Dari sekian banyak akhlak terpuji berikut ini akan
disimpulkan beberapa akhlak:
Takut dan berharap
Takut kepada Allah artinya ungkapan hati terhadap sesuatu
yang tidak disukai yang terjadi di masa yang akan dating dan mengetahui
sebab-sebab yang akan menimbulkan sesuatu yang tidak disukai. Maksudnya bahwa
segala perbuatan manusia itu nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya,
kelak di mahkamah Ilahi, maka dengan pengetahuan itulah seseorang takut kepada
Allah SWT. Takut kepada-Nya bukan berarti menjauh, tetapi sebaliknya harus
berusaha mendekat kepada-Nya dan melaksanakan segala perintahnya serta menjauhi
segala larangan-Nya.
Allah berfirman:
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” ( Q.S. Fathir :28 )
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,
‘’Aku adalah orang yang paling takut di antara kamu semua terhadap Allah. (
H.R. Bukhari )
Adapun pengharapan untuk memperoleh rahmat Allah adalah
mengharapkan penuaian ( balasan ) yang diinginkan kelak di hari kiamat. Setiap
orang yang memiliki kejernihan hati tentu menyadari bahwa dunia ini adalah
tempat bertanam bagi penuaian kelak di akhirat.
Maka hendaklah harapan seseorang akan rahmat, karunia dan
ampunan Allah diserupakan dengan harapan seorang petani akan benih tanamannya.
Allah berfirman:
’Barang siapa
yang berbuat kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat ( balasan )
nya, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia
akan melihat ( balasan ) nya juga. “(Q.S. Al-Zalzalah : 7-8)
Seorang penyair Arab berkata yang artinya:
Engkau harapan keselamatan
Tanpa engkau penuhi persyaratan
Sungguh tak akan dapat meraihnya
Karena bahtera pun tak akan dapat berlayar di daratan
2.
Tobat dan Nadam
Tobat ialah kembali ke jalan kebenaran atas
dosa-dosa/perbuatan tercela yang telah dilaksanakan. Seorang yang bertobat
berarti ia menyadari bahwa perbuatan yang telah dilakukannya merugikan dirinya
sendiri dengan orang lain. Sedangkan nadam ialah menyesal terhadap perbuatan
yang tidak baik yang telah dilakukan, maka nadam dan tobat dilakukan setelah
ada penyesalan.
Orang yang telah berbuat dosa wajib bertobat sebagaimana
firman Allah:
” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur : 31)
Tobat berarti meninggalkan dosa. Jika tobat itu wajib
hukumnya,maka mengetahui dosa juga wajib hukumnya. Dosa adalah segala yang
menyalahi perintah Allah,baik menyangkut keharusan meninggalkan atau melakukan
suatu perkara.
Tobat yang baik yakni menyesali perbuatan dosa dalam
hati, memohon ampunan dengan lisan dan mengubah sikap dengan meninggalkan
perbuatan dosa dan mengganti dengan perbuatan baik.
Allah berfirman:
”Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.” ( Q.S.Hud : 114)
Agar tobat ini diterima Allah,maka dianjurkan untuk
bertobat dengan tobat nasuha,yakni bertobat dengan kemurnian mengharap ampunan
Allah dan bersih dari segala kotoran hati.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang
yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari
ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia;
sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil
mereka mengatakan: “Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan
ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang
bertobat,yaitu :
Menghentikan
perbuatan maksiat
Meneysali
dosa-dosa yang telah dilakukan
Bertekad untuk
tidak mengulanginya lagi
Jika berbuat
kesalahan kepada orang lain,maka harus minta maaf terlebih dahulu kepada yang
bersangkutan
Memperbanyak
amal kebaikan
Dalam Hujjatul Islam karya Imam Al-Ghajali disebutkan
bahwa tingkatan orang yang bertobat itu ada 4, yaitu :
a. Orang yang bertobat dengan yang sebenar-benarnya,yakni
dengan tobat nasuha yang memenuhi persyaratan di atas. Orang seperti ini
mempunyai jiwa yang tenang dan biasa disebut nafsul muthmainnah.
Allah berfirman yang artinya:”Hai jiwa yang tenang,kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai,maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku,dan masuklah ke
dalam surga-Ku.”
b. Orang yang bertobat dengan dosa-dosa besar,namun masih
sering melakukan dosa-dosa kecil,tetapi ia cepat menyadarinya dan kembali
kepada Allah. Untuk menghindarinya,maka ia selalu mawas diri dan menahan nafsu
yang senantiasa memperingtkan dirinya,dan ini di sebut “nafsu lawwamah.”
Allah berfirman:
“(Yaitu)
orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia
lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan
ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu
suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”(Q.S.An-Najm
:32 )
c. Orang yang bertobat tidak akan mengulanginya
lagi,tetapi ia tidak berdaya melawan hawa nafsu untuk berbuat dosa. Setiap ia
berbuat dosa,pada saat itu pula ia bertobat. Jiwa semacam ini disebut nafsu
masawwilah,yakni jiwa yang mudah menagguhkan tobatnya.
Allah berfirman:
”Dan (ada pula)
orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan
pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah
menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha
Penyayang.”(Q.S.At-Taubah : 102 )
d. Orang yang bertobat,tetapi setelah itu berbuat dosa
lagi dan tiada penyesalan dalam dirinya. Jiwa yang semacam ini senantiasa
diliputi jiwa yang menyuruh kepada keburukan,sehingga jiwanya disebut nafsu
amarah.
Allah berfirman:
“Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).
3.
Sabar
Sabar salah satu bentuk akhlak karimah kepada Allah
adalah sabar. Sabar adalah tahan ( tabah ) dalam menghadapi segala sesuatu dari
Allah. Sabar bukan berarti menyerah terhadap ketentuan Allah.
Sabar terbagi tiga macam yaitu :
a. Sabar karena taat kepada Allah, artinya sabar dalam
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan senantiasa
meningkatkan ketaqwaan kepada-Nya.
Allah SWT berfirman:
‘’Hai orang-orang
yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap
siaga dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.’’ ( Q.S. Ali Imran: 200
)
Menurut kaum shufi sabar mempunyai 3 keadaan yaitu :
1. Sabar sebelum taat, ialah niat yang ikhlas, tujuan
yang benar, merasa berkewajiban atas keyakinan Agama dalam menerima peraturan
berupa perintah atau larangan.
2. Sabar melaksanakan taat, ialah melaksanakan kewajiban
sampai selesai, berkala atau terus-menerus dengan penuh tanggung jawab dan
kesungguhan.
3. Sabar setelah taat ialah tidak merasa bangga dengan
selesainya pekerjaannya, tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang
lain, tidak ria untuk dikagumi hasil usahanya.4
b. Sabar karena maksiat, artinya bersabar diri untuk
tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Untuk itu, sangat dibutuhkan
kesabaran dan kekuatan dalam menahan hawa nafsu.
Allah SWT berfirman:
“Dan
aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Q.S.
Yusuf: 53)
Dalam menghadapi kesulitan apa pun juga, maka
satu-satunya kekuatan yang dapat bertahan ialah ‘’sabar’’. Demikian Allah telah
memberikan jaminan untuk bersama-sama orang yang sabar akan kemuliaan.
Sebagaimana firman Allah:
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah
kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.’’ ( Q.S. Al-Anfaal : 46 )
c. Sabar karena musibah, artinya sabar di kala ditimpa
kemalangan dan ujian, serta cobaan dari Allah sebagaimana firman Allah:
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.(yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. ‘’ (Q.S. Al-Baqarah:
155-156 )
Dari pengertian di atas dapat di ambil kesimpulan maka
sabar itu ialah tahan menderita dan menerima cobaan dengan rida hati serta
menyerahkan diri kepada Allah setelah berusaha. Selain itu, bukan hanya
bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi juga dalam hal ketaatan kepada
Allah, yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
4.
Syukur
Syukur ialah mengakui kebaikan terhadap apa yang terjadi
atau diterima seseorang. Syukur terdiri atas tiga perkara, yaitu ilmu, keadaan
dan, perbuatan.
Ilmu adalah mengetahui bahwa nikmat itu berasal dari Dzat
yang memberi nikmat, yakni Allah, keadaannya ialah kegembiraan yang muncul
setelah memperoleh nikmat, dan amalnya ialah melaksanakan apa yang dikehendaki
oleh Dzat pemberi nikmat.
Perbuatan ( amalan ) ini berkaitan dengan hati, anggota
tubuh, dan lisan. Kaitannya dengan hati ialah adanya kehendak ( niat ) untuk
melaksanakan kebaikan dan merahasiakannya dari seluruh makhluk. Kaitannya
dengan lisan ialah melahirkan rasa syukur dengan memanjatkan do’a, sedangkan
kaitannya dengan anggota tubuh ialah mempergunakan nikmat Allah tersebut untuk
melakukan ketaatan kepada-Nya, dan menjaga dari penggunaan kemaksiatan. Perlu
diingat, bahwa seseorang yang bersyukur kecuali bila ia mempergunakan
nikmat-Nya tersebut untuk perkara yang disukai-Nya, bukan perkara yang
dibenci-Nya.
Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’’ (QS.
Ibrahim: 7)
Syukur itu bukan saja dalam pengetahuan memperoleh nikmat
saja, tetapi juga dalam menerima musibah. Jika ditelusuri, dalam menerima
musibah terdapat lima perkara yang patut disyukuri, yaitu :
Setiap menerima
musibah hendaklah mengingat musibah yang lebih besar dan lebih hebat sebab
perkara yang ditakdirkan Allah itu tiada batas. Bayangkan jika anda menambah
penderitaan yang lebih hebat lagi dari penderitaan yang lebih hebat lagi dari
penderitaan tersebut.
Penderitaan itu
bukanlah menyangkut masalah agama yang akan sangat buruk akibatnya. Disebutkan
dalam hadis sebuah do’a,’’ Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah kami
menyangkut urusan agama kami.’’
Musibah itu
pada dasarnya telah ditetapkan Allah SWT. Dalam kitab disisi-Nya, yang pasti
akan sampai juga pada kita.
Tidak ada satu
musibah pun melahirkan melainkan dapat dimungkinkan penangguhannya hingga di
akhirat, maka akan lebih baik jika musibah itu ditimpakan di dunia.
Musibah itu
lebih besar daripada musibah itu sendiri, artinya musibah itu tidak akan
memberi manfaat di hari kemudian.5
5.
Tawadhu
Tawadhu adalah sikap merendahkan diri terhadap
ketentuan-ketentuan Allah SWT. Bagi manusia tidak ada alas an lagi untuk tidak
bertawadhu’ kepada Allah, mengingat kejdian manusia yang diciptakan dari bahan
(unsur) yang paling rendah, yakni tanah. Sebagaimana firmannya:
“Dia-lah yang
menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari
segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian
(kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian
(dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan
sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang
ditentukan dan supaya kamu memahami (nya).
(QS. Al-Mukmin:67)
Untuk menumbuhkan sikap tawadhu’, kita harus menyadari
asal kejadian kita, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami
ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pema’af, ikhlas,
bersyukur, sabar, dan sebagainya.
Sikap tawadhu’ juga hendaknya ditujukkan kepada sesame
manusia, yaitu dengan memelihara hubungan dan juga memberikan hak kepada setiap
orang. Sebagaimana firman-Nya:
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu
kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di
antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati
terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.
(Q.S. Al-Hijr : 88 )
6.
Ridha
Rida artinya bersyukur jika memperoleh nikmat dari Allah
dan sabar apabila menerima musibah. Sikap rida bukan berarti tidak berikhtiar,
melainkan mengembalikan keputusan atas usaha yang kita lakukan kepada Allah.
Keputusan Allah yang diberikan itulah yang harus diterima manusia dengan sikap
rida. Dalam sebuah hadis qudsi bahwa Allah Ta’ala berfirman, ‘’Barang siapa
tidak meridai qadha-Ku dan qadar-Ku, silakan ia mencari Tuhan selain Aku.’’ (
H.R. Thabrani )
Orang-orang yang telah memiliki sifat ‘’ridha’’itu, tidak
mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dialaminya, tidak merasa
menyesal dalam hidup kekurangan, tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang
telah didapat orang lain, karena mereka kuat berpegang kepada akidah-iman
kepada qadha dan qadhar yang semuanya itu dari Tuhan.6
7.
Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan segala persoalan kepada Allah
setelah berusaha. Apabila kita telah berusaha sekuat tenaga dan masih saja
mengalami kegagalan, maka hendaklah bersabar dan berdo’a kepada Allah agar Dia
membuka jalan keluarnya, kemudian mengembalikan segala persoalan kepada Allah.
Tawakal ini erat sekali hubungannya, dengan pemahaman
manusia atas takdir, ridha, ikhtiar, sabar, dan do’a. Keterkaitan itu hendaknya
benar-benar dipahami. Sebagaimana firman Allah:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya’’ ( Q.S. Ali-Imran : 159 )
Firman Allah:
“Dan
kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah
dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah
kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S.
Hud : 123)
8.
Ikhlas
Ikhlas artinya mengerjakan sesuatu dengan penuh kesadaran
karena Allah semata. Keikhlasan menentukan apakah pekerjaan yang kita lakukan
akan mendapat pahala atau tidak. Untuk mewujudkan sikap ikhlas, maka setidaknya
kita melakukan introspeksi diri terhadap semua perbuatan kita.
Sebagaimana firman Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari
apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir”. ( Q.S. Al-Baqarah : 264 )
Macam-macam
ikhlas yaitu sebagai berikut
1. Ikhlas kepada Allah SWT
Cara berikhlas kepada Allah yaitu :
a. Mentauhidkan atau menunggalkan atau tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
b. Mentaati atau mematuhi-Nya dalam arti yang
sebenar-benarnya.
c. Bermohon hanya kepada-Nya, seperti dalam surat
Fatihah,’’Iyyaka na’budu, wa iyyaaka nasta’iin.
2. Ikhlas kepada Kitab Allah SWT
Cara ikhlas terhadap Kitab Allah SWT yaitu :
a. Membacanya sebanyak-banyaknya, sehingga ia tidak jadi
hiasan atau topeng saja.
b. Memahami maksudnya, paling kurang pada garis besarnya.
c. Mengerjakan ajarannya, karena Qur’an ialah obat hati
yang duka dan menunjukkan jalan yang lurus menuju keselamatan dunia dan
akhirat, karena berisi tuntunan dunia dan akhirat.7
Adapun dalil-dalil naqli mengenai hal-hal itu antara lain
yang artinya ;
‘’Bacalah apa yang mudah bagimu dari Qur’an’’
3. Ikhlas terhadap para Rasul Allah SWT
Cara ikhlas terhadap Rasul Allah SWT yaitu :
a. Membenarkan dan mematuhi semua yang disampaikannya
dari Allah SWT, sehingga tidak seperti umat Yahudi dahulu kala.
b. Mengikuti jejaknya, sehingga tidak jadi bidah tentang
yang dilarangnya.
4. Ikhlas terhadap pemimpin umat islam
Cara ikhlas terhadap pemimpin umat islam yaitu :
Mematuhi
petunjuknya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya.
Tidak boleh
mengagung-agungkan pribadinya, tetapi mengenai ajaran Islam yang
disampaikannya, sehingga tidak dianggap manusia suci dan tidak pula kurang
menghormatinya.
Memberikan
bantuan, baik mengenai ekonomi dan lain, sehngga ia tidak jadi sapi perahan
saja, tanpa dicarikan rumputnya.
Menyiarkan
kebenaran yang sudah disampaikannya.
Menyerahkan
hal-hal yang mungkin memajukan umat Islam.
Ikut membangun
apa yang dibutuhkan oleh umat Islam, baik mengenai ekonomi, social dan
lain-lain dan bukan bertujuan mencari keberuntungan pribadi atau pengurusnya.
Mengajak mereka
kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, jika terlihat penyelewengan dan
bukan menghinakan atau mengejek mereka, karena umat Islam akan kehilangan
wibawa hatinya.
5.Contoh
Ikhlas Dalam Sejarah Islam
Pada masa Rasulullah SAW:
Memberikan
makanan yang akan dimakannya, karena ada orang miskin yang belum makan.
Menghabiskan
semua hartanya untuk kepentingan dakwah Islamiah, lebih-lebih oleh istrinya
yang bernama Khadijah.
Pada masa Usman bin Affan menyerahkan semua barang dagangannya
yang dibawa oleh kira-kira 400 ekor unta dengan membagi-bagikannya kepada
farkir miskin, sebab musim kelaparan, walau sudah ditawar dengan untung ganda.
Pada masa Umar bin Khattab mengangkat sendiri makanan
dari gudang, karena ada fakir yang ditemukannya ditemukannya dalam rondanya
malam hari, dimasakkan dan ditunggunya mereka selesai makan, pada hal ia jadi
Khalifah waktu itu dan ikut ronda dengan menyamar.
Hikmah berbuat Ikhlas yaitu :
1. Kejahatan berkurang.
2. Hidup bertolong-tolongan.
3. Hilang permusuhan
4. Banyak usaha baik yang terlaksana.
5. Bersatu kata, pendapat, dan tindakan ( kompak )
6. Mempertinggi mutu dan kekuatan
7. Semua rencana berjalan dengan baik
8. Dan lain-lain
Adapun dalil naqli menyuruh ikhlas yaitu :
Kerja yang dilakukan dengan diam-diam lebih baik dari
yang dilakukan terang-terangan dan kerja yang dilakukan dengan terang-terangan
lebih baik bagi siapa yang ingin diikuti ( ditiru orang )8
9.
Jujur ( al-Amanah )
Secara bahasa berarti titipan seseorang kepada orang
lain. ‘’Anak itu titipan Allah’’, adalah ungkapan yang menunjukkan manusia
adalah kepercayaan Allah sebagai pemelihara dan pendidik anak itu. Jadi, disini
manusia adalah kepercayaan Allah, karena Dia tidak akan menitipkan sesuatu yang
berharga kepada orang yang tidak dipercaya.
Dari sini amanat diartikan sebagai sikap mental yang
jujur, lurus hati dan terpercaya. Sikap mental ini sangat terpuji dan dihargai
oleh setiap orang. Lawannya adalah curang yaitu sebuah sikap mental yang
dibenci oleh setiap orang.
Setiap orang yang diberi amanah oleh orang lain wajib
melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya kepada sipemberi amanat. Sebagaimana
firman Allah yang artinya :
‘’Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan
amanat itu kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hokum di
antara mereka supaya kamu menetapkannya dengan cara yang adil.’’
Setiap orang yang memiliki sifat amanat memiliki sikap
keadilan. Jika orang amanah menyelesaikan persoalan yang terjadi di antara
masyarakat, ia akan berlaku adil. Penyelesaian persoalan yang adil adalah
penyelesaian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sikap mental amanah merupakan manifestasi dari keimanan.
Hal ini ditegaskan Rasul dalam sabdanya yang artinya :
‘’Tidak
sempurna iman orang yang tidak bersikap amanah’’.( HR. Dailamy )
Sikap amanah menjadi syarat mutlak untuk menjadi seorang
pemimpin, baik pemimpin formal maupun informal. Pemimpin yang memiliki amanah
adalah pemimpin yang adil, bijaksana, demokratis dan toleran. Suatu Negara akan
hancur bila dipimpin oleh orang yang curang atau khianat. Karena ia tidak
berbuat kecuali yang memberikannya keuntungan pribadi atau golongannya.
10.
Ramah ( al-Wiqar )
Arti ramah ialah baik budi dan hati. Peramah adalah sifat
seseorang yang baik budinya, halus hatinya, tutur bahasanya menarik, suka
bergaul dan disenangi dalam pergaulan. Ia sering disebut dengan orang yang
ramah hati, karena semua sikap dan perilakunya berawal dari hatinya.
Seorang yang peramah tidak mengenal perbedaan status
sosial masyarakat. Ia sering bergaul dengan siapa saja. Sebaliknya semua orang
senang bergaul, berteman dan bekerja sama dengannya. Orang yang ramah senang
disapa dan menyapa orang lain. Tutur bahasanya lembut dan tidak pernah
menyakiti hati orang lain. Sikap dan perilakunya menarik perhatian orang, dalam
arti positif. Ia bersifat rendah hati. Dalam pandangan Allah orang yang ramah
ini termasuk hamba-Nya yang mendapatkan kemuliaan, sebagaimana pada ayat yang
artinya sebagai berikut:
“Dan hamba-hamba
Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”( QS. Furqaan: 63 )
11.
Murah hati ( al-Sahy )
Yang di maksud denngan istilah ini adalah suka memberi
dan suka menolong orang yang kesulitan. Dan antonomnya adalah kikir atau
bakhil.
Hati yang pemurah ialah hati yang mudah merasa hibah atas
penderitaan orang lain, selalu memberi perhatian terhadap keadaan yang dialami
orang. Dengan hati pemurah seperti ini ia dengan senang dan tulus membantu dan
mengurangi kesusahan teman baik secara materil maupun moril. Rasulullah SAW.
Bersabda yang artinya :
“Sifat pemurah itu adalah sifat Allah, maka bersifat
pemurahlah supaya Allah pemurah kepadamu.” (HR. At-Thabrany).
Sifat ini sangat disenangi masyarakat, karena dengan
sifat itu mereka banyak tertolong dan orang yang memiliki sifat ini sering
disebut dengan dermawan. Seorang dermawan menyadari bahwa harta yang
dimilikinya adalah milik Allah yang dititipkan kepadanya. Maka setiap titipan
Allah harus dikembalikan kepada-Nya. Mengembalikan harta kepada Allah adalah
dengan memanfaatkannya kepada jalan yang diridhai-Nya seperti menolong orang
yang kesulitan dan lain-lain. Ia juga sadar bahwa harta yang ada ditangannya
adalah jatah orang yang kesusahan yang dititipkan melalui tangannya. Dan ia
harus menyampaikannyakepada orang itu. Rasulullah bersabda : “Hartamu tidak
akan berkurang karena sedekah. Harga dirimu tidak akan merendah karena pemaaf
dan derajatmu tidak luntur karena rendah hati” (HR. Muslim). Artinya kekayaan
yang ada ditangannya diberikan kepada orang miskin tidak berarti hak pemberi
ini berkurang, karena pada hakikatnya yang diberikan kepada orang miskin itu
adalah haknya sendiri yang dititipkan lewat tangan si pemberi itu.
Orang yang berhati murah kepada yang lain mendapatkan
rezeki yang lebih murah, karena Allah tetap bersamaorang yang membari perhatian
atas penderitaan yang lain.9
12.
Mengutamakan Yang Lebih Membutuhkan
Maksud istilah ini ialah sikap mengutamakan yang lebih
membutuhkan. Dalam realitas keseharian masyarakat, kepentingan pribadi dan
keluarga tidak jarang berlawanan dengan kepentingan masyarakat umum. Artinya
tuntutan kedua kepentingan ini sering diselesaikan dengan cara kekuasaan dan
kekerasan.
Agama mengajarkan agar kedua kepentingan yang berbeda itu
dipenuhi secara damai dan aman. Untuk itu setiap mukmin harus lebih
mengutamakan kepentingan yang lebih banyak dari kepentingan pribadi jika
kepentingan orang banyak itu lebih mendesak dan lebih besar kemaslahatannya.
Misalnya, seseorang memiliki mobil yang siap mengangkut keluarganya berekreasi.
Tetapi tetangganya membutuhkan mobil untuk mengangkut anaknya, yang sedang
sakit parah ke Rumah Sakit. Maka seseorang tadi harus rela membatalkan
keberangkatan keluarganya untuk membantu mengangkut anak tetangga ke Rumah
Sakit, karena ini lebih mendesak dari kegiatan rekreasi. Sebagaimana dalam Al-Qur’an:
“Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” ( Q.S. Al Hasyr:
9 )
Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda yang artinya :
Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda :
‘’Makanan untuk 2 orang cukup untuk 3 orang dan makanan untuk 3 orang cukup
dengan 4 orang’’. ( HR. Muttafaq’ alaih ).
Hadis ini mengingatkan agar seorang yang beriman tidak
ragu membantu orang yang kesulitan walaupun ia hanya memiliki sedikit harta,
karena memberi sedikit kepada orang tidak berarti mengurangi miliknya secara
kualitas dan kemanfaatannya.
13.
Mencukupkan Apa Yang Ada
Ketidakmampuan mencukupkan apa yang dimiliki merupakan
sikap kerakusan yang amat tercela. Sikap ini sering mendorongnya berbuat segala
cara dan lupa hak-hak orang lain demi mendapatkan apa yang diinginkannya.
Kemampuan menguasai gejolak nafsunya, merupakan yang terbaik dalam memelihara
kesehatan jiwa, seperti ditangkap dalam kandungan hadis Nabi berikut yang
artinya :
Dari Abu Hurairah yang diterimanya dari Rasulullah yang
berkata : ‘’Bukanlah kekayaan itu dari
segi harta, melainkan ketenangan jiwa’’.(HR. Muttafaq ‘alaih )
Diantara orang yang beruntung di dunia dan di akhirat
ialah orang yang mampu menguasai gejolak jiwa dan dengan kemampuan itu, ia
mampu hidup sederhana dan tidak kikir terhadap dirinya, seperti diregaskan
Allah dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian’’.
(Q.S. Al Furqaan: 67 )
14.
Pemaaf (al-‘afwu)
Adalah sikap mental yang senang dan membebaskan dan
membersihkan batinnya dari kesalahan orang lain dan tidak mau memberi sangsi
atas perbuatannya. Membebaskan kesalahan orang dari beban batin inilah yang
disebut memaafkan. Dalam arti tidak ada rasa dendam, marah, di dalam jiwa.
Dengan demikian antara dia dengan pelaku kesalahan tidak ada persoalan yang
menganggu hubungan mereka.
Sikap mental ini sangat mulia. Oleh karena itu Allah
sering menghimbau agar setiap mukmin memberi maaf bukan meminta maaf. Artinya,
memberi maaf lebih mulia dari meminta maaf, sebagaimana hal ini disuruh Allah
dalam firman-Nya:
“Berilah maaf,
perintahkanlah berbuat baik dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil. (QS.
7:15)10.
Rasul telah memberi contoh kepada umatnya tentang sikap
pemaafnya.dengan sikap itu kemuliaan dan ketinggian derajat Rasulullah semakin
bertambah. Derajat dan harga diri tidak akan berkurang karena tidak membalas
kejahatan orang lain atau dengan memaafkannya.
15.
Lemah Lembut ( al-Hilm )
Lemah lembut adalah sifat jiwa yang halus, bersih dan
tulus. Antonimnya ialah keras dan kasar hati. Kelemah-lembutan hati seseorang
dapat tercermin dari raut muka, ucapan dan perbuatannya. Jiwa yang lembut
menampilkan wajah yang terang dan senyum yang ramah, ucapan yang santun, dan
pakaian rapi lagi bersih. Dalam perbuatan, sikap itu tercermin dari ketekunan
dan kehati-hatian menyelesaikan kegiatan.
Allah sangat menyukai sikap ini seperti yang
disampaikan-Nya pada ayat :
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu11. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
D.
Cara Membentuk Akhlak yang Baik
Akhlak yang baik bersumber pada kekuatan nurani, akal
yang moderat dan proporsional, hikmah yang sempurna, emosi (ghadhab) dan ambisi
(syahwah) yang seimbang dan terkendali sepenuhnya oleh akal dan syariat.
Keseimbangan dan keserasian seperti ini dapat dicapai
melalui dua cara:
Cara yang pertama, melalui anugerah Ilahi dan
kesempurnaan fitri. Yaitu ketika seorang manusia dicipta dan dilahirkan dalam
keadaan nurani yang mengarah pada kebaaikan, memiliki akal yang sempurna dan
perangai yang baik, dengan kekuatan ambisi (syahwah) dan emosi (ghadhab) yang
terkendali, sedang, seimbang dan proporsional, serta bersesuaian dengan akal
dan syariat.
Cara yang kedua, ialah dengan memperoleh
perangai-perangai ini melalui perjuangan melawan nafsu (mujahadah) dan
latihan-latihan ruhani (riyadhah). Yakni dengan memaksakan-atas diri
seseorang-perbuatan-perbuatan tertentu yang merupakan buah dari suatu jenis
perangai yang ingin dimiliki.
Sebagai contoh seseorang yang menginginkan melekatnya
sifat sabar pada dirinya. Untuk itu, ia harus memaksakan dirinya agar melakukan
hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang sabar. Yaitu mengendalikan emosinya.
Maka ia terus-menerus menuntut dirinya agar melakukan hal tersebut dan
menjadikannya sebagai kebiasaan, untuk waktu yang cukup lama. Sementara itu, ia
harus berupaya kecenderungan dirinya sendiri, demikian sehingga pada akhirnya
perbuatan tersebut menjadi tabiat baru baginya dan ia melakukannya dengan hati
dan perasaan ringan. Baru setelah itu, ia dapat disebut sebagai seorang yang
sabar.
Semua bagian akhlak yang terpuji menurut syariat, dapat
diraih dengan cara seperti itu. Tujuannya agar perbuatan yang timbul darinya
terasa nikmat. Seorang yang benar-benar sabar akan merasakan kenikmatan ketika
ia mampu mengendalikan diri dan emosinya.
Demikian itulah akhlak yang dipujikan oleh agama tidak
akan tertanam kuat didalam jiwa, selama jiwa itu sendiri belum terbiasa dengan
perilaku dan kebiasaan yang baik, dan selama ia belum meninggalkan perbuatan
buruk.
Adapun tujuan utama dari akhlak yang baik adalah
terhentinya kecintaan kepada dunia semata dalam hati seseorang, dan sebagai
gantinya makin mantap pula kecintaannya kepada Allah SWT. Maka tak sesuatu pun
yang lebih diinginkannya daripada perjumpaan dengan-Nya. Dan selanjutnya, ia
takkan menggunakan hartanya kecuali dengan apa yang diutuskan oleh Allah SWT.
Demikian pula seluruh kekuatan emosi (ghadhab) dan ambisi (syahwah)-nya, kini
menjadi tunduk patuh kepadanya, sehingga takkan digunakannya kecuali dalam
hal-hal yang akan menyampaikannya pula kepada Allah SWT. Yaitu dengan
senantiasa menimbang kedua kekuatan tersebut dengan timbangan syariat dan akal.
Pada akhirnya, semua itu pasti akan dirasakannya sebagai kesenangan dan
kenikmatan baginya.
Setelah kita telah mengetahui berbagai perangai dan
akhlak yang baik dapat diperoleh dengan latihan ruhani (riyadhah). Walau pun
pada awalnya memaksakan diri melakukan hal-hal yang muncul dari akhlak yang
baik, agar pada akhirnya menjadi tabiat yang baik pula12. Demikianlah betapa sempurnanya
Islam dalam mengatur pasal-pasal guna keselamatan dan kemaslahatan manusia
dunia dan akhirat.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan