Catatan Popular

Isnin, 28 Jun 2021

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 66.MENGENAI KETAKWAAN DAN AMAL-AMALNYA

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

 

Al-Harits al-Muhasibi mendapat warisan dari bapaknya lebih dari 30.000 dinar, tapi tidak mau menyentuhnya sepeser pun, dan mengatakan : “Dia seorang Qadariah.”

Abu Usman berkata : “Aku sedang di rumah Abu Bakr ibn Abi Hanifah bersama Abu Hafs. Kebetulan kami memperkatakan tentang seorang teman yang tidak hadir, dan Abu Hafs berkata : “Jika aku memiliki secarik kertas, akan ku tulis kepadanya.” Aku berkata, “Inilah, ada secarik.”

Saat itu Abu Bakr sedang pergi ke pasar. Abu Hafs menyahut, “Barangkali Abu Bakr telah meninggal dunia, tanpa kita ketahui, dan kertas itu telah menjadi milik pewarisnya. Oleh karena itu dia tidak jadi menulis.”

Abu Usman juga berkata : “Aku sedang bersama Abu Hafs, ketika dia menyimpan sejumlah kismis. Aku mengambil kismis itu dan memasukannya ke dalam mulutku. Dia tiba-tiba menyambar leherku dan berkata, “Engkau penipu, engkau makan kismisku.” Aku menjawab. “Aku yakin akan ketidakhadiranmudalam masalah-masalah dunia ini, sebab aku tahu bahwa engkau tidak memetingkan dirimu sendiri, dan karena itulah aku mengambil kismis itu.”

Dia menjawab : “Wahai orang tolo! Engkau mempercayai hati yang tidak dikuasai oleh tuannya!” Saya mendengar banyak dari syekh itu berkata : “Syekh itu akan menghindar dari behubungan dengan orang yang melarat dikarenakan salah satu dari ketiga alasan ini: Jika ddia melaksanakan perjalanan haji setelah menerima uang dari orang lain: Jika dia pergi ke Khurasan; Dan jika dia memasuki Yaman.

Mereka mengatakan : “Jika dia pergi ke Khurasan, dia melakukan hal itu hanya untuk memperoleh kemudahan, dan di Khurasan tidak ada apa pun yang halal atau baik untuk dimakan; dan mengenai Yaman, ada banyak jalan di sana menuju kerusakan,” Abu’l Mughith tidak pernah beristirahat atau tidur dengan berbaring, tapi sepanjang malam dia berdiri mendoa; dan setiap kali matanya terasa letih, dia akan duduk dan meletakkan keningnya di atas lututnya, dan tidur sebentar. Seseorang bertanya kepadanya : “Berbaik hatilah terhadap dirimu sendiri.”

Dia menyahut : “Tuhan yang Baik belum berbuat baik kepadaku sehingga aku belum juga mendapatkan kemudahan. Apakah engkau belum mendengar bahwa Tuhan Para Utusan itu berkata, Orang  yang paling susah adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang benar-benar percaya, dan sesudah itu yang semacamnya dan yang semacamnya.”

Dikatakan bahwa Abu Amr al-Zajjaji tinggal di Mekkah selam bertahun-tahun, dan tidak pernah melaksanakan kebutuhan alamiahnya di daerah Haram, tapi selalu pergi keluar untuk melakukan hal itu dan kemudian kembali dalam keadaan suci untuk beribadah.

Saya mendengar Faris menuturkan anekdot berikut ini : “Abu Abdillah yang dikenal sebagai Syikthal, tidak mau berbicara dengan orang-orang , tapi memencilkan diri di padang pasir di daerah Kufah, tanpa makan apa-apa kecuali makanan yang dihalalkan.

Aku bertemu dengannya pada suatu hari, dan dengan mendekatinya aku berkata : “Aku mohon kepadamu demi nama Tuhan, maukah engkau mengatakan padaku apa yang mencegah dirimu dari megajar orang? Dia menyahut : “Wahai manusia! Kemaujudan ini bukan lain daripada suatu khayalsan di tengah hakikat, dan adalah tidak sah bagi kita untuk berbicara mengenai sesuatu yang tidak mengandung hakikat. Dan mengenai Yang Nyata itu, kata-kata tak mampu memerikannya; lalu apa gunanya mengajar?

Kemudian meninggalkanku dn belalu.” Faris juga mengatakan kepadaku bahwa dia mendengar Al-Husain al-Maghazili berkata : “Aku melihat Abdullah al-Qasysya’ suatu malam berdiri di tepi sungai Tigris dan berkata, “Tuhanku, aku haus; Tuhanku, aku haus.” Begitulah dia terus menerus sampai pagi; lalu dia berkata ‘Aduh! Engkau membuat sesuatu  menjadi halal bagiku tapi mencegahku untuk mengambilnya; dan Engkau membuat sesuatu haram bagiku tapi memberiku kebebasan untuk mendapatkannya; lalu apa yang mesti kulakukan?” Maka dia kembali, dan tidak minum.”

Saya mendengar juga orang yang sama menuturkan bahwa dia mendengar seorang laki-laki melarat berkata : “Pada tahun sulit, aku berada bersama beberpa orang; aku meninggalkan mereka, dan kemudian kembali dan memerinksa orang-orang yang luka. Aku melihat Abu Muhammad al-Jurairi, yang waktu itu usianya lebih dari seratus tahun, dan berkata kepadanya : “Tuan, mengapa engkau tidak berdoa, agar (kesedihan) yang engkau lihat ini bisa dihilangkan?” Dia menyahut : “Aku telah melakukan itu.”

Dan kemudian ia menambah kan : “Sesungguhnya, aku melakukan apapun yang hendak kulakukan. Aku mengulangi permohonanku kepadanya dan dia berkata : “Saudaraku, ini bukan waktunya berdoa, kini adalah waktu untuk patuh dan pasrah.” Aku berkata kepadanya : “Apakah engkau membutuhakn sesuatu?” Dia menjawab : “Aku haus’.

Maka aku bawakan dia air, dan dia mengambilnya serta ingin meminumnya, lalu dia melihat kepadaku dan berkata : “Orang-orang ini haus, dan aku minum. Tidak, itu keserakahan.” Maka dia kembalikan air itu kepadaku dan segera sesudah itu dia mati.” Faris juga menuturkan bahwa dia mendenegar salah seorang sahabat Al-Jurairi berkata : “Selama dua puluh tahun aku tidak pernah memikirkan tentang makanan sampai pemikiran akan hal itu dibawa ke dalam hatiku; dan selama dua puluh tahun aku melakukan sembahyang fajar pada saat aku baru saja menyelesaikan sembahyang malamku, yang kedua; dan selama dua puluh tahun aku tidak pernah memendekkan doa-doa-ku kepada Tuhan, karena takut jangan-jangan Dia nanti akan membuktikan kesalahanku lewat mulutku sendiri.

Selama dua puluh tahun, lidahku hanya mendengarkan hatiku; Lalu keadaanku berubah, dan selama dua puluh tahun hatiku hanya mendengarkan lidahku.” Arti perkataannya, “Lidahku hanya mendengarkan hatiku” adalah :Aku hanya berbicara atas dasar hakikat yang aku miliki.”

Dan “hatiku hanya mendengarkan lidahku” adalah “Tuhan menjadikan lidahku, seperti yang dituliskan dalam hadis (Qudsi): “Lewat Aku dia mendengar, lewat Aku dia melihat dan lewat Aku dia berbicara.” Salah seorang Syekh kami mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Muhammad ibn Sa’dan berkata : “Selama dua puluh tahunaku membaktikan diri kepada Abu’l Maghith dan tak sekali pun aku melihatnya menyesali apa pun miliknya yang ketinggalan.”

Dikatakan bahwa Abu’l Sauda melaksanakan perjalanan haji kecil enam puluh kali, dan Ja’far ibn Muhammad alj-Khuldi lima puluh kali. Salah seorang syekh kami – saya cenderung beranggapan bahwa dia  adalah Abu Hamzah al-Khurasani --- melaksanakan perjalanan suci sepuluh kali demi Nabi, sepuluh kali demi para sahabat Nabi. Dan satu kali perjalanan suci demi dirinya sendiri; dan dia berharap perjalanan-perjalanan sucinya yang lain bisa membuat perjalanan sucinya sendiri diterima oleh Tuhan.

 

Tiada ulasan: