SYARAH SYEIKH AL BUTHI
Menurut Kalam Hikmah ke 32 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:
“Memperhatikan aib batin yang ada pada dirimu,
jauh lebih baik dari menginginkan hal ghaib yang terhalang darimu.”
Dalam hikmah ini Ibnu Athaillah ingin meluruskan persepsi salah yang
berkelindan di hati setiap penggiat dakwah, namun tidak disadari sebagai dosa.
Dan persepsi tersebut tidak lain merupakan jaring-jaring syetan menghalangi
misi suci untuk bisa sampai pada keharibaan Allah.
Perlu disadari, cara syetan mengelabui manusia yang jauh dari garis hidayah
berbeda dengan cara mengelabui orang yang paham agama. Mengelabui orang yang
sehari-hari sibuk berjuang amar ma’ruf dan nahi munkar berbeda lagi caranya
dengan mengelabui orang-orang awam.
Bagaimana syetan mengelabui para ustadz yang sibuk membimbing masyarakat
awam menemui hakikat hidup? Syetan membuat si ustadz merasa begitu dekat dengan
Allah, ketika ia mampu menampakkan sebagian karamah atau hal luar biasa yang
dimiliki. Bahkan ada yang merasa keajaiban dan karamah itu harus dimiliki juru
dakwah guna menarik perhatian masyarakat sebagai objek dakwah. Lebih parah lagi
jika hal luar biasa yang dimiliki menjadi tolak ukur tingginya derajat dan
dekat dengan Allah. Jaring syetan yang amat berbahaya. Sehingga banyak para dai
dalam ibadah, dzikir dan rutinitasnya tidak diniati mlaksanakan kewajiban
melainkan agar bisa wusul dan mendapat karamah.
Perlu disadari bahwa melaksanakan perintah Allah bukan melulu ditujukan
agar boleh ma’rifat, menjadi wali dan punya karamah.
Lebih penting dari itu adalah untuk menyucikan hati dari berbagai penyakit
seperti sombong dsb. Yang nyata-nyata membuat jauh dari Allah. Maka apa yang
diperintahkan pakar sufi sekaliber Imam Junaid al-Baghdadi, Imam Muhasibi, Imam
Qusyairi dll, untuk memperbanyak ibadah membaca doa pagi dan sore, dan
memperbanyak tilawah, harus dipahami pula sebagai warning agar tidak silau
dengan karamah yang dimiliki.
Jika kita sedang melakukan rutinitas ibadah, wirid atau semacamnya perlu
memahami sisi obat plus penyakitnya sekaligus. Bahwa dalam setiap ketaatan yang
dilakukan rentan menimbulkan penyakit hati seperti pamer, bangga diri dan
merasa paling benar sendiri. Nah, yang harus kita lakukan setiap kali melakukan
ibadah adalah meminta agar Allah senantiasa melindungi dari 'dosa batin' yang
menjangkit.
Inilah poin Hikmah ke 32 kali ini, selaras dengan QS. Al-A’la: 14-15,
as-Syams: 9-10, an-Nazi’at: 18-19, yang menyeru pada tazkiyah nafsi.
(
14 ) Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri
(dengan beriman),
(
15 ) dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.
(
9 ) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
(
10 ) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(
18 ) dan katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginan
bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)".
(
19 ) Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu
takut kepada-Nya?"
Tazkiyah nafsi atau penjernihan hati menjadi ajaran inti dari rangkaian
suluk yang dilakukan seseorang menuju keharibaan Maula Ta’ala. Terlalu naif
jika tazkiyah di sini dipersempit cakupan maknanya hanya pada kemamapuan
melihat hal gaib, memperoleh karamah dsb. Yang terpenting dari ibadah kita
adalah bagaimana sekiranya kita terbebas dari “dosa batin” yang kerap
menggerogoti amal tanpa kita sadar.
Bila seseorang terkagum kehebatan dirinya, iri pada nikmat temannya serta
dendam pada orang yang mengungguli popularitasnya berarti ia terhalang rahmat
dan kelembutan Allah, bahkan meski ia memiliki kekuatan supranatural sedemikan
rupa tak berarti itu karamah, bisa jadi hal itu istidariaj; suatu upaya Allah
untuk menguji hamba; mampukah ia menahan diri tidak tergoda fitnah kehebatan
dirinya?.
Maka hal mutlak yang mesti dimiliki oleh seorang dai adalah mempertebal
ma’rifat dan kedekatannya kepada Allah. Jika hal ini menjadi fokus seorang dai,
semakin ia merasa ibadahnya tidak sempurna dan menganggap dirinya bukan siapa-siapa.
Ia juga merasa bahwa keberkahan yang dicapai oleh murid atau masyarakat yang
didakwahinya adalah anugerah Allah semata, bukan usaha dirinya.
Ada hikmah yang perlu diketahui mengapa Allah tidak menjadikan selain rasul
memiliki ‘ismah (terjaga dari perbuatan dosa), meski seorang wali! Yaitu agar
selain rasul dapat menjaga adab sehingga ia tidak merasa bangga dan melihat
dirinya pantas mendapatkan keagungan sedemikian rupa. Semoga Allah tidak
menjadikan penghormatan dan praduga baik orang lain sebagai candu yang
memabukkan, sehingga kita lupa atas kelalaian diri.
Semoga nikmat Allah yang selalu menutupi kekurangan diri tidak menjadikan
kita lupa atas kekurangan itu dan kemudian tidak meminta ampunanNya. Dai
tangguh adalah mereka yang mampu mengobati penyakit hati sehingga dapat
menempuh jalan Allah. Meminimalisir hal-hal yang membuat resah.
Jika memang ini yang harus dilakukan juru dakwah, mengapa tidak semua orang
bisa melakukannya dan justru kans ke arah sana seperti telah tiada? Bahwa untuk
menjadi dai tangguh seseorang terlebih dulu harus menaruh curiga pada nafsu
yang menjerat serta mengkhawatirkan keadaannya.
Untuk bisa mnempuh langkah ini, perlu bagi seseorang melakukan dua hal.
Pertama, orang-orang saleh meski menempuh langkah suluk ia tak pernah lupa jati
dirinya sebagai manusia biasa yang masih terjerat cinta dunia. Kendati demikian
ia tetap fokus melakukan ibadah dan ketaatan dengan dipenuhi mahabbah, cinta
dan takut kepada Allah. Ia tahu bahwa ia sedang menghadapi bahaya di saat dihadapkan
pada nafsunya. Akan mudah baginya terjerumus pada jeratan nafsu seandainya
sekejap saja Allah melepas penjagaan dirinya.
Kedua, seseorang bila makin dekat dan makin makrifat pada Allah maka ia melihat
dengan seksama betapa agungnya hak-hak Allah di atas segalanya.
Maka mari kita lihat Sayyidina Umar, meski terjamin masuk surga, rasa takut
terjerat nafsu masih menggelayuti hatinya. Rayu saja orang lain selainku, telah
aku jatuhkan talak tiga padamu (wahai dunia). Sayyidina Ali juga sering
terdengar mengeluarkan»»
Sayyidina Ali, saudara sepupu Nabi dan tercatat salah satu kekasih pilihan
Nabi selalu berkata perihal dunia.. "Menjauhlah dariku, "Duhai
malangnya, perjalanan masih jauh namun bekal begitu sedikit." Demikianlah,
para sahabat sekalipun tak aman dari tipu daya dunia.
Akhiran, mari dalam setiap gerik kita jadikan upaya untuk lebih fokus
memperbaiki aib batin dari pada menanti karamah yang belum tentu ada.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan