Catatan Popular

Isnin, 28 Jun 2021

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 47 MENGENAI ZIKIR

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Zikir yang sesungguhnya adalah melupakan semuanya kecuali Yang Esa. Maka Tuhan berfirman : Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa.” Yaitu, jika engkau telah melupakan apa yang bukan Tuhan, maka berarti engkau telah mengingat Tuhan.

Nabi berkata : “Orang yang sendiri itu lebih utama.”

Mereka bertanya : “Siapakah orang yang sendiri itu, wahai Rasul Allah?” Dia menjawab : “Laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat.” Yang sendiri” adalah dia yang tidak bersama sia-siapa.

Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Ingatan itu membuang alpa; dan kalau kealpaan itu telah hilang, maka engkau menajdi orang yang ingat, bahkan jika engkau diam saja.” Puisi yang berikut ini dianggap merupakan gubahan al-Junaid :

Aku mengingat Engkau;

Tak akan kenanganku

Walau dalam sekejap mata pun

Lepas dari engkau

Aku mengingat engkau;

Tapi tak ada yang lebih mudah..

Dibanding kata yang gampang terucap..

Terlupa segera setelah terdengar..

Saya mendengar Abul Qasim al-Baghdadi menuturkan, bahwa dia bertanya kepada salah seorang tokoh besar Sufi : “Apakah yang membuat jiwa para “Ahli ma’rifat” itu sakit? Mereka membenci zikir, dan senang akan perenungan, tapi, sebenarnya, perenungan itu tidak mendatangkan penyelesaian, sedangkan zikir itu tidak membawa mereka jauh dari penderitaan. Kebanggan mereka ada dalam kehormatan yang tersembunyi di balik perenungan, dan yang membuat mereka lupa akan penderitaan dalam susah payah mereka.”

Dengan mengatakan, “Mereka menganggap enteng buah dari zikir.” Dia mengisyaratkan bahwa buah-buah zikir ini merupakan kesenangan jiwa (Nafsu), dan sudah tentu para ahli ma’rifat itu telah berpaling dari jiwa dan kesenangan-kesenangannya.

Tapi, perenungan mereka adalah tentang keagungan, kebesaran, pilihan dan kebaikan Tuhan; mereka merenungkan utang mereka pada Tuhan, dan karena itu mereka menghormati-Nya, sementara mereka berpaling dari pemikiran mengenai kebaikan apa saja yang mungkin mereka miliki di hadapan Tuhan, karena menghargai Dia.

Sebab Nabi berkata, atas persetujuan Tuhan, “Jika seseorang selalu mengingat Ku sehingga ia lupa berdoa kepada-Ku, Aku anugerahkan baginya pahala yang lebih mulia daripada pahala yang Ku berikan bagi mereka yang berdoa kepada-Ku.”

Firman ini bisa ditafsirkan begini : Jika seseorang begitu terpusat perhatiannya dalam merenungkan keagungan-Ku sehingga dia lupa mengingat Aku dengan lidahnya .... Sebab ingatan dengan lidah itu berarti berdoa; lebih-lebih, perenungan mengenai keagungan-Nya itu membingungkan dia, dan membuat dia tidak mengingat Tuhan lagi. Inilah arti kata-kata Nabi  : “Aku tidak bisa membllang pujian yang menjadi milik-Mu.” Puisi Al-Nuri berikut dikutip dalam hubungannya dengan hal ini :

Begitu menggebu cintaku, aku sungguh ingin,

Untuk menyimpan kenangan-Nya, selamanya dalam hatiku;

Tapi wahai, gairah yang membakarku..

Menghanguskan pikiran ku, dan membutuhkan ingatanku!.

Dan sungguh ajaib, gairah

Itu sendiri tersapu, menjauhd an mendekat

Kekasih berdiri, dan seluruh rasa

Kenanganku tersapu dalam harapan dan ketakutan..

Al-Junaid berkata : “Jika seseorang mengatakan “Tuhan” sedangkan dia belum pernah merenung, maka dia seorang pendusta.”

Kebenaran pernyataan ini disaksikan oleh firman Tuhan : “Mereka mengatakan : “Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar utysan Allah.” ..... Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” Tuhan menuduh mereka pendusta, meskipun pernyataan mereka itu benar adanya, karena pernyatan itu tidak didasarkan atas  perenungan. Yang lain berkata : “Hati adalah untuk merenung, lidah adalah untuk mengutarakan perenungan itu; Jika seseorng mengutarakan sesuatu tanpa merenungkannya, maka dia adalah saksi yang tidak sah.” Salah seorang tokoh Sufi berkata :

Engkaulah pencipta kesusahanku, Tuhan, bukan kenanganku,

Sebab Engkau akan menghapus segala kenanganku,

Kenangan adalah selubung, dan bersekutu dengan pikiran..

Untuk membutakan hatiku, dan menyembunyikan Engkau dari

Pandangan-ku

Inilah penafsirannya : Zikir adalah alat bagi oang yang mengingt; oleh karena itu, jika saya tak merenung pada saat ssaya mengingat, maka klalaian itu adalah pada diri saya, sebab , sifat-sifat orang itu sendirilah yang mencegahnya dari merenungkan Tuhannya.

Sarri as-Saqati berkata : “Aku menemani seorang berkulit hitam (negro) di padang pasir dan aku mengamati bahwa setiap kali dia mengingat Tuhannya, warna kulitnya berubah putih.

Aku berkata : “Saudaraku, sungguh, jika engkau mengingat Tuhan sebagaimana Dia mestinya diingat, kulitmu sendiri pun akan berubah, dan bentukmu berganti.” Lalu dia mulai bernyanyi :

Kami-kmai mengingta ... namun kealpaan

Bukanlah kebiasaan kami, tapi cahaya bersinat..

Udara gaib terhirup, dan Tuhan dekat..

Lalu hilang lenyaplah kedirina, dan aku

Ada sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar jelas

Bersaksi atas Dzat-Nya dan dengan itu dikenal,

Syair berikut dari Ibn Atha bisa juga dikutip :

Zikir adalah dari jenis yang lain, kulihat,

Yang pertama oleh cinta dan rindu bisa di atasi;

Yang berikut, hubungan jiwa,

Dan dengannya bercampur, sebagai keseluruhan tanpa kehidupan

Oleh ruh dipercepat pada nafa..

Yang berikut melepas ruh, dan berurusan dengan kematian..

Yang kadang tersembunyi, kdang tampak, yang akhir menjulang..

Tinggi atas mahkota kepala, dan segala kekuatan

Penglihatan dan pemikiran, ya, setiap fantasi..

Dari benak tiada sanggup menjangkau. Dengan jelas

Mata hati kemudian melihat Dia, dan mencaci

Zikir, sebagai beban yang berat ditanggungnya.

Dia membagi zikir menjadi beberapa kelas. Yang pertama adalah zikir hati, berarti bahwa Dia yang diingat dulunya terlupakan, lalu teringat kembali; yang kedua adalah Zikir tentang sifat-sifat Dia yang diingat; yang ketiga adalah perenungan mengenai Dia yang diingat.

Dan yang terakhir ini, maka berarti orang itu telah melewai zikir; sebab sifat-sifat Dia yang diingat membuat engkau jauh dari sifat-sifatmu sendiri, dan dengan begitu engkau jauh dari zikir.

Tiada ulasan: