifat itu tak pernah terlihat pada dua kesempatan dalam keadaan yang sama, sebab dia diawasi oleh Yang lain. Puisi berikut ini dianggap sebagai gubahan Ibn Atha :

Andaikan waktu punya lidah ‘tuk berbicara, maka ‘kan bertutur..

Bahwa dalam selubung hasrat aku senang;

Tapi, waktu tak tau tingkatku yang sejati lagi tinggi,

Karena kuselalu bergerak ke suatu ketinggian..

Sahl ibn Abdillah berkata : “Keadaan pertama dalam ma’rifat adalah ketika sang Sufi mendapatkan suatu kepastian di dalam hatinya, yang dengan itu anggota-anggota tubuhnya menjadi tenang, dan suatu sifat kebenaran di dalam anggota-anggota tubuhnya yang dengannya dia merasa aman di dunia ini, serta suatu kehidupan di dalam jiwanya yang dengannya dia mencapai kemenangan di dalam keadaannya yang mendatang.”

Oleh karena itu, ahli ma’rifat telah berusaha keras untuk melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, dan ma’rifatnya merupakan suatu perwujudan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya, oleh karena itu dia sungguh-sungguh berpaling dari segala sesuatu dami Tuhan. Tuhan berfirman  : “Engkau melihat air mata mereka bercucuran, disebabkan apa yang mereka ketahui sebagai kebenaran.” Barangkali, yang mereka maksud dengan “mereka diketahui sebagai kebenaran” adalah yang telah mereka ketahui sebagai kebaikan Tuhan dan pencarian-Nya akan diri mereka, berpalingnya Dia kepada mereka serta terpilihnya mereka di antara kerabat-kerabat mereka.

Begitulah halnya dengan Ubai ibn Ka’ab. Nabi berkata kepadanya : “Sesungguhnya, Tuhan telah memerintahkan aku untuk menyitir (ayat-ayat suci) di hadapanmu.” Ubai berkata : “Wahai Rasul Allah! Adakah aku disebutkan di situ?” Nabi berkata : “Ya”.

Maka Ubai lalu meratap, sebab dia tidak melihat ada keadaan yang di dalamnya dia bisa menghadap Tuhan, tak ada syukur yang bisa menyamai karunia Tuhan, tak cukup ingatannya akan Dia; oleh karena itu dia bungkam sja, lalu meratap. Nabi juga berkata kepada haritsah : “Kau telah tahu, maka berpeganglah erat-erat (padanya).” Beliau menuturkan kepadanya ma’rifat itu, dan menyuruhnya berpegang erat-erat padanya, tanpa memberi tanda kepadanya dengan tindakan apa pun.

Ketika ditanya mengenai ahli ma’rifat, Dzu’l Nun berkata : “Dia adalah orang yang meskipun menyatu dengan ma’rifat itu, terpisah darinya.” Sahl berkata : “Mereka yang memiliki ma’rifat Tuhan adalah sebagai oarng-orang dari A’raf, yang mengenal satu sama lain dengan tanda-tanda; Tuhan telah menempatkan mereka pada keadaan mereka, dan mengangkat mereka tinggi-tinggi melebihi kedua tempat itu, memberi mereka pengetahuan mengenai dua kerajaan itu.” Salah seorang tokoh Sufi menulis baris-baris puisi ini :

Sayang nian, mereka yang telah menjalani

Kehdipan dunia ini, dan pergi di jalan mereka sendiri!

Bertahun-tahun sudah ku berlomba dengan mereka;

Bagian yang mereka mainkan tak bisa kumainkan;

Kehdupan mereka penuh rahasia dan terpencil.

Di tengah suasana kesombongan atau keningratan,

Manusia-manusia berseru, yang melihat mereka dilucuti

Mereka tak terbentuk, tak bernyawa!

Tiada ulasan: