Catatan Popular

Sabtu, 27 Jun 2015

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 10.PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG SIFAT FIRMAN



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Mereka berselisih paham mengenai sifat firman Tuhan. Sebagian besar berpendapat bahwa firman Tuhan merupakan suatu sifat Tuhan yang abadi yang maujud dalam esendi-Nya, yang tidak sama dengan pembicaraan makhluk-makhluk; dan bahwa firman itu tidak mengandung sifat esensial (ma’iyah), seperti juga esensi-Nya tidak mengandung sifat esesial itu, kecuali hanya untuk menegaskan. Salah seorang dari mereka telah berkata : “Firman Tuhan terdiri atas perintah, larangan, keterangan, janji (harapan) dan ancaman. Tuhan itu selamanya memerintah, melarang, memberi keterangan, memberi harapan, mengancam, memuji dan menyalahkan. Oleh sebab itu, karena kamu telah diciptakan dan karena akalmu telah matang, bertindaklah menurut peraturan tersebut; sebab kamu akan disalahkan karena ketidakpatuhanmu dan diberi pahala karena kepatuhanmu (dan semua ini telah ditakdirkan) ketika kamu diciptakan. Sebab dengan cara yang sama kita diperintah dan dipanggil (oleh Tuhan) lewat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi, jauh sebelum kita diciptakan atau maujud.”
Sebagian besar mereka mengakui bahwa firman Tuhan tidak terdiri dari tulisan, suara atau ejaan, melainkan bahwa tulisan, suara dan ejaan tersebut merupakan tanda-tanda dari firman-Nya dan bahwa ketiganya memiliki alat-alat dan anggota-anggota sendiri; anak lidah, bibir dan lidah. Karena Tuhan tidak memiliki anggota dan tidak membutuhkan alat-alat, maka Firman-Nya tidak terdiri atas tulisan atau suara. Seoang tokoh Sufi berkata dalam makalahnya : “Siapa pun yang berbicara dengan menggunakan tulisan, berarti dia tunduk pada penyebab; sedangkan dia yang pembicaraannya tergantung  (pada sesuatu yang lain), tidak lepas dari kebutuhan.
Sebuah kelompok sufi berpendapat bahwa Firman Tuhan memang terdiri dari tulisan dan suara, dan mereka mempertahankan pendapat bahwa firman itu hanya bisa diketahui dengan cara tersebut, dan mereka menegaskan bahwa Firman itu merupakan suatu sifat Tuhan dan esensi-Nya sebagai yang tak diciptakan, Ini adalah pandangan Harits al-Muhasibi dan golongan Modern ibn. Salim.
Jadi, akar masalah ini adalah karena telah ditetapkan bahwa Tuhan itu pra kekal dan Dia tidak sama dalam hal apa pun dengan makhluk-makhluk, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat makhluk, maka dengan demikian Firman Tuhan itu tidak terdiri dari tulisan dan suara, sebagaimana pembicaraan makhluk-makhluk. Lebih-lebih Tuhan telah menegaskan bahwa hanya Dia-lah yang memiliki firman itu, ketika Dia berfirman : “Dan terhadap Musa, Allah bercakap-cakap secara langsung.” Dan juga : “Adapun perintah yang kami ucapkan bila Kami menghendaki sesuatu ialah : “KUN”! Maka jadilah ia.” Dan lagi : “Supaya dia sempat mendengarkan Firman Allah.” Oleh sebab itu Dia disipati dengan kekekalan; sebab jika Dia tidak selamanya disifati begitu, maka firman-Nya pasti akan sama saja dengan pembicaraan makhluk-makhluk yag dilahirkan dari waktu ke waktu dalam pra kekekalan Dia pasti telah diberi sifat kebalikannya, yaitu diam atau gagap; dan karena telah ditetapkannya, bahwa Dia tidak berubah dan esensi-Nya tidak mudah dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa, maka pastilah Dia tidak diam, lalu berfirman lagi. Karena telah ditetapkan bahwa Dia berfirman dan bahwa firman itu tidak diciptakan lambat laun, perlulah kita mengakui hal ini. Karena telah ditetapkan bahwa firman itu tidak terdiri dari tulisan dan suara, maka perlulah kita mempertahankan penegasan semacam ini.
Kata “Qur’an” dapat ditafsirkan dalam beberpa cara dari segi tata bahasa. Kata itu bisa dianggap sebagai kata benda verbal dari akar kata “membaca” seperti yang difirmankan Tuhan : Manakala Kami telah selesai membacakan, maka ikutilah bacaannya itu.” (S.Lxx,18). Kata itu juga bisa diterapkan pada huruf-huruf dari abjad yang ada dalam salinan-salinan Kitab Suci, seperti yang dikatakan Nabi : “Janganlah bepergian dengan membawa Al-Qur’an di negeri musuh.” Karena itu, Firman Tuhan dinamakan Qur’an – setiap Qur’an (bacaan) yang bukan Firman Tuhan itu diciptakan dan dimulai pembuatannya secara lambat laun, sedangkan Al-Qur’an yang merupakan Firman Tuhan tidak diciptakan, tidak pula dimulai pembuatannya seccara lambat laun. Meskipun demikian, kata “Qur’an” hanya bisa dipahami dalam konotasi umumya yang berarti Firman Tuhan, dan dalam hal itu ia tidak diciptakan.
Orang-orang yang menahan diri agar tidak mengungkapkan diri mereka sendiri dalam masalah ini, bertindak begitu disebabkan oleh salah ssatu dari dua alasan berikut. Mereka menahan diri karena mereka ingin memerikannya secara lambat laun – sebab memang mereka berpandangan bahwa firman itu tercipta, Atau, mereka menahan diri disebabkan oleh keberatan-keberatan keagamaan. Atau, mereka menahan diri karena terikat pada konsepsi bahwa firman itu merupakan sifat Tuhan dalam esensi-Nya. Satu-satunya sebab yang membuat mereka menahan diri agar tidak mengungkapkan dan mengucapkan istilah “penciptaan” (sebagai yang diterapkan di sini) adalah bahwa mereka terikat pada gagasan yang menganggap firman itu merupakan sifat Tuhan – sedangkan sifat-sifat Tuhanitu tidak tercipta --- dan dengan demikian mereka tidak akan dihukum karena menolak apa yang mestinya mereka terima. Karena itu, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan firman Tuhan, dan sesudah itu mereka bungkam, karena baik hadits maupun puisi-puisi yang disitir mengisyaratakan bahwa firman itu tidak dicipta; dan dipandang dari segi ini, mereka benar.

Tiada ulasan: