Syukur
ialah mengakui kebaikan terhadap apa yang terjadi atau
diterima seseorang. Syukur terdiri atas tiga perkara, yaitu ilmu, keadaan dan,
perbuatan.
Ilmu adalah mengetahui bahwa nikmat itu berasal dari Dzat
yang memberi nikmat, yakni Allah, keadaannya ialah kegembiraan yang muncul
setelah memperoleh nikmat, dan amalnya ialah melaksanakan apa yang dikehendaki
oleh Dzat pemberi nikmat.
Perbuatan ( amalan ) ini berkaitan dengan hati, anggota
tubuh, dan lisan. Kaitannya dengan hati ialah adanya kehendak ( niat ) untuk
melaksanakan kebaikan dan merahasiakannya dari seluruh makhluk. Kaitannya
dengan lisan ialah melahirkan rasa syukur dengan memanjatkan do’a, sedangkan
kaitannya dengan anggota tubuh ialah mempergunakan nikmat Allah tersebut untuk
melakukan ketaatan kepada-Nya, dan menjaga dari penggunaan kemaksiatan. Perlu
diingat, bahwa seseorang yang bersyukur kecuali bila ia mempergunakan
nikmat-Nya tersebut untuk perkara yang disukai-Nya, bukan perkara yang
dibenci-Nya. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’’ (QS.
Ibrahim: 7)
Syukur itu bukan saja dalam pengetahuan memperoleh nikmat
saja, tetapi juga dalam menerima musibah. Jika ditelusuri, dalam menerima
musibah terdapat lima perkara yang patut disyukuri, yaitu :
Setiap menerima
musibah hendaklah mengingat musibah yang lebih besar dan lebih hebat sebab
perkara yang ditakdirkan Allah itu tiada batas. Bayangkan jika anda menambah
penderitaan yang lebih hebat lagi dari penderitaan yang lebih hebat lagi dari
penderitaan tersebut.
Penderitaan itu
bukanlah menyangkut masalah agama yang akan sangat buruk akibatnya. Disebutkan
dalam hadis sebuah do’a,’’ Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah kami
menyangkut urusan agama kami.’’
Musibah itu
pada dasarnya telah ditetapkan Allah SWT. Dalam kitab disisi-Nya, yang pasti
akan sampai juga pada kita.
Tidak ada satu
musibah pun melahirkan melainkan dapat dimungkinkan penangguhannya hingga di
akhirat, maka akan lebih baik jika musibah itu ditimpakan di dunia.
Musibah itu
lebih besar daripada musibah itu sendiri, artinya musibah itu tidak akan memberi
manfaat di hari kemudian.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan