Catatan Popular

Isnin, 28 Jun 2021

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 59.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KELUHURAN (FANA) DAN KEBAQAAN

Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Keluhuran adalah suatu keadaan yang di dalamnya seluruh hasrat meluruh darinya, sehingga para Sufi itu tidak mengalami perasaan apa-apa, dan kehilangan kemampuan membedakan; dia telah luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada sesuatu yang menyebabkan dia luruh, maka Amir ibn Abdillah berkata : “Aku tidak peduli apakah aku melihat seorang perempuan atau sebuah tembok.” Lalu Tuhan sendiri mengawasinya, dan mengawasinya sedemikian rupa sehingga dia melaksanakan tugas-tugasnya demi Tuhan dan menuruti segala kehendak-Nya; dia sepenuhnya terjaga dalam memberikan apa yang menjadi hak Tuhan, dan dia terjauh dari segala minat pribadi serta penentangan terhadap Tuhan, sehingga dia sama sekali tidak bermaksud menetang-Nya. Inilah yang dimaksudkan dengan perlindungan Tuhan (“ishmah) dan pada hal inilah hadits yang termasyhur itu mengacu : “Aku menjadi telinga  dan mata baginya.”

Kebakaan, yang mengikuti keluruhan, mengandung arti bahwa para Sufi itu meluruh dari sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, dan tetap tinggal dikarenakan sesuatu yag menjadi milik Tuhan,.

Salah seorang tokoh Besar Sufi berkata : “Kebakaan adalah keadaan para Nabi.” Mereka berpakaian secarik GOA (Sakinah) dan apa –pun yang mendatangi mereka tidak akan mencegah mereka melaksanakan tugas-tugas mereka terhadap Tuhan, dan untuk menerima karunia-karunia-Nya; sebab, “Tangan Allah-lah yang selalu terbuka; Dia memberi karunia menurut cara yang Dia kehendaki.” Kalau seseorang itu baka, maka, segala sesuatu baginya menjadi hanya satu saja, dan semua yang diperbuatnya selaras, bukan sebaliknya, sengan Tuhan; dia luruh dari yang tidak selaras dan tetap tinggal pada yang selaras.

Nah, kenyataan bahwa “segala sesuatu baginya menjadi hanya satu saja” tidak mengisyaratkan bahwa yang tidak selaras itu menjadi selaras baginya, atau bahwa larangan menjadi sama dengan perintah baginya, Hal itu semata-mata berarti bahwa apapun yang terjadi padanya, terjadi sesuai dengan perintah dan keridhaan Tuhan, jadi tak ada sesuatu pun yang tidak menyenangkan Tuhan. Apa yang dilakukannya, dilakukannya demi Tuhan, bukan demi kesenangannya sendiri, baik di dunia kini maupun di dunia nanti.

 Inilah yang dimaksudkan oleh ungkapan Sufi “Dia luruh dari gelarnya sendiri dan tinggal dalam gelar Tuhan,” sebab apa yang dilakukan oleh Tuhan, Dia lakukan demi yang lain, bukan demi diri-Nya sendiri, tiak mencari keuntungan dari situ ataupun menghindari bahaya. Tuhan jauh dari semua itu tapi semata-mata untuk mendatangkan keuntungan atau kerugian bagi yang lain.

Sama halnya, para Sufi yang baka dikarenakan Tuhan, dan luruh dari dirinya, melakukan apa yang dilakukannya bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk menghindari kerugian; Seluruh perasaan pribadi dan hasrat untuk mendapatkan keuntungan pribadi telah hilang dari dirinya.

Nah, ini hanya mengacu paa maksud dan tujuan; jangan ditafsikan bahwa hal ini mengisyaratkan bahwa para Sufi itu tidak mengalami kesenangan sama sekali  dalam melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, maka dia tidak mengharapkan adanya pahala ataupun takut akana danya hukuman. Adalah benar bahwa dua perasaan ini, pengharapan dan ketakutan, terus menerus ada dalam dirinya; tapi dia mengharapkan pahala dari Tuhan hanya agar selaras dengan Tuhan, sebab Tuhan menghendaki itu bagi dirinya, dan telah memerintahkannya untuk meminta itu darinya, dan dengan demikian dia tidak bertindak demi kesenangan sendiri, sama halnya, dia takut akan hukuman Tuhan karena dia menghormati Tuhan dan ingin selaas dengan-Nya.

Dan Tuhan membuat makhluk-makhluk-Nya merasa takut. Maka dalam segala perbuatannya dia bertindak demi kesenangan yang lain, bukan demi kesenangannya sendiri. Dalam arti inilah pepata ini mestinya dipahami; “Orang yang beriman itu makan untuk memenuhi selera keluarganya.” Salah  seorang tokoh Sufi menggubah baris-baris syair berikut ini :

Dari ranti diri dan kedirian yang mencekik

Tuhan membebaskannya; dan kemudian

Memakaiakan lagi padanya lempung yang lember,

Sehingga rahasia-rahasia Tuhan bisa terlihat,

Maka bentuk dari bentuk harus ditarik.

Pada fajar mempesona dari wahyu.

Kehendak Tuhan yang gpasti dan Mahakuasa

Akan mengisi setiap hati dengan kegairahan

Arti yang menyeluruh dari keluruhan dan kebakaan adalah bahwa para Sufi itu meluruh dari perasaan-perasaannya sendiri, dan tinggal di dalam perasaan-perasaanmilik yang lain.

Juga ada jenis lain dari keluruhan, yang merupakan keluruhan kesadaran akan ketidakselarasan (dengan Tuhan) dan dari semua perbuatan yang secara sengaja ditujukan pada ketidak-selarasan, dan untuk baka secara selaras dengan (Tuhan), dengan senagaja dan sungguh-sungguh mengarahkan tujuannya pada keadaan itu dalam setiap perbuatannya. Dalam hal ini ada juga keluruhan dari penghormatan terhadap sesuatu seain Tuhan dan baka untuk menghormati Tuhan. Arti yang terakhir itu tampak dalam contoh yang diceritakan mengenai Abu Hazim. Dia berkata : “Apakah dunia ini? Yang telah lewat adalah impian, dan yang ada sekarang merupakan harapan yang sia-sia dan angan-angan. 

Dan apakah setan itu, sehingga dia mesti ditakuti? Jika dia dipatuhi, dia tidak mendatangkan keuntungan, Jika dia tidak dipatuhi, dia tidak mendatangkan kerugian.” Dia berkata begitu seolah-olah dunia dan setan itu tidak ada baginya.

Keluruhan perasaan-perasaan pribadi terlukis dalam cerita Abdullah ibn Mas’ud, yang berkata : “Aku sebelumnya tidak tahu bahwa ada di antara para sahabat Muhammad yang menghendaki dunia, hingga Tuhan berkata, Di antaramu ada yang menghendaki kesenangan dunia dan ada pula yang menginginkan kebahagiaan akhirat.”

Dia telah luruh meninggalkan segala hasrat untuk dunia ini. Dalam hal ini termasuk juga kata-kata Haritsah : “Aku brpaling dari dunia ini, dan seolah-olah aku melihat Singgasana Tuhan tampil.” Dia telah luruh meninggalkan yang sementara menuju yang kekal, dan dari semuanya yang lain menuju Yang Mahakuasa, Sama halnya dengan cerita Abdullah ibn Umar. Seserang menyalaminya pada waktu dia sedang mengelilingi Ka’bah , dan dia tidak menyahutsalam orang itu. Orang itu mengeluhkan hal itu pada beberapa temannya; dan Abdullah berkata : “Kami melihat Tuhan di temept itu.”

Sama halnya juga dengan kata-kata Amir ibn ‘Abd al-Qays “ Aku lebih suka ditembus pucuk lembing berkali-kali, daripada mengalami peristiwa seperti yang baru saja kamu sebutkan.” Uaitu, pada saat dia sedang beroda. Di ceritakan bahwa Al Hasan berkata : “Orang yang sama dengan dia, tidak dipilih Tuhan di antara kita.” Adalagi suatu keluruhan yang lebih jauh, yang berarti tidak sadar sama sekali akan hal-hal luaran sebagai yang terjadi pada Musa, ketika Tuhan menurunkan Wahyu di bukit : “Musa pun tersungkur pingsan.” Dan pada keadaan yang berikutnya, Dia yang membuatnya tidak sadar, tidak juga memberi ketenangan kepadanya mengenai hal itu.

Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Tanda keluruhan sang Sufi adalah keluruhannya dari hasratnya akan dunia ini dan dunia nanti, kecuali hasratnya akan Tuhan. Maka akan turun untuknya sebuah wahyu dari kekuatan Tuhan yang memperlihatkan kepadanya bahwa hasratnya akan Tuhan meninggalkannya demi penghormatannya kepada Tuhan; lalu turun untuknya sebuah wahyu dari Tuhan yang memperlihatkan kepadanya keluruhan hasratnya kepada penglihatan akan Tuhan; dan yang tinggal adalah penglihatan akan sesuatu yang menjadi milik Tuhan, Tuhan yang Esa dan Kekal hanya sendiri di dalam keesaanya; dan dengan Tuhan tidak ada kefanaan atau kebakaan untuk yang lain selain Tuhan.”

Kata-kata “Luruhnya dia meninggalkan hasratnya akan dunia ini” mengandung arti pencarian akan benda-benda material, dan “dunia nanti” berarti pencarian pahala. “Hasrat akan Tuhan”-nya baka, sebab itulah keridhaan Tuhan dengannya dan kedekatannya dengan-Nya. Lalu datang kepadanya penghormatan kepada Tuhan, bahwa Dia akan mendekat atau merasa senang dengan yang seperti dia, maka dia memandang rendah dirinya sendiri dan menghormati Tuhan.

Akhirnya datang kepadanya suatu keadaan yang di dalamnya hak Tuhan sepenuhnya menelan dirinya, dan membuatnya tidak sadar akan penglihatan akan sifatnya sendiri, yaitu penglihatan akan keluruhan hasartanya. Kemudian tinggal-lah dalam dirinya suatu yang datang dari Tuhan untuk dirinya; sedang apa yang datang dari dirinya untuk Tuhan , meninggalkan dirinya. Maka jadilah dia seperti ketika ada dalam pengetahuan Tuhan, sebelum Tuhan memunculkan dirinya dan ketika sesuatu yang datang kepadanya dari Tuhan, datang tanpa adanya tindakan dari dirinya.

Keluruhan bisa juga diungkapkan dengan cara yang lain; yakni menjauh dari sifat-sifat manusia dalam (menanggung) beban menakutkan sifat-sifat Tuhan, sehingga sifat-sifat manusai, yaitu kebodohan dan ketidak adilan, hilang, seperti firman Tuhan : “Lalu amanat itu diterima oleh manusia, Dengan demikian, manusia itu sangat zalim dan bodoh.” Sifat-sifat itu juga termasuk tiak tahu bersyukur, tidak kenal terimakasih dan setiap sifat yang patutu disalahkan; dan semua ini hilang, dalam arti bahwa pengetahuan Tuhan menang atas kebodohan manusia, keadilan Tuhan atas ketidakadilan manusia, teima kasih Tuhan atas kekufuran manusia, dan seterusnya,

Abul Qasim Faris berkata : “Keluruhan adalah keadaan seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya sendiri, tapi menyaksikannya sebagai disembunyikan oleh Dia yang membuat sifat itu lenyap,” Dia juga berkata : “Keluruhan sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak ada, tapi tafsikan baha sifat itu tertutup oleh suatu kesenangan yang menggantikan realisasi rasa sakit,”

Kesenangan ini, yang muncul pada diri Sufi dalam keadaan kejiwaannya, adalah seperti yang menimpa kerabat-kerabat wanita Yusuf; “Mereka mengiris jarao-jari mereka sendiri.” Sebab sifat-sifat mereka sendiri telah lenyap dikarenakan kesenangan yang memenuhi hati mereka ketika melihat Yusuf, dan Yusuf membuat mereka tidak sadar akan rasa sakit yang mereka derita dikarenakan jari-jari mereka yang teriris. Dalam masalah ini, salah seorang dari tokoh-tokoh senagkatan kami menulis syair berikut ini :

Kala wanita-wanita Mesir itu mengiris tangan mereka

Dikarenakan ketampanan rupa seseorang,

Mereka tahu mengenai pesona, yang menahan

Semua kejutan, dan tak merasa marah.

Pupuslah sudah sifat manusia mereka,

Kesenangan dan ketidaksenangan,

Hapuslah sudah semua kebiasaan

Mereka tidak mengacuhkan tapak tangan yang berdarah

Tapi dia, sang istri pangeran

Tiada mengiris tangannya, tak membiarkannya berdarah;

Sebab Yusuf adalah cinta dan kehidupannya,

Dan Yusuf tak ikut campur dalam perbuatan itu.

Syair berikut ini juga melukiskan keadaan keluruhan :

Maka kami mengingat ---- nama kealpaan

Bukanlah kebiasaan kami, tapi cahaya bersinar,

Udara gaib terhirup, dan Tuhan dekat.

Lalu hilang lenyaplah kedirian, dan aku

Ada sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar jelas

Bersaksi ata Dzat-Nya dan dengan itu di kenal

Beberapa tokoh Sufi menganggap keadaan-keadaan ini sebagai suatu keadaan tunggal, lepas dari kenyataan bahwa berbaga istilah diterapkan untuk keadaan-keadaan itu. Maka mereka menyetarakan keluruhan dengan keberkesinambungan, pemusatan dan pemisahan, dan begitu juga kehadiran dengan ketidakhadiran, kemabukan dengan kewarasan.

Sebab Sufi itu pergi meninggalkan apa yang menjadi milik Tuhan; sementara, sebaliknya, dia bukan bersama apa yang menjadi milik Tuhan, dan dengan demikian pergi meninggalkan apa yang menjadi miliknya. Ketika dia pergi, dia juga terpusat, dia juga terpisah, sebab dia tidak menyaksikan sendiri, Begitu pula kerabat-kerabatnya. Dia baka sebab Dia tinggal bersama Tuhan, Yang memusatkannya pada Diri-Nya sendiri; dia pergi meninggalkan sesuatu yang selain Tuhan, sebab dia terpisah dari sesuatu itu.

Dia tak hadir dan mabuk, sebab kemampuan membedakan itu – yang telah kami jelaskan dalam hubungannya dengan kesenangan dan kesakitan – hilang, dan dalam hal ini, segala sesuatu menjadi satu baginya. Dia tidak menyaksikan gejala ketidakselarasan, sebab Tuhan hanya memerintahkannya agar bertindak selaras dengan diri-Nya. Pembedaan hanya bisa terjadi dalam hubungannya dengan dua hal; dan kalau segala hal telah menjadi satu saja maka pembedaan itu habislah.

Kelompok yang lain menjelaskan keluruhan sebagai berikut : “Para Sufi itu dijauhkan  dari setiap jejak pribadi (rasm) dan dari semua jejak semacam itu tanpa dirinya (marsum), sehingga selama masa (waqt) gaibnya dia tinggal tanpa kebakaan sepanjang yang bisa dipahaminya, tanpa pergi meninggalkan sepanjang dia sadar, dan tanpa masa sepanjang dia memahami; tapi penciptanyalah yang tahu mengenai ketetapan tinggalnya dan kepergiannya, dan Dia menjaganya dari setiap tindakan yang patut di cela.

Mereka berselisih paham mengenai masalah apakah para Sufi yang telah luruh, akan pernah kembali lagi pada sifat-sifatnya. Sebagian mengatakan bahwa para Sufi itu pasti kembali dan bahwa keadaan keluruhan itu tidak tetap; sebab, jika tidak begitu, maka anggota-anggota tubuh pra Sufi itu akan kehilangan manfaatnya untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan, dan jelas tidak akan mampu melakukan sesuatu pun dalam hubungannya denga kehidupannya di dunia ini, begitu juga di dunia nanti.

Dalam hubungan ini, Abu’l Abbas ibn Atha telah menulis sebuah buku yang berjudul “Kembalinya dan Asal Mula Sifat-sifat. Tapi tokoh-tokoh besar Sufi, dan mereka yang memiliki pengalaman-pengalamana yang bernar, di antaranya al-Junaid, al-Kharraz dan An-Nuri, tidak beranggapan bahwa para Sufi itu tidak kembali kepada sifat-sifatnya sendiri setelah keluruhannya itu.

Mereka mendebat dengan mengatakan bahwa keluruhan itu merupakan suatu karunia dan pemberian Tuhan bagi Sufi itu, suatu tanda kesukaan khusus, bukan suatu kondisi yang dicari, itu merupakan suatu yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya dan ditunjuk-Nya sendiri. Oleh karena itu, jika Dia mengenbalikan Sufi itu pada sifatnya sendiri, Dia akan mengambil lagi apa yang telah diberikan-Nya, dan menjemput kembali apa yang telah diserahkan-Nya, dan ini tidak cocok dengan sifat Tuhan; atau jika hal itu dianggap sebagai akibat dari suatu perubahan pikiran, maka itu merupakan sifat oarng yang mencari pengetahuan lebih banyak, dan ini disangkal dalam hubungannya dengan Tuhan; atau jika ini ditafsirkan sebagai suatu tipuan atau kecohan, maka Tuhan tidak bisa dikatakan sebagai tukang tipu, dan Dia tidak pernah mengecoh orang-prang beriman, Dia hanya mengecoh orang-orang munafik dan orang-orang gkafir. Keluruhan bukan merupakan suatu keadaan yang bisa dicapai dengan kebaikan pribadi, dan bahwa kebalikannya harus juga dicari secara  demikian.

Jika disangkal bahwa Sufi itu nantinya akan berpaling dari iman, yang merupakan taraf tertinggi, sebab dengan itu semua keadaan telah dapat dicapai, inilah jawaban kami. Iman yang dirinya seseorang itu kebali adalah iman yang telah didapatkannya lewat pengakuan lidah dan perbuatan anggota-anggota tubuhnya; iman yang semacam itu tidak bercampur dalam hatinya yang sesungguhnya, baik sebagai suatu perwujudan yang langsung maupun suatu kepercayaan yang benar. Dia hanya mengakui tanpa mengetahui kebenran apa yang diakuinya; seperti yang dituturkan dalam hadits : “Malaikat (kematian) akan datang kepada seseorang ketika dia telah berada dalam kubur, dan akan bertanya : “Apakah yang kamu katakan mengenai orang ini? Dia akan menjawab : “Aku mendengar orang ini mengatakan sesuatu dan karena itu aku mengatakannya.”Orang yang semacam itu adalah seorang peragu, dan tidak memiliki kepastian. Atau, kalau tidak, maka dia mengakui dengan lidahnya, tapi mengingkari dengan diam-diam pengakuannya itu; maka orang munafik itu mengakui dengan lidahnya, sedang hatinya mengingkari pengakuannya itu, dan diam-diamm menentangnya.

Atau mungkin dia mengakui dengan lidahnya, dan tidak mengingkari pengakuan itu atau diam-diam menentangnya, di dalam hatinya, tapi apa yang diakuinya itu tidak ada kebenarannya, baik lewat pemikiran maupun lewat ilham; dia belum mendapatkan pembuktiannya lewat ilu  sehingga dia memiliki bukti-bukti kebernarnnya, dan dia belum merasakan di dalam hatinya suatu keadaan kejiwaa yang akan bisa menghilangkan keraguannya. Seperti apa pun masalahnya, kedukaan merupakan bagian yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk dirinya; keraguan timbul dalam dirinya, yang dikarenakan entah oleh pikirannya sendiri ataupun oleh pendebatan-pendebatan orang lain; dia tergoda, dan berpaling dari iman kepada kebalikannya.

Sedangkan mengenai orang yang yang diberi bagian yang lebih baik dari Tuhan, tidak ada keraguan dalam dirinya, dan semua sangkalan meninggalkannya; sebagai akibat dari apa yang telah didapatkannya dari pengetahuan di dalam kitab dan Sunnah, dengan bukti-bukti yang masuk akal, yang menghapuskan pikiran-pikiran jelek serta serta menolak segala keraguan akibat pendebatan itu, sebab tidaklah mungkin sesuatu yang benar itu ditentang dengan bukti-bukti yang juga benar, dan dengan begitu maka tidak ada keraguan pada dirinya sama sekali. Juga, karena dia telah mendapatkan iman yang benar, dan Tuhan sendiri, lewat perlindungan-Nya, menolakkan bagi dirinya segala pikiran jelek dan dengan demikian juga menolakkan dari dirinya para pendebat yang mendatangkan keraguan-keraguan dengan karunia-Nya yang istimewa, sehingga dia tidak lagi harus menemui para pendebat itu, maka kebenaran imannya akan aman, meskipun dia mungkin tidak memiliki kemampuan membeberkan yang dibutuhkan untuk bedebat dengan pendebat itu, atau untuk menghalau pikirannya sendiri; atau kalau tidak, karena kebenaran dari pengakuannya telah ditegaskan dengan penglihatan atau ilham, sebagaimana halnya dengan Haritsah, yang mengatakan kepada kita bahwa dia benar-benar melihat apa yang dipercayainya; sehingga sesuatu yang (secara normal) tidak ada, menggantikan apa yang ada, sebab dia berkata bahwa dia berpaling dari dunia yang terlihat ini, dan yang tidak terlihat menjadi terlihat baginya, dan yang terlihat tak terlihat  maka Al-Darani berkata : “Mata hati mereka terbuka dan mata kepala mereka tertutup.”

Kalau pengakuan seseorang itu dibenarkan dengan jalan ini maka dia tak akan kembali dari akhirat ke dunia kini, atau meninggalkan sesuatu yang lebih baik untuk sesuatu yang lebih buruk. Ini semua merupakan sarana-sarana yang digunakan oleh Tuhan untuk melindungi, dan itu merupakan suatu bukti janji-Nya : “Tuhan memberi jawaban yang pasti kepada yang beriman, baik dalam kehidupan di dunia kini maupun di dunia nanti.” Oleh karena itu, ditegaskanlah bahwa orang yang sungguh-sungguh beriman itu tidak dapat digoyahkan dari imannya, sebab iman itu merupakan karunia, pemberian dan tana kesukaan yang istimewa dari Tuhan untuk dia; jauh sekali Tuhan dari perbuatan mengambil kembali apa yang telah Dia berikan, atau menjemput kembali apa yang telah Dia anugerahkan.

Nah, iman yang sesungguhnya itu, dan iman yang semata-mata merupakan formalitas saja, masing-masing memiliki ketrampilan yang sama, tapi sifat-sifat keduanya yang sebenarnya berbeda, sebaliknya keluruhan itu, dan semua keadaan istimewa lainnya, secara lahiriah tampak berbeda, tapi sifat-sifat yang sebenarnya sama. Keadaan-keadaan itu bukan merupakan akibat kebaikan pribadi, melainkan sebagai tanda keridhaan (Tuhan).

Oleh karena itu, tidak masuk akal-lah kalau orang mempertahankan pendapat bahwa Sufi itu, yang telah pergi, kembali lagi kepada sifat-sifatnya sendiri. Jika seseorang penganut pendapat ini, sedangka dia telah menegaskan bahwa Tuhan memilih dan menunjuk sendiri Sufi itu, dan sesudah itu mengembalikannya lagi pada keadaannya yang semula, maka berarti dia menyatakn bahwa Tuhan memilih apa yang sesungguhnya tidak

Dia pilih, dan menunjuk apa yang sesungguhnya tidak Dia tunjuk. Hal ini, jelas tidak masuk akal; sama tidak masuk akalnya kalau dikatakan bahwa hal itu mungkin saja, dengan maksud untuk meltih Sufi itu dan menjaganya dari godaan, sebab Tuhan tidak menjaga apa yang telah diberikan-Nya kepada hamba-Nya dengan maksud untuk mengambilnya lagi, atau mengembalikan orang itu dari keadaan yang lebih tinggi ke keadaan yang lebih rendah. Ini terlukais dalam kisah para nabi; sebab pendapat yang semacam itu, seperti yang sebelumnya, akan mengisyarakatkan bahwa mustahil bagi Tuhan menjaga para Nabi agar tidak terkena godaan, maka diturunkannya taraf para Nabi tersebut ke taraf para wali atau bahkan ke taraf yang lebih rendah lagi, dan itu tidakm masuk akal. Kebaikan Tuhan dalam menjaga para Nabi-nya dari berbuat dosa, dan menjaga orang-orang suci-Nya dari godaan, terlalu banyak untuk di hitung atau diingat-ingat, dan kekuasaan-Nya terlalu besar untuk dibatasi menjadi satu atau dua tindakan saja.

Jika suatu sangkalan, yang menyatakan bahwa kasus orang yang kepadanya telah dibawakan tanda-tanda Tuhan, “dan kemudian berpantang mempercayainya.” Dipakai menyangkal pendapat ini, maka sangkalan itu tidak sah.

Orang yang “berpantang mempercayainya” itu sama sekali tidak pernah merasakan keadaan kejiwaan atau mengalami keadaan itu, dan dia tidak pernah terpilih atau ditunjuk (oleh Tuhan); sebaliknya, dia dibawa pelan-pelan menuju kehancuran, sebab dia kena tipu dan kena kecoh. Secara lahiriah dia mendapatkan tanda-tanda orang terpilih, tapi dalam kenyataannya  dia adalah orang yang ditolak’ secara lahiriah dia terhiasi dengan kesibukan-kesibukan yang berharga dan rangkaian doa-doa suci, tapi hatinya buta dan kesadarannya terselubungi. Dia tidak pernah mengetahui nikmatna pilihan itu, atau merasakan senangnya iman, dan dia tidak pernah mengenal Tuhan dengan cara merasakan  ehadiran Dia (Syuhud); begitulah yang dimaksud oleh Tuhan ketika

Dia berfirman : “Dan dialah salah seorang dari yang terperdaya.” Demikian juga berfirman semnegani iblis : “Dan dia termasuk yang kafir.” AL-Junaid berkata : “Iblis tidak pernah bisa merenung kalau dia masih ingkar.”

Abu  Sulaiman berrkata : “Seseorang itu tidak akan kembali, kecuali dia yang dalam perjalanan; jika mereka telah tiba di tujuan, mereka tidak akan pernah kembali.”

Sufi yang telah luruh dijaga dalam melaksanakan tugas-tugasnya kepada Tuhan, sebagai yang dilukiskan dalam kisah berikut ini.

Seseorang berkata kepada Al-Junaid : “Abu’l Husain al-Nuri terlah berdiri selama beberapa hari di masjid Syunizi, tanpa makan, minum, atau tidur, dan setiap saat dia berkata. “Tuhan, Tuhan.” Dan dia bersembahyang pada waktu-waktu yang tepat.” Lalu seseorang yang berdiri di sampingnya berkata : “Dia waras.”

Al-Juanid berkata : “Tidak! Orang yang mengalami ekstase itu dijaga oleh Tuhan dalam ekstase mereka.”

Nah, jika Sufi yang telah luruh itu tidak kembali kepada sifata-sifat yag manapun, maka dia tidak akan kembali kepada sifat-sifatnya sendiri, melainkan ditempatkan dalam keadaan yang di sana dia tetap tinggal bersama siffat-sifat Tuhan. Orang yang luruh itu tidak hilang akal, atau gila; tidak pula sifat-sifat kemanusiaannya lenyap, sehingga dia akan menjadi malaikat atau hantu; dia hanya luruh dari perasaan-perasaannya sendiri, sebagai yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Orang yang luruh itu bisa jadi seperti salah satu dari dua jenis yang ada. Dia mungkin seperti orang yang tidak bisa dianggap sebagi seorang pemimpin atau teladan; keluruhannya bisa jadi berarti mangkir dari  sifat-sifatnya sendiri, sehingga dia tampak benar-benar gila dan hilang akal, sebab dia tidak bisa lagi membedakan apa yang bisa mendatangkan keuntungan baginya, dan tidak lagi mencari kesenangannya sendiri; dan juga karena dia dijaga hanya untuk melaksanakan tugas-tugasnya kepada Tuhan.

Di antara orang-orang yang semacam itu, banyak yang termasuk umat (Muhammad), yaitu Hilal  si orang Habsyi, budak Al-Mughirah ibn Syu’bah yang hidup pada masa Nabi, dan yang disebut-sebut oleh Nabi secara istimewa; Uwais al-Qarni, yang hidup pada masa Umar ibn al-Khattab, dan yang di sebut-sebut oleh Nabi (sebelumnya) di hadapan Umar dan Ali; dan banyak yang lain-lainnya lagi.

Sebaliknya, orang yang luruh itu bisa jadi seorang pemimpin yang patut diikuti; mengatur mereka yang mendekatkan diri kepadanya; orang semacam itu ditunjuk untuk mengatur dan memberi pelajaran bagi kerabat-kerabatnya. Dia dipindahkan ke dalam keadaan-keadaan, dan dia mengatur urusan-urusannya lewat sifat-sifat Tuhan, bukan oleh sifat-sifatnya sendiri, dengan cara-cara yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Seseorang bertanya kepada Al-Junaid : “Apakah firasat (firasah) itu?” Dia menjawab : “Firasat adalah hilangnya kecermatan.” Yang lain berkata : “Apakah orang yang memiliki firasat mendapatkan sifat itu pada saat hinggapnya kecermatan itu saja, atau dia memilikinya selamanya?

Dia menjawab : “Selamanya. Itu merupakan suatu pemberian (Tuhan) dan karenanya ada bersama dia terus menerus.” Dengan begitu Al-Junaid mengisyaratkan bahwa pemberian (Tuhan) itu ada terus menerus.

Jika seseorang mengikuti dengan sekssama kitab-kitab Sufi, dan mengerti acuan-acuannya, dia akan tahu bahwa doktrin mereka adalah seperti ayng kami tuturkan. Sesungguhnya, doktrin ini dan masalah-masalah serupa ini oleh orang-orang sufi tidak didokumentasikan atau dituliskan; tapi doktrin itu mereka kenal dari pemahaman mereka yang benar mengenai teka-teki doktrin itu dan dari tanggapan yang benar berkenaan dengan isyarat-isyarat doktrin itu. Tuhanlah yang paling tahu.

Tiada ulasan: