Catatan Popular

Sabtu, 27 Jun 2015

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 1 APA SEBABNYA ORANG-ORANG SUFI DINAMAKAN SUFI



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

APA SEBABNYA ORANG-ORANG SUFI DINAMAKAN SUFI 

Beberapa orang mengatakan : “Para sufi dikatakan demikian hanya karena kemurnian (shafa) hati dan kebersihan tindakan mereka (atsar).” Bisyr ibn al-Harits mengatakan “ Sufi adalah orang yang hatinya tulus (shafa) terhadap Tuhan.” Yang lain mengatakan : “ Sufi adalah orang yang tulus terhadap Tuhan dan mendapat rahmat tulus dari Tuhan.” Sebagian mereka telah mengatakan : “Mereka dinamakan sebagai para sufi karena berada pada baris pertama (shaff) di depan Tuhan, karena besarnya keinginan meraka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadap-Nya dan tingginya bagian-bagian rahasia dalam diri mereka di hadapan-Nya.” Yang lain telah mengatakan : “mereka dinamakan Sufi  karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di serambi masjid (shufffah), yang hidup pada masa Nabi saw.” Yang lain-lain lagi telah mengatakan : “Mereka dinamakan Sufi hanya karena kebiasaan mereka mengenakan baju bulu domba (shuf).”

Orang-orang yang menisbahkan orang-orang Sufi dengan orang-orang yang tinggal di serambi masjid dan dengan bulu domba, manampakkan aspek lahiriah keadaan meraka; sebab meraka adalah orang-orang yang telah meninggalkan dunia ini, pergi dari rumah-rumah mereka, dan dari sahabat-sahabat mereka. Mereka berkelana ke sluruh negeri, menganggap tabu hasrat-hasrat jasmani dan menelanjangi tubuh mereka; mereka mengambil benda-benda dunia hanya asal cukup untuk menutupi ketelanjangan mereka dan menghilangkan kelaparan. Karena kepergian mereka dari rumah, mereka dinamakan “orang-orang asing”. Karena banyaknya pengembaraan yang mereka lakukan, mereka dinamakan “Pengembara”; karena perjalanan mereka di padang-padang pasir dan pengungsian mereka di gua-gua pada waktu terdesak, orang-orang tertentu di negeri itu (diyar) menamai mereka Syikaftis, sebab kata syikaft dalam bahasa mereka berarti “Gua” atau gua besar.” Orang-orang syria menamai mereka : “Orang-orang yang lapar”, sebab mereka hanya makan asal cukup untuk mempertahankan kekuatan mereka pada waktu terdesak. Maka Nabi saw. mengatakan : “Cukuplah bagi putra-putra Adam biji-bijian yang bisa menjaga kekuatan mereka.” Sarri as Saqathi melukiskan mereka begini : Makanan mereka adalah makanan orang sakit, tidur mereka adalah tidur orang yang tenggelam, pembicaraan mereka adalah pembicaraan orang bodoh.” Karena mereka tidak memiliki apa-apa, maka mereka dinakamakan “Pengemis”. Salah seorang dari mereka ditanya “Siapakah Sufi itu?” Dia menyahut : “Orang yang tidak memiliki, tak pula dimiliki.” Dengan sahutan itu dimaksudkan bahwa dia bukan budak nafsu. Yang lain mengatakan : “Sufi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, atau kalau dia memiliki, dihabiskannya.” Dikarenakan baju dan cara mereka memakainya, maka mereka dinamai orang-orang Aufi; sebab, mereka tidak mengenekanakn pakaian yang lembut atau indah, demi menyenangkan jiwa; mereka berpakaian hanya untuk menyembunyikan ketelanjangan mereka, memuaskan diri mereka sendiri dengan kain dan bulu domba yang kasar.

Nah, semua ini merupakan kenyataan keadaan hidup oarng-orang yang tinggal di serambi masjid di masa Nabi saw. sebab mereka semua adalah orang-orang asing, melarat, terbuang, teusir dari tempat tinggal dan harta milik mereka. Abu Hurairah dan Fudhalan ibn ‘Ubadi melukiskan mereka sebagai berikut : “Mereka hampir mati kelaparan, sehingga orang-orang Badui menganggap mereka gila.” Pakaian mereka dari bulu domba, sehingga bila mereka berkeringat, bau mereka seperti bau domba kehujanan. Begitulah sesungguhnya mereka dilukiskan orang. Uyainah ibn Hisn berkata kepada Nabi saw. : “bau orang-orang ini menyusahkan saya.” Tidakkah itu menyusahkan Anda juga?”  Bulu domba addalah juga pakaian para Nabi dan Wali. Abu Musa al-Asy’ari menceritakan kisah berikut dari Nabi : “Di dekat karang di Rawha, tujuhpuluh orang Nabi bertelanjang kaki, berpakaian “aba” (baju dari kulit domba) kembali dari Rumah Lama (Ka’bah). Al-Hasan a-Bashri mengatakan : “Isa .s. biasa mengenakan kain, makan buah dari pepohonan dan melewatkan malam di mana saja beliau kebetulan berada.” Abu Musa al-Asy’ari mengatakan : “Nabi saw. biasa mengenakan bulu domba, mengendarai keledai dan menerima undangan orang-orang jelata (untuk makan bersama mereka).” Hasan al-Bashri mengatakan : “Saya mengenal tujuh puluh orang yang ikut bertempur di Badr, yang bajunya dari bulu domba.”
Nah, karena kelompok ini memiliki sifat-sifat yag sama dengan orang-orang yag tinggal di serambi masjid, seperti yang telah kami lukiskan dan berpakaian seperti mereka, maka mereka dinamakan “Shuffiyah-shuffiyah.”. Orang-orang yag menghubungkan mereka dengan serambi masjid dan “Barisan Pertama” menceritakan hati dan batin mereka sebagai berikut : “Sebab kalau orang-orang meninggalkan dunia ini dan kemudian menjauhi minuman keras dan menyisih darinya, Tuhan menyucikan (shaffa) hati nuraninya (sirr) dan menerangi hatinya.

Nabi saw. telah mengatakan : “Kalau cahaya merasuk hati, dia akan meluas dan membesar.”
Mereka berkata : “Dan apabila tandanya, wahau Rasul Allah?”
Beliau menjawab : “Mengelak dari kebohongan, beralih kepda kekekalan dan bersiap untuk mati sebelum kematian datang.”

Maka Nabi saw. mengatakan bahwa jika seseorang mengelak dari dunia ini, Tuhan akan menyinari hatinya.
Nabi saw. bertanya kepada Haritshah : “Apakah buktinya keimananmu?
Dia menjawab : “Saya telah menjauhkan jiwa saya dari dunia ini, saya selalu berpuasa di siang hari dan berjaga di malam hari, dan seolah-olah saya melihat singgasana Tuhan, dan para penghuni surga saling berkunjung-mengunjungi dan penghuni neraka saling membenci satu sama lain.” Dengan begitu dia memberi tahu kita bahwa kalau dia menjauhkan jiwanya dari dunia ini, maka Tuhan akan menyinari hatinya, sehingga apa yang (secara normal) tidak bisa dilihatnya muncul dalam pandangannya. Nabi juga berkata : “Jika aa orang yang ingin melihat seorang hamba yang hatinya telah disinari Tuhan, suruhlah dia melihat Haritsah.” Karena sifat-sifat tersebut, kelompok ini juga dinamai kelompok “Yang diterangi” (nuriyah). Pelukisan ini juga sesuai dengan orang-orang yang tinggal di serambi masjid; Tuhan Yang Maha Tinggi juga berfirman : “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (Qs. 9:109); (Hal ini berarti) bagian-bagian lahiriahnya bersih dari kekotoran-kekotoran, dan bagian batiniahnya besih dari pikiran-pikiran jahat. Tuhan Yang Maha Tinggi juga berfirman : “Manusia-manusia yang tidak disibukkan oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh kegiatan dagang, dari mengingat Allah” (Qs. 24:37). Lebih-lebih disebabkan oleh kemurnian kesadaran mereka, maka firasat (firasah) mereka pun selalu benar, Abu Umamah berkisah bahwa Nabi berkata : “Takutlah pada firasat orang yang beriman, sebab dia melihat  dengan cahaya Tuhan.” Abu Bakr ash-Shiddiq berkata : “Dibisikan dalam kalbuku bahwa anak dalam perut ini adalah putri Kharijah.” Dan memang begitulah nyatanya.
Nabi berkata : “Kebenaran keluar dari lidah Umar.” Uways al-Qarani berkata pada Harim bin Haiyan, ketika Harim meneyalaminya, “Dan damai bagimu, wahai Harim putra Haiyan!.” Padahal dia tidak pernah melihatnya sebelumnya. Lalu dia berkata : “Jiwaku mengenal jiwamu.” Abu Abdillah al-Anthaki berkata : “ Jika kamu berhunungan dengan orang-orang yang ikhlas, behubungan dengan ikhlas, sebab mereka adalah mata-mata yang memata-matai hati, yang merasuk ke dalam kesadaranmu dan timbul hasrat-hasratmu yang di dalam.” Maka, jika keadaan seseorang seperti yang dilukiskan tadi --- jika kesadaran murni, hatinya bersih, dadanya disinari – sudah tentu dia berada di baris pertama; sebab semuanya ini merupakan sifat-sifat para pemimpin. Nabi berkata : “Akan masuk surga tujuh puluh ribu ummatku tanpa harus menjalani perhitungan (hisab).” Lalu beliau meneruskan dan melukiskan sifat-sifat mereka : “Orang yang tidak mengamalkan sihir atau mendekati sihir, yang tidak mencap atau dicap melainkan menaruh kepercayaannya kepada Tuhan mereka.” Lebih jauh lagi, karena kemurnian kesadaran dan luasnya dada mereka serta kecemerlangan hati mereka, maka mereka memiliki ma’rifat yang sempurna dari Tuhan, dan tidak memiliki penolong lain untuk menyelesaikan perkara-perkara (asbab) mereka (kecuali Tuhan); Mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, percaya kepada-Nya, puas dengan ketapan-Nya. Semua sifat ini , didpersatukan dalam nama-nama dan sebutan-sebutan yang diberikan kepada orang-orang ini, ungkapan-ungkapan itu tepat dan semua asal kata itu mendekati kebenaran. Meskipun kata-kata ini  tampaknya beragam, namun makna dibaliknya sama saja. 

Jika istilah Shufi berasal dari kata shafa (kemurnian) atau shafwah (pilihan), maka bentuknya yang benar akan menjadi shafafiyah; sementara jika istilah itu mengacu pada shaff (baris) atau shuffah ( serambi masjid), maka jadinya shaffiyah atau shuffiyah. Tentu saja ada kemungkinan (pada asal kata pertama) bahwa suku kata waw telah dipindahkan ke depan fa sehingga menjadi shufiyah; atau (jika asal kata yang ke dua diterima) bahwa istilah itu hanya merupakan  pleonasme yang marasuk ke dalam kata itu karena biasa digunakan. Tapi jika asal kata dari shuf (bulu domba) diterima, maka kata itu tepat dan ungkapannya bagus dari segi tata bahasa, dan sekaligus memiliki semua makna (yang dibutuhkan) seperti mengelak dari dunia ini, cenderung menjauhkan jiwa darinya, meninggalkan segala pemukiman yang telah mapan, terus menerus melakukan pengembaraan, menolak kesenangan-kesenangan jasmani, memurnikan tingkah laku, membersihkan kesadaran, meluaskan dada, dan sifat kepemimpinan. Bundar ibn al-Husain berkata : “Sufi adalah orang yang dipilih oleh Tuhan untuk diri-Nya sendiri, diberi kasih sayang tulus (shafa) dan dibebaskan dari yang bersifat jasmani, serta tidak diperkenankan berusaha melakukan segala yang meletihkan atas dalih apa pun. Maka dia dilindungi (shufi), sebagai perbandingan, orang bisa menyitir  ‘ufi (dia dijaga) kufi (dia diberi imbalan), yaitu bahwa Tuhan telah memberi imbalan kepadanya maka dia menerima balas jada; dan juzi (dia diberi pahala), yaitu bahwa Tuhan telah memberi pahala kepadanya maka dia menerima pahala. Yang telah dilakukan oleh Tuhan atas dirinya, mengejawantah dalam namanya, Meskipun Tuhan sama sekali tidak tergantung pada-Nya.” Abu Ali ar-Ruzhabari, ketika ditanya tentang Sufi menjawab : “Orang yang menutupkan bulu domba ata kemurnian(nya), menganggap nafsunya sebagai tiran, dan setelah menjauhi dunia, berjalan di jalan manusia terpilih. Sahl ibn Abdillah at-Tustari memberikan jawaban sebagai berikut, ketika ditanya padanya pertanyaan yang sama : “Orang yang bersih dari ketidak murnian dan selalu merenung; yang terputus hubungannya dengan manusai lain demi mendekati Tuhan, dan yang di matanya emas dan lumpur sama nilainya. Abu’L huasin an-Nuri, ketika ditanya apakah tasawuf itu, menjawab : “Meningalkan segala yang bersifat jasmani.” Al-Junaid menjawab pertanyaan yang sama : “Tasawuf berarti memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk-makhluk lain, meninggalkan sifat-sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil sifat-sifat ruh, mengikatkan diri pada ilmu-ilmu tentang hakikat, mengumpulkan segala sesuautu untuk masa yang kekal, menasehati seluruh umat, sungguh-sungguh berriman pada Tuhan dan mengikuti syariah Nabi.

Yusub ibn al- Husain berkata : “Dalam setiap umat ada kelompok terpilih, dan merekalah wakil Tuhan, disembunyikan oleh-Nya dari makhluk-Nya yang lain; orang semacam inilah yang dinamakan sufi.” Seseorang berkata pada Sahl ibn at-Tustari : “Di antara berbagai kelompok manusia ini, dengan siapa saya harus berhubungan?” Dia menjawab : “Tempatkan dirimu di antara para sufi, sebab tak ada yang mereka anggap tak dapat diterrima, tapi memberikan penafsiran ruhaniah (ta’wil) atas setiap tindakan, dan mereka akan memaafkan segala kekuranganmu, betapa pun keadaan (hal)mu.” Yusuf ibn al-Husain bercerita bahwa dia bertanya pada Dzun Nun : “Dengan siapa saya mesti berurusan?”Dia menjawab : “Dengan orang yang tidak memiliki apa-apa, dan tidak mencelamu betatapun keadaanmu; yang tidak berubah ketika kamu berubah, meskipun perubahan itu besar, sebab semakin kamu berubah, semakin kamu membutuhkan dia.” Dzun Nun juga berkata : “Aku melihat seorang wanita di salah sebuah pantai syria, dan aku berkata padanya : “dari mana asalmu (semoga Tuhan melimpahkan kasih-Nya padamu)?” Dia menyahut : “Dari orang-orang yang panggulnya jauh dari ranjang,” aku berkata : Dan ke mana tujuanmu?” dia menjawab : “Mencari manusia-manusia yang tiada dirintangi oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh kegiatan dagang dalam mengingat Allah.” (Qs. 24:37) 

Aku berkata : “Perikan mereka” 

Lalu dia pun mulai menyitir puisi :
Yang mereka tuju adalah bersatu dengan Tuhan;
Hasrat mereka melambung pada-Nya semata;
Kesetiaan mereka hanya teruntuk Tuhan;
Wahai pencarian mulia, demi Dia Yang Selamanya ada!
Mereka tiada ikut berebut kesenangan dunia.
Kemuliaan, anak-anak, kekayaan dan kemewahan,
Segala keserakahan dan selera tiada mereka hargai;
Hidup enak dan senang di kota-kota ;
Menghadap kaki langit nan jauh, lamat-lamat nun di sana;
Mereka cari Yah Tak Terbatas, dengan tekad nan kuat.
Mereka runut alur-alur padang pasir;
Dan puncak gunung tinggi berduyun-duyun mereka panjat!.

Tiada ulasan: