Catatan Popular

Sabtu, 27 Jun 2015

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 16.AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEMANFAATAN



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Mereka mengakui bahwa Tuhan memperlakukan hamba-hamba-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, dan membuat ketetapan bagi mereka dengan cara yang dikehendaki-Nya, tidak soal apakah hal itu mendatangkan manfaat bagi mereka atau tidak; sebab ciptaan itu adalah ciptaan-Nya dan perintah  itu adalah perintah-Nya. – “Tuhan tidak akan ditanya tentang apa-apa yang diperbuat-Nya, malahan mereka jualah yang akan ditanyai.” Kalau bukan karena hal ini, maka tidak akan ada bedanya antara hamba dan Rabb. Tuhan berfirman : “Dan janganlah orang-orang kafir itu Allah hendak menyiksa mereka dalam kehidupan dunia ini, dan kelak nyawa mereka akan melayang dalam keadaan kafir,” dan lagi : “Merekalah orang-orang yang tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hatinya.” Doktrin  “Manfaat terbesar” itu mengisyaratkan bahwa kekuatan (Tuhan) terbatas dan bahwa kekayaan-Nya bukannya tak ada habisnya, dan bahwa Tuhan sendiri dalam hal itu tidak mampu; sebab jika Dia berurusan dengan orang-orang sampai pada “batas manfaat mereka” maka tidak ada lagi yang tersisa di luar “batas” itu, sehingga bahkan jika Tuhan ingin menambah “manfaat” mereka, Dia tidak akan mampu melakukannya, dan tidak memiliki alat sama sekali untuk menjamin mereka dengan “manfaat” berikutnya di luar yag telah diberikann-Nya untuk mereka sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari itu!

Mereka mengakui bahwa seluruh  urusan Tuhan dengan hamba-hamba-Nya – kebaikan, kesehatan, keamanan, iman, petunjuk, kecitaan, hanyalah merupakan suatu siskap merendahkan diri dari pihak-Nya; kalau pun Dia tidak bertindak demikian, hal itu tetap saja bida dilakukan-Nya dengan mudah. Hal ini sama sekali bukan merupakan kewajiban Tuhan; sebab jika Tuhan telah diwajibkan mengikuti cara bertindak semacam itu, maka Dia tidak lagi pantas dipuji dan disyukuri.
Mereka mengakui bahwa pahala dan hukuman bukanlah masalah kebaikan hati, melainkan kehendak, sifat pengasih dan keadilan Tuhan. Manusia tidak sepantasnya dihukum selamanya karena dosa-dosa yang telah tidak dilakukannya lagi, jika mereka tidak sepantasnya mendapat pahala selamanya dan tak terbatas karena jumlah tindakan-tindakan (baik) mereka yang terbatas.

Mereka mengaku bahwa jika Tuhan meu menghukum semua orang yang ada di surga dan di bumi, tetap saja Dia tidak bertindak secara tidak adil terhadap mereka, dan bahwa jika Tuhan akan membawa semua orang Kafir ke surga, hal itu pun bukan mustahil, sebab ciptaan itu adalah ciptaan-Nya, dan perintah itu adalah perintah-Nya. Tapi Dia telah menyatakan bahwa Dia akan memberi rahmat pada orang-orang yang beriman untuk selamanya, dan menghukum orang-orang kafir untuk selamanya pula, dan Dia benar dala setiap firman-Nya dan semua yang Dia nyatakan itu benar. Oleh sebab itu, Dia pasti berurusan dengan manusia dengan cara yang seperti itu, dan Dia tidak mungkin berlaku sebaliknya; sebab Tuhan itu tidak berdusta – sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari itu!.

Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak bertindak atas alasan apa pun, sebab jika tindakan-tindakan Tuhan itu ada alasannya, maka alasan itu ada alasannya, dan dengan begitu bersifat ad infinitum; dan itu salah. Tuhan berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang sudah terlebih dahulu mendapat taufik dari Kami, mereka dijauhkan dari neraka.” Dan lagi : “Dia telah memilihmu.” Dan   lagi : “Dan telah lebih dahulu ditetapkan oleh Tuhanmu, bahwa Aku akan memenuhi neraka jahanan dengan jin dan manusia (durhaka) semuanya.” Daln lagi : “Sesungguhnya telah Kami sediakan untuk penghuni neraka itu banyak jin dan manusia.” Tak satu pun dari firman Tuhan itu yang tidak adil atau salah; sebab, ketidak-adilan itu merupakan sesuatu yang terlarang, dan benar-benar terdiri dari tindakan yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya; sedangkan aniaya merupakan suatu penyelewengan dari jalan yang telah dibuat lurus dan dari teldan yang telah ditetapkan oleh Dia Yang Ada di atas dan Yang Menguasai manusia-manusia di bawah. Karena Tuhan tidak berada di bawah kekuasaan seorang pun, dan karena Dia tidak diperintah atau disesali oleh yang ada di atas-Nya, maka tidak mungkin Dia bertindak tidak adil atau aniaya dalam ketetapan=Nya. Tiada yang kotor dalam diri-Nya; sebab yang kotor adalah yang Dia buat kotor, dan yang indah adalah yang Dia buat indah. Seseorang berkata : “Yang kotor adalah yang dilarang-Nya, sedang yang indah adalah yang diperintahkan-Nya.”  

Muhammad ibn Musa berkata : “Hal-hal yang tampak indah adalah yang indah karena pengungkapan-Nya, sedangkan hal-hal yang tampak kotor adalah kotor karena selubung-Nya; keduanya merupakan sifat yang ada dalam pasca kekekalan dan yang telah ada dalam pra-kekekalan.” Hal ini berarti bahwa yang mengembalikan engkau dari benda-benda kepada Tuhan adalah indah, sedangkan yang mengembalikan engkau kepada benda-benda dan bukan kepada Tuhan adalah kotor; Jadi yang kotor dan yang Indah adalah benda-benda yang sifat-sifatnya telah ditetapkan oleh Tuhan dalam pra-kekekalan. Kalau tidak, hal itu bisa jadi berarti bahwa yang tampak indah itu dibukakan dari selubung larangan, sehingga tidak da lagi selubung antara manusia dengan yang indah itu; sedangkan yang kotor ada di balik selubung, yaitu larangan. Penafsiran yang kedua itu sesuai dengan sabda Muhammad saw : “Dan di atas gerbang-gerbang itu terdapat selubung-selubung yang terjuntai”, dikatakan bahwa gerbang yang terbuka itu adalah peraturan Tuhan yang tak dapat diganggu gugat (muharim), sedangkan selubung itu adalah batas-batas (larangan-larangan)Nya (hudud).

Tiada ulasan: