Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq
Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Mereka berselisih paham mengenai sifat firman Tuhan.
Sebagian besar berpendapat bahwa firman Tuhan merupakan suatu sifat Tuhan yang
abadi yang maujud dalam esendi-Nya, yang tidak sama dengan pembicaraan
makhluk-makhluk; dan bahwa firman itu tidak mengandung sifat esensial
(ma’iyah), seperti juga esensi-Nya tidak mengandung sifat esesial itu, kecuali
hanya untuk menegaskan. Salah seorang dari mereka telah berkata : “Firman Tuhan
terdiri atas perintah, larangan, keterangan, janji (harapan) dan ancaman. Tuhan
itu selamanya memerintah, melarang, memberi keterangan, memberi harapan,
mengancam, memuji dan menyalahkan. Oleh sebab itu, karena kamu telah diciptakan
dan karena akalmu telah matang, bertindaklah menurut peraturan tersebut; sebab
kamu akan disalahkan karena ketidakpatuhanmu dan diberi pahala karena
kepatuhanmu (dan semua ini telah ditakdirkan) ketika kamu diciptakan. Sebab
dengan cara yang sama kita diperintah dan dipanggil (oleh Tuhan) lewat
Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi, jauh sebelum kita diciptakan atau
maujud.”
Sebagian besar mereka mengakui bahwa firman Tuhan
tidak terdiri dari tulisan, suara atau ejaan, melainkan bahwa tulisan, suara
dan ejaan tersebut merupakan tanda-tanda dari firman-Nya dan bahwa ketiganya
memiliki alat-alat dan anggota-anggota sendiri; anak lidah, bibir dan lidah.
Karena Tuhan tidak memiliki anggota dan tidak membutuhkan alat-alat, maka
Firman-Nya tidak terdiri atas tulisan atau suara. Seoang tokoh Sufi berkata
dalam makalahnya : “Siapa pun yang berbicara dengan menggunakan tulisan,
berarti dia tunduk pada penyebab; sedangkan dia yang pembicaraannya tergantung (pada sesuatu yang lain), tidak lepas dari
kebutuhan.
Sebuah kelompok sufi berpendapat bahwa Firman Tuhan
memang terdiri dari tulisan dan suara, dan mereka mempertahankan pendapat bahwa
firman itu hanya bisa diketahui dengan cara tersebut, dan mereka menegaskan
bahwa Firman itu merupakan suatu sifat Tuhan dan esensi-Nya sebagai yang tak
diciptakan, Ini adalah pandangan Harits al-Muhasibi dan golongan Modern ibn.
Salim.
Jadi, akar masalah ini adalah karena telah
ditetapkan bahwa Tuhan itu pra kekal dan Dia tidak sama dalam hal apa pun
dengan makhluk-makhluk, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat
makhluk, maka dengan demikian Firman Tuhan itu tidak terdiri dari tulisan dan
suara, sebagaimana pembicaraan makhluk-makhluk. Lebih-lebih Tuhan telah
menegaskan bahwa hanya Dia-lah yang memiliki firman itu, ketika Dia berfirman :
“Dan terhadap Musa, Allah bercakap-cakap secara langsung.” Dan juga : “Adapun
perintah yang kami ucapkan bila Kami menghendaki sesuatu ialah : “KUN”! Maka
jadilah ia.” Dan lagi : “Supaya dia sempat mendengarkan Firman Allah.” Oleh
sebab itu Dia disipati dengan kekekalan; sebab jika Dia tidak selamanya
disifati begitu, maka firman-Nya pasti akan sama saja dengan pembicaraan
makhluk-makhluk yag dilahirkan dari waktu ke waktu dalam pra kekekalan Dia
pasti telah diberi sifat kebalikannya, yaitu diam atau gagap; dan karena telah
ditetapkannya, bahwa Dia tidak berubah dan esensi-Nya tidak mudah dipengaruhi
oleh peristiwa-peristiwa, maka pastilah Dia tidak diam, lalu berfirman lagi. Karena
telah ditetapkan bahwa Dia berfirman dan bahwa firman itu tidak diciptakan
lambat laun, perlulah kita mengakui hal ini. Karena telah ditetapkan bahwa
firman itu tidak terdiri dari tulisan dan suara, maka perlulah kita
mempertahankan penegasan semacam ini.
Kata “Qur’an” dapat ditafsirkan dalam beberpa cara
dari segi tata bahasa. Kata itu bisa dianggap sebagai kata benda verbal dari
akar kata “membaca” seperti yang difirmankan Tuhan : Manakala Kami telah
selesai membacakan, maka ikutilah bacaannya itu.” (S.Lxx,18). Kata itu juga
bisa diterapkan pada huruf-huruf dari abjad yang ada dalam salinan-salinan
Kitab Suci, seperti yang dikatakan Nabi : “Janganlah bepergian dengan membawa
Al-Qur’an di negeri musuh.” Karena itu, Firman Tuhan dinamakan Qur’an – setiap
Qur’an (bacaan) yang bukan Firman Tuhan itu diciptakan dan dimulai pembuatannya
secara lambat laun, sedangkan Al-Qur’an yang merupakan Firman Tuhan tidak
diciptakan, tidak pula dimulai pembuatannya seccara lambat laun. Meskipun
demikian, kata “Qur’an” hanya bisa dipahami dalam konotasi umumya yang berarti
Firman Tuhan, dan dalam hal itu ia tidak diciptakan.
Orang-orang yang menahan diri agar tidak
mengungkapkan diri mereka sendiri dalam masalah ini, bertindak begitu
disebabkan oleh salah ssatu dari dua alasan berikut. Mereka menahan diri karena
mereka ingin memerikannya secara lambat laun – sebab memang mereka berpandangan
bahwa firman itu tercipta, Atau, mereka menahan diri disebabkan oleh
keberatan-keberatan keagamaan. Atau, mereka menahan diri karena terikat pada
konsepsi bahwa firman itu merupakan sifat Tuhan dalam esensi-Nya. Satu-satunya
sebab yang membuat mereka menahan diri agar tidak mengungkapkan dan mengucapkan
istilah “penciptaan” (sebagai yang diterapkan di sini) adalah bahwa mereka
terikat pada gagasan yang menganggap firman itu merupakan sifat Tuhan –
sedangkan sifat-sifat Tuhanitu tidak tercipta --- dan dengan demikian mereka
tidak akan dihukum karena menolak apa yang mestinya mereka terima. Karena itu,
mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan firman Tuhan, dan sesudah itu
mereka bungkam, karena baik hadits maupun puisi-puisi yang disitir
mengisyaratakan bahwa firman itu tidak dicipta; dan dipandang dari segi ini,
mereka benar.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan