Catatan Popular

Isnin, 28 Jun 2021

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 55.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEMABUKAN (SUKR)

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Kemabukan itu jelas terlihat ketika seseorang sementara dia tidak sepenuhnya tidak sadar akan hal-hal di sekelilingnya, tidak bisa membedakan hal-hal itu; yaitu, dia tidak bisa membedakan apa yang dapat diterima dan menyenangkan dengan kebalikannya, dikarenakan oleh hubungannya dengan Tuhan.

Rasa keterkuasaan oleh wujud Tuhan menghilangkan kemampuannya untuk membedakan apa yang menyakiti dirinya dan apa yang mendatangkan kesenangan baginya. Ini terlukis dalam beberapa penuturan. Misalnya, ada hadits mengenai Haritsyah, yang mengatakan : “Dalam pandanganku sama saja antara batu dan lempung, emas dan perak.”

maka Abdullah ibn Mas’ud berkata : “Aku tidak perduli, ke dalam keadaan mana di antara yang dua itu aku akan jatuh, Entah kekayaan atau kemiskinan; sebab, bila jatuh ke dalam kemiskinan, aku akan sabar, dan jika ke dalam kekayaan, aku akan bersyukur.” Dia tidak bisa membedakan lagi mana yang lebih menyenangkan dan mana yan sebaliknya, sebab dia dikuasai oleh suatu perasaan yang diperolehnya dari Tuhan, yaitu kesabaran dan syukur.

Kewarasan, yang menggantikan kemabukan, adalah suatu keadaan yang membuat seseorang bisa membedakan, dan mengetahi apa yang menyakitkan dan apa yang menyenangkan, tapi dengan sengaja memilih yang pertama, jika itu yang sesuai dengan kehendak Tuhan; maka dia tidak akan merasa sakit, melainkan senang, dalam pengalaman yang sebenarnya menyakitkannya.

Dikatakan bahwa salah seornag tokoh Sufi berseru : “Jika Engkau hendak menimpakan atasku kemalangan, aku hanya akan merasakan cinta yang lebih besar terhadap-Mu.” Abu’l-Darda dituturkan sebagai telah berkata : “Aku mencintai mati, sebab aku rindu kepada Tuhanku; Aku mencintai sakit, sebab aku tunduk karena dosa-dosaku; aku mencintai melarat, sebab aku tunduk pada Tuhanku.”

Salah seorang sahabt berkata : “Betapa berharganya dua hal yang menjijikan itu, kematian dan kemelaratan!.” Keadaan ini lebih sempurna dibanding (yang mendahuluinya), sebab orang yang mabuk itu jatuh ke dalam suatu yang mendatangkan kebencian tanpa menyadarinya, sehingga dia tidak memiliki kesadaran akan perasaan benci; sedangkan yang lain lebih menyukai yang menyakitkan daripada yang menyenangkan, dan kemudian menemukan kesenangan di dalam kesakitannya, sebab dia telah terpesona karena adanya Dia yang menyebabkan adanya kesakitan itu.

Orang yang waras, yang sifatnya mengatasi kemabukan, kadang-kadang akan lebih menyukai kesakitan daripada kesenangan tanpa mempertimbangkan pahala atau mengharapkan balas jasa; orang yang semacam itu merasakan sakit dalam kesakitan, dan senang dalam kesenangan; yang dimilikinya adalah kesabaran dan rasa syukur. Salah seorang tokoh Sufi menggubah syair ini :

Jika, dalam keadaan waras, aku

Tidak lagi melihat

Kecuali yang menjadi milik-Nya, kebenaran lebih tinggi

Apa yang menunggu dalam kemabukan, yang merupakan

Keadan yang lebih mulia?

Kini datang kewarasan

Atau biarkan aku dalam

Kemabukan; melaksanakan rencana-Mu;

Mabuk atau waras, selamanya aku milik-Mu.

Yang dimaksudkannya adalah, jika keadaan yang bisa membedakan itu bisa membuatku hanya menyadari apa yang menjadi milik Tuhan dan tidak menyadari apa yang menjadi milikku, akan seperti apakah keadaan mabuk itu, keadaan yang didalamnya kemampuan memperbedakan melarut?

Tuhan-lah yang menguasai diriku dalam pelaksanaan tugas-tugasku, yang mengawasi diriku dalam keadaanku. Kedua keadaan itu membawa pengaruh bagi diriku, tapi keduanya sesungguhnya milik Tuhan, dan bukan milikku sama sekali; dan selamanya aku akan ada dalam kedua keadaan ini.

Tiada ulasan: