Membaca satu kata anda tau.
Membaca satu kalimat anda bijak.
Membaca satu buku anda bersinar.
Karena ilmu adalah cahaya.
Allah berfirman :
“(Yaitu)
orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan
mengatakan (kepada mereka) “Salaamun’alaikum” masuklah kamu ke dalam surga itu
disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. An-Nahl :32).
Ayat tersebut memiliki maksud bahwa kebajikan jiwa mereka dengan
mencurahkan ruh mereka, sehingga mereka kembali kepada Tuhannya, dengan jiwa
kyang tidak berat.
Riwayat dari Anas r.a. yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya
seorang hamba akan berurusan dengan kesusahan maut dan sakaratul maut, dan
sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan salam (perpisahan) satu sama
lainya dengan kata-kata, “Alaikassalaam” engkau berpisah denganku, dan aku
berpisah denganmu, sampai (jumpa) di hari kiamat nanti.”
Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi saw. sedang
menjenguk seorang pemuda yang mendekati ajalnya. Nabi saw. bertanya :
“Bagaimana maut menemui Anda?” Pemuda itu menjawab : “Aku berharap kepada Allah
swt. dan aku takut akan dosa-dosaku.”
Rasulullah saw. bersabda, “(Harapan bertemu Allah dan rasa takut akan
dosa-dosa) tidak akan berkumpul di hati hamba, dalam tempat ini, kecuali Allah
swt, memberikan padanya apa yang diharapkannya, dan memberikan rasa tentram
dari apa yang ditakuti....”
Ketahuilah bahwa perilaku mereka saat menghadapi ajal (naza’)
berbeda-beda. Diantaranya ada yang terlimpahi rasa takut namun disertai rasa
hormat (haibah), adapula yang dilimpahi rasa harapan (raja’) dan di antara mereka ada yang dibuka oleh
Allah swt. sekertika itu akan hal-hal yang berkaitan dengan keharusan mereka
untuk tentram dan tenang serta keteguhan yang baik.
Ahmad al-Jurairy berkata : “Aku sedang di sisi al-Junyad ketika naza’nya.
Saat itu hari Jum’at dan kebetulan tahun baru. Junayd sedang membaca
Al-Qur’anu; Karim, hingga mengkhatamkannya. Pada saat itu aku berkata : “Hai
Abul Qasim!” lantas dia menjawab : “Siapa yang lebih layak (mengkhatamkan
Al-Qur’an menjelang ajal) daripada aku, dan inilah, lembaranku dibentangkan.”
Abu Muhammad Abdullah al-Ibrahim al-Harawy berkata : “Aku menghampiri
rumah asy-Syibly pada malam ketika ajalnya tiba. Sepanjang malam itu dia
mendendangkan syair berikut :
Setiap rumah, Engkau penghuninya
Tak butuh lagi pada lentera
Wajah-Mu yang diharapkan
Adalah hujjah kami
Di hari ketika berduyun-dduyun manusia
Dengan hujjah-hujjahnya.
Bisyr al-Hafi ditanya ketika maut hendak menjemputnya : “Tampaknya Anda
mencintai dunia, wahai Abu Nashr?” Maka al-Hafi menjawab : “Datang kepada Allah
Azza wa Jalla sungguh dahsyat.”
Dikisahkan, bila Sufyan at-Tsaury menjenguk sebagian murid-muridnya,
senantiasa berkata kepada mereka : “Bila kalian menemukan maut, belikan
untukku.” Ketika wafatnya akan tiba, beliau berkata : “Kami sungguh mengharapkannya,
tetapi, tiba-tiba maut itu sungguh dahsyat.”
Didkatakan : “Ketika al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib mendekati wafatnya,
beliau menangis. Maka ditanya : “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab
: “Aku bakal datang kepada Tuan Yang bernah kulihat.”
Ketika Bilal mendekati ajalnya, sang istri meratap : “Duhai betapa
sedihnya ....” maka Bilal menimpali : “Oh, betapa girangnya, esok kami menemui
para kekasih : Muhammad dan tentaranya.”
Dikatakan : “Abdullah ibnul ubarak membuka kedua bola matanya menjelang
wafat, dan tiba-tiba tertawa, sembari mengumandangkan ayat suci : “Untuk
kemenangan serpa ini hendaklah berusaha orang-orang yang beramal.” (Qs.
Ash-Shaffat : 61).
Dikatakan bahwa Abdullah ibnul Mubarak sedang dirundung duka, kemudian,
kemudian orang-orang menjenguknya saat menjelang kematiannya, sedangkan ia
tampak tertawa. Kemudian ia ditanya soal tertawanya itu : “Mengapa aku tidak
boleh tertawa?” Sedangkan perpisahan dengan yang paling kujauhi telah dekat,
sementara tiba lebih cepat pada Dzat Yang benar-benar kuharapkan begitu
mendekat?”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Aku hadir pada saat menjelang wafatnya Ahmad
bin Isa al-Kharraz. Ketika itu, pada detik-detik terakhir nafasnya ia
menguntaikan syair :
Ratapan rindu kalbu ‘arifin ketika
mengingta
Kenangan mereka di waktu munajat bagi rahasia
Ketika piala diputar di antara mereka para pengharap
Mereka terapung dari dunia, melayang
Bagai para pemabuk yang kepayang
Cita-citanya mengembara di kemah-kemah
Di sana para pecinta Allah bagai binntang-bintang cemerlang
Tubuh-tubuhnya mati di muka bumi karena cintanya
Sedangka arwahnya dalam tirai membubung tinggi
Tiada kemesraan pengantin mereka, kecuali Kedekatan Sang Kekasih
Sedang bencana dan keburukan
Tak pernah menyentuh.”
Dikatakan pada la-Junayd, bahwa Abu Sa’id al-Kharraz banyak ekstase di
saat menjelang mautnya. Al-Junayd menjawab : “Bukan hal yang menakjubkan, jika
ruhnya terbang menggapai kerinduan.”
Sebagian Sufi berkata, saat-saat dekat ajalnya : “Hai Ghulam! Cincanglah
ketiakku, dan pendamlah pipiku dalam debu ...! Selanjutnya mengatakan :
“Perjalanan telah dekat, dan susngguh bagiku tak terbebas dari dosa, tiada
keringanan yang bisa dilakukan, tiada kekuatan yang bisa menolong, Engkau hanya
untukku, Engkau hanya bagiku....? Kemudian si Sufi berteriak, lantas mati.
Tiba-tiba orang-orang di sekelilingnya mendengar suara : “Seorang hamba hidup
tena g di sisi Tuhannya, dan diterima oleh-Nya.”
Dikatakan kepada Dzun Nuun al-Moshry menjelang wafatnya : “Apa keinginan
Anda?” Jawabnya : “Aku ingin mengenal-Nya sebelum kematianku, walaupun
sejenak.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi menjelang ajalnya : “Ucapkan :
“Allah” Ia menjawab : “Sampai kalian semua menyuruhku begitu, sedangkan aku
sendiri terbakar dalam Allah swt.?”
Sebagian mereka berkata : “Suatu ketika aku sedang berada di tempat
Mumsyad ad-Dinawary, tiba-tiba ada seorang fakir datag seraya berucap :
“Assalamu’alaikum”. Mereka yang hadir menjawab salamnya. Si Fakir itu berkata :
“Apakah di sini ada tempat yag bersih, yang memungkinkan bisa ditempati oleh
manusia yang mati?” Mereka menunjukkan sebuah tempat dan sebuah mata air. Si
fakir itu lantas mendatangi tempat tersebut, mengambil air mudhu, shalat dan
... masya Allah Azza wa Jalla ---
mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh mereka, kemudian menjulurkan kakinya,
lalu mati.”
Suatu hari Abul Abbas Ahmad ad-Dinawary sedang berbicara dalam
majelisnya. Tiba-tiba seorang wanita berteriak, karena ekstase. Ahmad berkata
padanya : “Suatu kematian?” Lalu wanita itu berdiri, dan ketika sampai di pintu
rumah, wanita itu menoleh pada Ahmad sembari berkata : “Aku telah mati, dan aku
benar-benar menjadi mayit.”
Salah seorang Sufi mengisahkan : “Aku sedang berada di rumah Mumsyad
ad-Dinawary menjelang wafatnya, lalu dikatakan kepadanya : “Bagimana dengan
penyakit Anda?” Dia menjawab : “Lupakanlah dariku penyakit itu, bagaimana Anda
menemukan diriku?” Lalu dikatakan padanya : “Ucpakanlah Laa Ilaaha Illallaah”.
Kemudian ia palingkan wajahnya ke tembok, sambil mengucapkan : “Aku telah
musnah kesseluruhanku pada-Mu, inilah balasan bagi orang yang mencintai-Mu.”
Dikakatakan kepada Muhammad ad-Dubaily ketika menjelang wafatnya :
“Ucapkan, Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu dia menjawab : “Ucapan ini sudah kami
kenal, bahkan dengan ucapan tersebut kami fana’”
Kemudian beliau membacakan syair :
Engkau memakai pakaian linglung,
Ketika engkau terpesona dengan-Nya
Dia menolak dan tak rela
Tak sudi dirimu adalah hamba-Nya.
Dikatakan kepada asy-Syibly menjelang wafatnya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha
Illallaah.” Lalu asy-Syibly mendendangkan syair :
Berkatalah penguasa cintanya
Aku tak menerima yang lain
Bertanyalah dengan yang lain
Mengapa kematian ia berurusan?
Ahmad bin Atha’ berkata : “Aku mendengar salah seorang fakir berkata :
“Ketika Yahya al-Ashtakhry akan meninggal, kami duduk di sekitarnya, lantas
alah seorang di antara kami berkata : “Ucapkalah Asyhadu an-Laa Ilaaha
Illallaah.” Lantas beliau duduk lurus, kemudian meraih tangan salah ssatu dari
kami, dan berucap : Katakanlah, Asyhadu an-Laa Ilaaha Illaallaah.” Lalu meraih
tangan yang lain sampai syahadt tersebut merata pada semua hadirin. Barulah
kemudian beliau meninggal.”
Diriwayatkan dari Fatimah saudari Muhammad ar-Rudzbary : “Ketika
saudaraku (Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary) mendekati ajal, kepalanya ada di
pangkuanku, sedangkan kedua bola matanya terbuka, sembari berkata : “Inilah,
pintu-pintu langit terbuka, dan surga itu benar-benar telah dihiasi, dan inilah
orang yang berkata padaku : “Wahai Abu Ali, kami telah menghantarkanmu ke
tahapan yang tinggi, walaupun engkau belum sampai ke sana.” Lalu Abu Ali
membacakan syair :
Demi Hak-Mu, sungguh tak kupandang selain Diri-Mu.
Dengan mata cinta, sehingga aku melihat-Mu
Aku melihat-Mu, ketika hilang sejenak menjadi siksaan
Dan dengan pipi bertulip mawar merah petikan-Mu.
Salah satu Sufi berkata : “Aku melihat seorang fakir asing yang
membiarkan dirinya, sementara lalat mengerumuni wajahnya. Lalu aku duduk
mengibaskan lalt-lalat itu dari wajahnya, sampai kemudian matanya terbuka, dan
berkata : “Siapakah engkau? Sejak sekian tahun aku mencari waktu yang
menjernihkan diriku, dan selalu begitu, kecuali sekarang ini. Engkau datang,
menceburkan dirimu di dalamnya. Pergilah, semoga Allah swt. mengampunimu.”
Saya mendengar Abu Hatim as-Sijistany berkata : “Aku mendengar Abu Nashr
as-Sarraj berkata : “Penyebab wafatnya Abul Husain Ahmad an Nury adalah
dikarenakan mendengarkan sebuah syair ini :
Aku senantiasa menempati
Lembah dari cinta-Mu
Ketika sematam, lubuk jiwa menjadi lingling.”
Ahmad an-Nury mengalami ekstase dan linglung di tengah padang pasir. Lalu
jatuh di rimba belukar yang sudah ditebang, namun akar-akarnya masih menonjol,
tajam seperti pedang. Anehnya, an-Nury berjalan di atas akar-akar itu, kembali
pulang sampai esok hari. Darah mengalir dari kedua kakinya, kemudian ia
tersungkur seperti orang yang mabuk. Kedua telapan kakinya membengkak, dan
akhirnya meninggal dunia. Pada riwayat lain diceritakan, ketika beliau
menjelang wafat, dikatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah,” lalu
beliau menjawab : Bukankah pada ucapan itu aku kembali.”
Saya juga mendengar Ab Manshur al-Maghriby berkata : “Yusuf ibnu Husain
menjenguk Ibrahim al-Khawwas, setelah sekian lama Yusuf tak pernah
mengunjunginya. Ketika melihat Ibrahim, Yusuf bertanya kepadanya : “Apakah
engkau ingin sesuatu?” Ibrahim menjawab : “Benar, sepotong limpa panggang.”
Maksud ucapan Ibrahim tersebut, kemungkinan adalah : “Aku inginkan hati
yang lembut terhadap si fakir, dan limpa panggang yang menghangatkan orang
asing.”
Dikisahkan : “Sebab kematian Ahmad bin Atha’, yakni ketika ia memasuki
rumah seorang menteri, lantas sang menteri bicara dengan ucapan kasar. Lalu
Ibnu Atha’ berkata : “Tenanglah Anda ....!” Tiba-tiba sang menteri itu
memukulnya dengan sepatu dan mengenai kepalanya, hingga wafat pun
menjemputnya.”
Abu Bakr Muhammad ad-Duqqy berkata : “Kami sedang berada di tempat Abu
Bakr az-Zaqqaq pada pagi hari, lalu az-Zaqqaq berkata, “Tuhanku, berapa lama
lagi diriku Engkau tempatkan di sana?” Dan keesokan pagi, ia telah meninggal
dunia.”
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Rudzbary, yang mengisahkan : “Aku melihat di
padangpasir seorang pemuda. Ketika ia melihatku, ia berkata, “Adapun yang
mencukupinya, pesonanya padaku dengan cintanya, hingga membuatku menderita.”
Lalu aku melihatnya dalam keadan jiwa yang lembut, sembari kukatakan padanya :
“Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lanatas ia mendendangkan syair :
Wahai yang tiada bagiku jauh dari-Nya
Bila ia menyiksaku, memang itulah setimpalnya
Wahai yang meraih hatiku
Sepadan yang tiada batasnya.”
Dikatakan kepada al-Junayd : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas
Junayd menjawab : “Aku tak pernah melupakannya, dan selalu mengingatnya.” Dia
kemudian bersayir :
Yang selalu hadir dalam gairah di hatiku
Tak pernah kulupakan, maka selalu kuingat.
Dia-lah Tuanku dan Sandaranku
Bagianku dari-Nya lebih sempurna.
Ja’far bin Nashr bertanya pada Bakran ad-Dinawary – di mana dia sedang
melayani asy-Syibly – “Apa yang Anda lihat dari Asy-Syibly?” Ia menjawab :
“Asy-Syibly pernah berkata : “ “Aku punya dirham gelap, dan kau telah
menyedekahkannya beberapa ribu. Dalam hatiku tak ada rasa mengganjal yang lebih
besar dari dirham itu.” Lantas dia berkata : “Wudhukan aku untuk shalat.” Aku
pun mewudhukannya. Ketika itu aku lupa menyela-nyela air pada jenggotnya,
padahal aku menahankan air pada mulutnya, lantas beliau menahankan air itu pada
tanganku dan kemudian menyelakan pada jenggotnya, lantas beliau wafat.”
Mendengar kisha itu Ja’far menangis tersedu, dan berkata : “Apa yang kalian
katakan itu, tentang seorang lelaki yang tak pernah melewatkan adab dari
adab-adab syariat, hingga akhir hayatnya.”
Ali-al-Muzayyin berkata : “Saat sedang berada di Mekkah
al-Mukarramah --- semoga Alalh swt.
menjaganya --- Tiba-tiba aku merasa gelisah. Lantas aku ingin berangkat ke
Madinah al Munawarah. Ketika aku sampai ke Bi’ru Maimun, tiba-tiba seorang
pemuda terlempar. Aku mencoba menggugahnya, namun ia kelihatan naza’. Kukatakan
padanya : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah!.” Lantas kedua matanya terbuka, dan
kemudian menguntaikan syair :
Aku, bila mati, cintaku telah memenuhi hatiku
Sedang awal asmara telah mematikan kemuliaan.
Selanjutnya pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan, lantas mati. Aku
memandikan, mengafani dan menshalatinya. Ketika selesai memendamnya, aku tidak
berhasrat untuk meneruskan perjalanan. Aku pun kembali ke Mekkah --- Semoga
Allah swt. menjaganya.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi :”Apakah Anda mencintai maut?” Ia
menjawab : “Datang kepada orang yang diharapkan kebaikannya itu llebih baik
daripada menetap bersama orang yang tidak percaya keburukannya.”
Diriwayatkan dari al0Junayd, yang mengatakan : “Aku sedang berada di
tempat guruku, Ibnu Karainy, ketika beliausudah merelakan ddirinya. Lalu
kulihat langit, dan beliau berkata : “Jauh!” lalu kulihat bumi, beliau pun
berkata : “Jauh!” Yakni, Dia itu lebih dekat dibandign Anda memandang ke langit
maupun k bumi. Bahkan Dia ada sebelum langit dan bumi.”
Saya mendengar ssalah seorang sahabt kami berkata : “Abu Yazin berkata
menjelang wafatnya : “Aku tak pernah ingat pada-Mu kecuali ketika lupa, dan
Engkau tak pernah menggenggamku, kecuali saat jeda.”
Abu Ali Muhammad ar-Rudzbary berkata : “Aku memasuki negeri Mesir, dan
kulihat orang-orang berkumul, seraya berkata : “Kita sedang berada dalam
iringan jenazah seorang pemuda yang meninggal karena mendengar orang
menguntaikan syair :
Betapa besar dosa hamba
Yang ambisi sekali melihat-Mu.
Lalu pemuda itu menjerit dengan sekali teriakan, lantas mati.”
Dikisahkan : “Sekelompok orang menjenguk Mumsyad ad-Dinawary yang sedang
sakit. Mereka berkata padanya : “Apa yang dilakukan Allah swt. pada Anda?”
Ad-Dinawary menjawab : “Sejak tigapuluh tahun ini aku ditawari surga dan
seisinya, namun aku tak pernah menolehkan pandanganku.” Mereka bertanya di saat
dia sedang naza’ : “Bagaimana Anda menemukan hati Anda?” Dia menjawab : “Sejak
tigapuluh tahun, aku kehilangan hatiku.”
Sebab kematian Abul Husain bin Bannan, adalah ganjalan dalam hatinya yang
menyebabkan kebingungan arahnya. Orang-orang menjumpainya tersesat di daerah
kalangan Bani Israil, dalam keadaan tertimpa pasir. Kemudian ia membuka matanya
dan berkata : “Bermewah-wewahlah, sebab inilah kemewahan para kekasih.” Lalu
nyawanya keluar dari tubuhnya.
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury berkata : “Ketika aku sedang berada di
Mekkah al Mukarramah – semoga Allah swt. menjaganya – tiba-tiba datang seorang
fakir dengan membawa dinar. “Bila besok tiba, aku pun mati. Tolong butakan
kuburanku dari separo dinar ini, separo lainnya untuk persiapanku.” Aku berkata
dalam hati; anak muda ini tidak waras, dan dia sedang tertimpa kekuranagn.
Ketika esok hari tiba, ia datang kembali, masuk ke masjid dan tawaf. Kemudian
berlalu dan menjejak-jejakan kakinya pada tanah. “Itu dia, pura-pura mati.”
Kaaku. Aku pun menghampirinya dan menggerakkannya. Ternyata ia benar-benar
mati. Akhirnya sebagaimana pesannya, aku pun menguburkannya.”
Dikatakan : “Ketika keadaan Abu Utsman Sa’id al-Hiry mengalami perubahan,
anaknya, Abu Bakr merobek gamis. Lalu Abi Utsman membuka matanya, berkata :
“Hai anakku, menetang sunnah dalam bentuk lahiriah tergolong riya’dalam batin.”
Dikatakan : “Ketika Ahmad memasuki rumah al-Junayd, sedangkan Junayd
telah rela untuk mati, Ahmad menucapkan salam. Namun jawabannya terlambat,
walau akhirnya menjawab pula. Setelah itu al-Junayd berkata : “Maaf, aku sedang
dalam wiridku.” Setelah itu al-Junayd meninggal.”
Diriwayatkan oleh Abu Ali ar-Rudzbary : “Ada seorang fakir datang pada
kami, lalu mati. Aku pun menguburkannya, dan ketika wajahnya kubuka untuk
kuletakkan di atas tanah, agar Alalh swt. mengasihi dalam pengasingannya,
tiba-tiba kedua matanya terbuka, dan berucap : “Wahai Abu Ali, apakah engkau
menghinakan diriku di sisi Dzat Yang memanjakanku?” Aku berkata : “Saudaraku,
apakah ada kehidupan setelah mati?” Ia menjawab : “Bahkan aku ini hidup. Dan
orang yang mencintai Allah swt. selalu hidup. Esok nanti tiada yang
membahayakanmu, demi kebesaranku, wahai Rudzbary.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan Ali al-Ashbahany, yang berkata : “Apakah
kalian semua melihat diriku mati seperti orang-orang yang mati itu, ada sakit
dan ada pula orang-orang yang menjenguk. Ketika aku dipanggil “Wahai Ali” aku pun
menjawabnya.” Pada suatu hari Ali sedang berjalan, sembari menjawab panggilan
orang : “Labbaik.” Kemudian ia mati.
Abul Hassan Ali al-Muzayyin berkata : “Ketika Abu Ya’qub Ishaq
an-Nahrajury sakit menjelang wafatnya, di sat naza’nya aku mengatakan padanya :
“Ucapkan : “Laa Illaha Illallaah>”, lalu beliau tesenyum padaku sembari
berucap : “Yang kau maksud itu aku? Demi Keagungan Dat Yang tak pernah
merasakan kematian, tak ada antara diriku dengan-Nya, kecuali hijab keagungan.”
Lalu saat jadi padam (wafat).” Selanjutnya Ali al-Muzayyn memegangi jenggotnya
dan berkata : “Pembekam seperti diriku ini, menuntun syahadat para wali Allah
swt?” Al-Muzayyin merasa malu, dan ia selalu menangis bila ingat kisah ini.
Abul Husain al-Maliky berkata : “Aku berguru pada an-Nassaj beberpa
tahun. Delapan hari menjelang kewafatannya; beliau berbicara padaku : “Hari
Kamis tepat waktu maghrib aku akan mati. Aku akan dimakamkan hari Jum’at,
sebelum Shalat Jum’at. Kamu jangan lupa itu!” Ternyata wasiat itu kkulupakan,
hingga hari Jum’at. Tiba-tiba ada orang yang memberi kabar atas kewafatannya.
Aku bergegas keluar menghadiri jenazahnya. Kulihat serombongan manusia sedang
pulang, sambil berkata : “Beliau dimakamkan setelah shalat.” Namun aku tidak
bergeming dan aku pun haidr. Kutemani jenazah, ternyata telah dikeluarkan
sebelum waktu shalat sebagaimana diucapkannya padaku dulu. Aku bertanya pada
hadirin yang hadir saat wafatnya. Salah seorang di antara mereka berkata :
“Beliau pingsan, lalu sadar kembali. Kemudian menoleh ke arah rumah dan
berkata, : “Berhenti, semoga Allah memaafkanmu. Kamu adalah hamba yang
diperintah, dan aku pun hanya diperintah. Yang diperintahkan padamu, tidak
membuat kesenjangan bagimu, sedangkan yang diperintahkan padaku, membuat
senjang diriku. Lantas beliau meminta
air, untuk memperbarui wudhu, kemudian shalat. Setelah shalat, tubuhnya kejang
dan matanya terpejam (wafat).” Maka, setelah beliau wafat, Abul Husain bermimpi
bertemu dengan an-Nassaj : “Bagaimana keadaannya?” Tanya Abul Husain. “Jangan
kamu lupakan, tetapi, sebenarnya kau telah membersihkan duniamu yang kotor.”
Pengarang kitab Bahjatul Asrar, menuturkan, bahwa ketika Sahl bin
Abdullah meninggal, manusia berduyun-duyun mendatangi jenazahnya. Di daerah itu
ada sekelompok Yahudi, sekitar tujuh puluh orang. Salah seorang Yahudi itu
mendengar kegaduhan, lalu keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika melihat
jenazah, tiba-tiba ia berteriak : “Hai, apakah kalian semua melihat seperti apa
yang kulihat?” Mereka menjawab : “Tidak!” Apa yang Anda lihat?” Yahudi itu
berkata : “Aku melihat serombongan kaum yang turun dari langit, mereka saling
menyentuh dan mengusap jenazah itu.” Setelah kejadian itu, Yahudi tersebut
membaca syahadat, memeluk Islam, dan menjadi Muslim yang taat.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Aku sedang berada di Mekkah al-Mukarramah
semoga Allah swt. menjaganya. Suatu hari aku melewati pintu Bani Syaibah.
Kulihat seorang pemuda yang tampan dalam keadaan meninggal dunia. Kulihat
wajahnya, dia tersenyum dalam wajahku, dan berkata padaku, : “hai Abu Sa’id,
ketahuilah bahwa sesungguhnya para kekasih Allah itu hidup, walaupun mereka
mati. Mereka hanya dipindahkan dari satu rumah ke rumah lain.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Ada berita sampai padaku bahwa Dzun Nuun
al-Mishry, ketika sedang naza’ diminta untuk berwasiat. Beliau malah menjawab :
“Jangan ganggu aku. Aku ini sedang terpesona oleh keindahan-keindahan
kelembutan-Nya.”
Abu Utsman al- Hiry berkata : “Abu Hafs ditanya mengenai situasi
wafatnya, ‘Apa yang bisa engkau nasihatkan pada kami, mengenai kematian?”
Beliau menjawab : “Aku tak mampu untuk menjelaskan.” Kemudian tapak bahwa
dirinya terasa kuat untuk menerangkan, dan aku pun bertanya padanya :
“Katakanlah, sehingga aku bisa mengisahkan ini darimu.” Beliau menjawab :
“Patah semangat telah meletihkan hati dari sikap ceroboh.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan