Catatan Popular

Isnin, 29 Jun 2015

AKHLAK-AKHLAK TERPUJI DALAM TASAWWUF



Dari sekian banyak akhlak terpuji berikut ini akan disimpulkan beberapa akhlak:

Takut dan berharap
Takut kepada Allah artinya ungkapan hati terhadap sesuatu yang tidak disukai yang terjadi di masa yang akan dating dan mengetahui sebab-sebab yang akan menimbulkan sesuatu yang tidak disukai. Maksudnya bahwa segala perbuatan manusia itu nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya, kelak di mahkamah Ilahi, maka dengan pengetahuan itulah seseorang takut kepada Allah SWT. Takut kepada-Nya bukan berarti menjauh, tetapi sebaliknya harus berusaha mendekat kepada-Nya dan melaksanakan segala perintahnya serta menjauhi segala larangan-Nya.
Allah berfirman:
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” ( Q.S. Fathir :28 )
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, ‘’Aku adalah orang yang paling takut di antara kamu semua terhadap Allah. ( H.R. Bukhari )
Adapun pengharapan untuk memperoleh rahmat Allah adalah mengharapkan penuaian ( balasan ) yang diinginkan kelak di hari kiamat. Setiap orang yang memiliki kejernihan hati tentu menyadari bahwa dunia ini adalah tempat bertanam bagi penuaian kelak di akhirat.
Maka hendaklah harapan seseorang akan rahmat, karunia dan ampunan Allah diserupakan dengan harapan seorang petani akan benih tanamannya.
Allah berfirman:
 ’Barang siapa yang berbuat kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat ( balasan ) nya, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat ( balasan ) nya juga. “(Q.S. Al-Zalzalah : 7-8)

Seorang penyair Arab berkata yang artinya:
Engkau harapan keselamatan
Tanpa engkau penuhi persyaratan
Sungguh tak akan dapat meraihnya
Karena bahtera pun tak akan dapat berlayar di daratan

2. Tobat dan Nadam
Tobat ialah kembali ke jalan kebenaran atas dosa-dosa/perbuatan tercela yang telah dilaksanakan. Seorang yang bertobat berarti ia menyadari bahwa perbuatan yang telah dilakukannya merugikan dirinya sendiri dengan orang lain. Sedangkan nadam ialah menyesal terhadap perbuatan yang tidak baik yang telah dilakukan, maka nadam dan tobat dilakukan setelah ada penyesalan.
Orang yang telah berbuat dosa wajib bertobat sebagaimana firman Allah:
” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur : 31)
Tobat berarti meninggalkan dosa. Jika tobat itu wajib hukumnya,maka mengetahui dosa juga wajib hukumnya. Dosa adalah segala yang menyalahi perintah Allah,baik menyangkut keharusan meninggalkan atau melakukan suatu perkara.
Tobat yang baik yakni menyesali perbuatan dosa dalam hati, memohon ampunan dengan lisan dan mengubah sikap dengan meninggalkan perbuatan dosa dan mengganti dengan perbuatan baik.
Allah berfirman:
”Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” ( Q.S.Hud : 114)
Agar tobat ini diterima Allah,maka dianjurkan untuk bertobat dengan tobat nasuha,yakni bertobat dengan kemurnian mengharap ampunan Allah dan bersih dari segala kotoran hati.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang bertobat,yaitu :
    Menghentikan perbuatan maksiat
    Meneysali dosa-dosa yang telah dilakukan
    Bertekad untuk tidak mengulanginya lagi
    Jika berbuat kesalahan kepada orang lain,maka harus minta maaf terlebih dahulu kepada yang bersangkutan
    Memperbanyak amal kebaikan
Dalam Hujjatul Islam karya Imam Al-Ghajali disebutkan bahwa tingkatan orang yang bertobat itu ada 4, yaitu :
a. Orang yang bertobat dengan yang sebenar-benarnya,yakni dengan tobat nasuha yang memenuhi persyaratan di atas. Orang seperti ini mempunyai jiwa yang tenang dan biasa disebut nafsul muthmainnah.
Allah berfirman yang artinya:”Hai jiwa yang tenang,kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai,maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku,dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
b. Orang yang bertobat dengan dosa-dosa besar,namun masih sering melakukan dosa-dosa kecil,tetapi ia cepat menyadarinya dan kembali kepada Allah. Untuk menghindarinya,maka ia selalu mawas diri dan menahan nafsu yang senantiasa memperingtkan dirinya,dan ini di sebut “nafsu lawwamah.”
Allah berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”(Q.S.An-Najm :32 )
c. Orang yang bertobat tidak akan mengulanginya lagi,tetapi ia tidak berdaya melawan hawa nafsu untuk berbuat dosa. Setiap ia berbuat dosa,pada saat itu pula ia bertobat. Jiwa semacam ini disebut nafsu masawwilah,yakni jiwa yang mudah menagguhkan tobatnya.
Allah berfirman:
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.”(Q.S.At-Taubah : 102 )
d. Orang yang bertobat,tetapi setelah itu berbuat dosa lagi dan tiada penyesalan dalam dirinya. Jiwa yang semacam ini senantiasa diliputi jiwa yang menyuruh kepada keburukan,sehingga jiwanya disebut nafsu amarah.

Allah berfirman:
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).

3. Sabar
Sabar salah satu bentuk akhlak karimah kepada Allah adalah sabar. Sabar adalah tahan ( tabah ) dalam menghadapi segala sesuatu dari Allah. Sabar bukan berarti menyerah terhadap ketentuan Allah.
Sabar terbagi tiga macam yaitu :
a. Sabar karena taat kepada Allah, artinya sabar dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan senantiasa meningkatkan ketaqwaan kepada-Nya.
Allah SWT berfirman:
’Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.’’ ( Q.S. Ali Imran: 200 )
Menurut kaum shufi sabar mempunyai 3 keadaan yaitu :
1. Sabar sebelum taat, ialah niat yang ikhlas, tujuan yang benar, merasa berkewajiban atas keyakinan Agama dalam menerima peraturan berupa perintah atau larangan.
2. Sabar melaksanakan taat, ialah melaksanakan kewajiban sampai selesai, berkala atau terus-menerus dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan.
3. Sabar setelah taat ialah tidak merasa bangga dengan selesainya pekerjaannya, tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang lain, tidak ria untuk dikagumi hasil usahanya.4
b. Sabar karena maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Untuk itu, sangat dibutuhkan kesabaran dan kekuatan dalam menahan hawa nafsu.
Allah SWT berfirman:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Q.S. Yusuf: 53)
Dalam menghadapi kesulitan apa pun juga, maka satu-satunya kekuatan yang dapat bertahan ialah ‘’sabar’’. Demikian Allah telah memberikan jaminan untuk bersama-sama orang yang sabar akan kemuliaan. Sebagaimana firman Allah:
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.’’ ( Q.S. Al-Anfaal : 46 )
c. Sabar karena musibah, artinya sabar di kala ditimpa kemalangan dan ujian, serta cobaan dari Allah sebagaimana firman Allah:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. ‘’ (Q.S. Al-Baqarah: 155-156 )
Dari pengertian di atas dapat di ambil kesimpulan maka sabar itu ialah tahan menderita dan menerima cobaan dengan rida hati serta menyerahkan diri kepada Allah setelah berusaha. Selain itu, bukan hanya bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi juga dalam hal ketaatan kepada Allah, yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

4. Syukur
Syukur ialah mengakui kebaikan terhadap apa yang terjadi atau diterima seseorang. Syukur terdiri atas tiga perkara, yaitu ilmu, keadaan dan, perbuatan.
Ilmu adalah mengetahui bahwa nikmat itu berasal dari Dzat yang memberi nikmat, yakni Allah, keadaannya ialah kegembiraan yang muncul setelah memperoleh nikmat, dan amalnya ialah melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Dzat pemberi nikmat.
Perbuatan ( amalan ) ini berkaitan dengan hati, anggota tubuh, dan lisan. Kaitannya dengan hati ialah adanya kehendak ( niat ) untuk melaksanakan kebaikan dan merahasiakannya dari seluruh makhluk. Kaitannya dengan lisan ialah melahirkan rasa syukur dengan memanjatkan do’a, sedangkan kaitannya dengan anggota tubuh ialah mempergunakan nikmat Allah tersebut untuk melakukan ketaatan kepada-Nya, dan menjaga dari penggunaan kemaksiatan. Perlu diingat, bahwa seseorang yang bersyukur kecuali bila ia mempergunakan nikmat-Nya tersebut untuk perkara yang disukai-Nya, bukan perkara yang dibenci-Nya.
Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’’ (QS. Ibrahim: 7)
Syukur itu bukan saja dalam pengetahuan memperoleh nikmat saja, tetapi juga dalam menerima musibah. Jika ditelusuri, dalam menerima musibah terdapat lima perkara yang patut disyukuri, yaitu :
    Setiap menerima musibah hendaklah mengingat musibah yang lebih besar dan lebih hebat sebab perkara yang ditakdirkan Allah itu tiada batas. Bayangkan jika anda menambah penderitaan yang lebih hebat lagi dari penderitaan yang lebih hebat lagi dari penderitaan tersebut.
    Penderitaan itu bukanlah menyangkut masalah agama yang akan sangat buruk akibatnya. Disebutkan dalam hadis sebuah do’a,’’ Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah kami menyangkut urusan agama kami.’’
    Musibah itu pada dasarnya telah ditetapkan Allah SWT. Dalam kitab disisi-Nya, yang pasti akan sampai juga pada kita.
    Tidak ada satu musibah pun melahirkan melainkan dapat dimungkinkan penangguhannya hingga di akhirat, maka akan lebih baik jika musibah itu ditimpakan di dunia.
    Musibah itu lebih besar daripada musibah itu sendiri, artinya musibah itu tidak akan memberi manfaat di hari kemudian.5

5. Tawadhu
Tawadhu adalah sikap merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT. Bagi manusia tidak ada alas an lagi untuk tidak bertawadhu’ kepada Allah, mengingat kejdian manusia yang diciptakan dari bahan (unsur) yang paling rendah, yakni tanah. Sebagaimana firmannya:
Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya).
(QS. Al-Mukmin:67)
Untuk menumbuhkan sikap tawadhu’, kita harus menyadari asal kejadian kita, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pema’af, ikhlas, bersyukur, sabar, dan sebagainya.
Sikap tawadhu’ juga hendaknya ditujukkan kepada sesame manusia, yaitu dengan memelihara hubungan dan juga memberikan hak kepada setiap orang. Sebagaimana firman-Nya:
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-Hijr : 88 )

6. Ridha
Rida artinya bersyukur jika memperoleh nikmat dari Allah dan sabar apabila menerima musibah. Sikap rida bukan berarti tidak berikhtiar, melainkan mengembalikan keputusan atas usaha yang kita lakukan kepada Allah. Keputusan Allah yang diberikan itulah yang harus diterima manusia dengan sikap rida. Dalam sebuah hadis qudsi bahwa Allah Ta’ala berfirman, ‘’Barang siapa tidak meridai qadha-Ku dan qadar-Ku, silakan ia mencari Tuhan selain Aku.’’ ( H.R. Thabrani )
Orang-orang yang telah memiliki sifat ‘’ridha’’itu, tidak mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dialaminya, tidak merasa menyesal dalam hidup kekurangan, tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang telah didapat orang lain, karena mereka kuat berpegang kepada akidah-iman kepada qadha dan qadhar yang semuanya itu dari Tuhan.6

7. Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan segala persoalan kepada Allah setelah berusaha. Apabila kita telah berusaha sekuat tenaga dan masih saja mengalami kegagalan, maka hendaklah bersabar dan berdo’a kepada Allah agar Dia membuka jalan keluarnya, kemudian mengembalikan segala persoalan kepada Allah.
Tawakal ini erat sekali hubungannya, dengan pemahaman manusia atas takdir, ridha, ikhtiar, sabar, dan do’a. Keterkaitan itu hendaknya benar-benar dipahami. Sebagaimana firman Allah:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya’’ ( Q.S. Ali-Imran : 159 )
Firman Allah:
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S. Hud : 123)
8. Ikhlas
Ikhlas artinya mengerjakan sesuatu dengan penuh kesadaran karena Allah semata. Keikhlasan menentukan apakah pekerjaan yang kita lakukan akan mendapat pahala atau tidak. Untuk mewujudkan sikap ikhlas, maka setidaknya kita melakukan introspeksi diri terhadap semua perbuatan kita.
Sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. ( Q.S. Al-Baqarah : 264 )

Macam-macam ikhlas yaitu sebagai berikut
1. Ikhlas kepada Allah SWT
Cara berikhlas kepada Allah yaitu :
a. Mentauhidkan atau menunggalkan atau tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
b. Mentaati atau mematuhi-Nya dalam arti yang sebenar-benarnya.
c. Bermohon hanya kepada-Nya, seperti dalam surat Fatihah,’’Iyyaka na’budu, wa iyyaaka nasta’iin.
2. Ikhlas kepada Kitab Allah SWT
Cara ikhlas terhadap Kitab Allah SWT yaitu :
a. Membacanya sebanyak-banyaknya, sehingga ia tidak jadi hiasan atau topeng saja.
b. Memahami maksudnya, paling kurang pada garis besarnya.
c. Mengerjakan ajarannya, karena Qur’an ialah obat hati yang duka dan menunjukkan jalan yang lurus menuju keselamatan dunia dan akhirat, karena berisi tuntunan dunia dan akhirat.7
Adapun dalil-dalil naqli mengenai hal-hal itu antara lain yang artinya ;
‘’Bacalah apa yang mudah bagimu dari Qur’an’’
3. Ikhlas terhadap para Rasul Allah SWT
Cara ikhlas terhadap Rasul Allah SWT yaitu :
a. Membenarkan dan mematuhi semua yang disampaikannya dari Allah SWT, sehingga tidak seperti umat Yahudi dahulu kala.
b. Mengikuti jejaknya, sehingga tidak jadi bidah tentang yang dilarangnya.
4. Ikhlas terhadap pemimpin umat islam
Cara ikhlas terhadap pemimpin umat islam yaitu :
    Mematuhi petunjuknya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya.
    Tidak boleh mengagung-agungkan pribadinya, tetapi mengenai ajaran Islam yang disampaikannya, sehingga tidak dianggap manusia suci dan tidak pula kurang menghormatinya.
    Memberikan bantuan, baik mengenai ekonomi dan lain, sehngga ia tidak jadi sapi perahan saja, tanpa dicarikan rumputnya.
    Menyiarkan kebenaran yang sudah disampaikannya.
    Menyerahkan hal-hal yang mungkin memajukan umat Islam.
    Ikut membangun apa yang dibutuhkan oleh umat Islam, baik mengenai ekonomi, social dan lain-lain dan bukan bertujuan mencari keberuntungan pribadi atau pengurusnya.
    Mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, jika terlihat penyelewengan dan bukan menghinakan atau mengejek mereka, karena umat Islam akan kehilangan wibawa hatinya.

5.Contoh Ikhlas Dalam Sejarah Islam
Pada masa Rasulullah SAW:
    Memberikan makanan yang akan dimakannya, karena ada orang miskin yang belum makan.
    Menghabiskan semua hartanya untuk kepentingan dakwah Islamiah, lebih-lebih oleh istrinya yang bernama Khadijah.
Pada masa Usman bin Affan menyerahkan semua barang dagangannya yang dibawa oleh kira-kira 400 ekor unta dengan membagi-bagikannya kepada farkir miskin, sebab musim kelaparan, walau sudah ditawar dengan untung ganda.
Pada masa Umar bin Khattab mengangkat sendiri makanan dari gudang, karena ada fakir yang ditemukannya ditemukannya dalam rondanya malam hari, dimasakkan dan ditunggunya mereka selesai makan, pada hal ia jadi Khalifah waktu itu dan ikut ronda dengan menyamar.
Hikmah berbuat Ikhlas yaitu :
1. Kejahatan berkurang.
2. Hidup bertolong-tolongan.
3. Hilang permusuhan
4. Banyak usaha baik yang terlaksana.
5. Bersatu kata, pendapat, dan tindakan ( kompak )
6. Mempertinggi mutu dan kekuatan
7. Semua rencana berjalan dengan baik
8. Dan lain-lain
Adapun dalil naqli menyuruh ikhlas yaitu :
Kerja yang dilakukan dengan diam-diam lebih baik dari yang dilakukan terang-terangan dan kerja yang dilakukan dengan terang-terangan lebih baik bagi siapa yang ingin diikuti ( ditiru orang )8

9. Jujur ( al-Amanah )
Secara bahasa berarti titipan seseorang kepada orang lain. ‘’Anak itu titipan Allah’’, adalah ungkapan yang menunjukkan manusia adalah kepercayaan Allah sebagai pemelihara dan pendidik anak itu. Jadi, disini manusia adalah kepercayaan Allah, karena Dia tidak akan menitipkan sesuatu yang berharga kepada orang yang tidak dipercaya.
Dari sini amanat diartikan sebagai sikap mental yang jujur, lurus hati dan terpercaya. Sikap mental ini sangat terpuji dan dihargai oleh setiap orang. Lawannya adalah curang yaitu sebuah sikap mental yang dibenci oleh setiap orang.
Setiap orang yang diberi amanah oleh orang lain wajib melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya kepada sipemberi amanat. Sebagaimana firman Allah yang artinya :
‘’Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat itu kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hokum di antara mereka supaya kamu menetapkannya dengan cara yang adil.’’

Setiap orang yang memiliki sifat amanat memiliki sikap keadilan. Jika orang amanah menyelesaikan persoalan yang terjadi di antara masyarakat, ia akan berlaku adil. Penyelesaian persoalan yang adil adalah penyelesaian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sikap mental amanah merupakan manifestasi dari keimanan. Hal ini ditegaskan Rasul dalam sabdanya yang artinya :
‘’Tidak sempurna iman orang yang tidak bersikap amanah’’.( HR. Dailamy )
Sikap amanah menjadi syarat mutlak untuk menjadi seorang pemimpin, baik pemimpin formal maupun informal. Pemimpin yang memiliki amanah adalah pemimpin yang adil, bijaksana, demokratis dan toleran. Suatu Negara akan hancur bila dipimpin oleh orang yang curang atau khianat. Karena ia tidak berbuat kecuali yang memberikannya keuntungan pribadi atau golongannya.

10. Ramah ( al-Wiqar )
Arti ramah ialah baik budi dan hati. Peramah adalah sifat seseorang yang baik budinya, halus hatinya, tutur bahasanya menarik, suka bergaul dan disenangi dalam pergaulan. Ia sering disebut dengan orang yang ramah hati, karena semua sikap dan perilakunya berawal dari hatinya.
Seorang yang peramah tidak mengenal perbedaan status sosial masyarakat. Ia sering bergaul dengan siapa saja. Sebaliknya semua orang senang bergaul, berteman dan bekerja sama dengannya. Orang yang ramah senang disapa dan menyapa orang lain. Tutur bahasanya lembut dan tidak pernah menyakiti hati orang lain. Sikap dan perilakunya menarik perhatian orang, dalam arti positif. Ia bersifat rendah hati. Dalam pandangan Allah orang yang ramah ini termasuk hamba-Nya yang mendapatkan kemuliaan, sebagaimana pada ayat yang artinya sebagai berikut:
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”( QS. Furqaan: 63 )

11. Murah hati ( al-Sahy )
Yang di maksud denngan istilah ini adalah suka memberi dan suka menolong orang yang kesulitan. Dan antonomnya adalah kikir atau bakhil.
Hati yang pemurah ialah hati yang mudah merasa hibah atas penderitaan orang lain, selalu memberi perhatian terhadap keadaan yang dialami orang. Dengan hati pemurah seperti ini ia dengan senang dan tulus membantu dan mengurangi kesusahan teman baik secara materil maupun moril. Rasulullah SAW. Bersabda yang artinya :
 “Sifat pemurah itu adalah sifat Allah, maka bersifat pemurahlah supaya Allah pemurah kepadamu.” (HR. At-Thabrany).
Sifat ini sangat disenangi masyarakat, karena dengan sifat itu mereka banyak tertolong dan orang yang memiliki sifat ini sering disebut dengan dermawan. Seorang dermawan menyadari bahwa harta yang dimilikinya adalah milik Allah yang dititipkan kepadanya. Maka setiap titipan Allah harus dikembalikan kepada-Nya. Mengembalikan harta kepada Allah adalah dengan memanfaatkannya kepada jalan yang diridhai-Nya seperti menolong orang yang kesulitan dan lain-lain. Ia juga sadar bahwa harta yang ada ditangannya adalah jatah orang yang kesusahan yang dititipkan melalui tangannya. Dan ia harus menyampaikannyakepada orang itu. Rasulullah bersabda : “Hartamu tidak akan berkurang karena sedekah. Harga dirimu tidak akan merendah karena pemaaf dan derajatmu tidak luntur karena rendah hati” (HR. Muslim). Artinya kekayaan yang ada ditangannya diberikan kepada orang miskin tidak berarti hak pemberi ini berkurang, karena pada hakikatnya yang diberikan kepada orang miskin itu adalah haknya sendiri yang dititipkan lewat tangan si pemberi itu.
Orang yang berhati murah kepada yang lain mendapatkan rezeki yang lebih murah, karena Allah tetap bersamaorang yang membari perhatian atas penderitaan yang lain.9

12. Mengutamakan Yang Lebih Membutuhkan
Maksud istilah ini ialah sikap mengutamakan yang lebih membutuhkan. Dalam realitas keseharian masyarakat, kepentingan pribadi dan keluarga tidak jarang berlawanan dengan kepentingan masyarakat umum. Artinya tuntutan kedua kepentingan ini sering diselesaikan dengan cara kekuasaan dan kekerasan.
Agama mengajarkan agar kedua kepentingan yang berbeda itu dipenuhi secara damai dan aman. Untuk itu setiap mukmin harus lebih mengutamakan kepentingan yang lebih banyak dari kepentingan pribadi jika kepentingan orang banyak itu lebih mendesak dan lebih besar kemaslahatannya. Misalnya, seseorang memiliki mobil yang siap mengangkut keluarganya berekreasi. Tetapi tetangganya membutuhkan mobil untuk mengangkut anaknya, yang sedang sakit parah ke Rumah Sakit. Maka seseorang tadi harus rela membatalkan keberangkatan keluarganya untuk membantu mengangkut anak tetangga ke Rumah Sakit, karena ini lebih mendesak dari kegiatan rekreasi. Sebagaimana dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” ( Q.S. Al Hasyr: 9 )
Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda yang artinya :
Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda : ‘’Makanan untuk 2 orang cukup untuk 3 orang dan makanan untuk 3 orang cukup dengan 4 orang’’. ( HR. Muttafaq’ alaih ).
Hadis ini mengingatkan agar seorang yang beriman tidak ragu membantu orang yang kesulitan walaupun ia hanya memiliki sedikit harta, karena memberi sedikit kepada orang tidak berarti mengurangi miliknya secara kualitas dan kemanfaatannya.

13. Mencukupkan Apa Yang Ada
Ketidakmampuan mencukupkan apa yang dimiliki merupakan sikap kerakusan yang amat tercela. Sikap ini sering mendorongnya berbuat segala cara dan lupa hak-hak orang lain demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Kemampuan menguasai gejolak nafsunya, merupakan yang terbaik dalam memelihara kesehatan jiwa, seperti ditangkap dalam kandungan hadis Nabi berikut yang artinya :
Dari Abu Hurairah yang diterimanya dari Rasulullah yang berkata : ‘’Bukanlah kekayaan itu dari segi harta, melainkan ketenangan jiwa’’.(HR. Muttafaq ‘alaih )
Diantara orang yang beruntung di dunia dan di akhirat ialah orang yang mampu menguasai gejolak jiwa dan dengan kemampuan itu, ia mampu hidup sederhana dan tidak kikir terhadap dirinya, seperti diregaskan Allah dalam Al-Qur’an:
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian’’. (Q.S. Al Furqaan: 67 )
14. Pemaaf (al-‘afwu)
Adalah sikap mental yang senang dan membebaskan dan membersihkan batinnya dari kesalahan orang lain dan tidak mau memberi sangsi atas perbuatannya. Membebaskan kesalahan orang dari beban batin inilah yang disebut memaafkan. Dalam arti tidak ada rasa dendam, marah, di dalam jiwa. Dengan demikian antara dia dengan pelaku kesalahan tidak ada persoalan yang menganggu hubungan mereka.

Sikap mental ini sangat mulia. Oleh karena itu Allah sering menghimbau agar setiap mukmin memberi maaf bukan meminta maaf. Artinya, memberi maaf lebih mulia dari meminta maaf, sebagaimana hal ini disuruh Allah dalam firman-Nya:
Berilah maaf, perintahkanlah berbuat baik dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil. (QS. 7:15)10.
Rasul telah memberi contoh kepada umatnya tentang sikap pemaafnya.dengan sikap itu kemuliaan dan ketinggian derajat Rasulullah semakin bertambah. Derajat dan harga diri tidak akan berkurang karena tidak membalas kejahatan orang lain atau dengan memaafkannya.

15. Lemah Lembut ( al-Hilm )
Lemah lembut adalah sifat jiwa yang halus, bersih dan tulus. Antonimnya ialah keras dan kasar hati. Kelemah-lembutan hati seseorang dapat tercermin dari raut muka, ucapan dan perbuatannya. Jiwa yang lembut menampilkan wajah yang terang dan senyum yang ramah, ucapan yang santun, dan pakaian rapi lagi bersih. Dalam perbuatan, sikap itu tercermin dari ketekunan dan kehati-hatian menyelesaikan kegiatan.
Allah sangat menyukai sikap ini seperti yang disampaikan-Nya pada ayat :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu11. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

D. Cara Membentuk Akhlak yang Baik
Akhlak yang baik bersumber pada kekuatan nurani, akal yang moderat dan proporsional, hikmah yang sempurna, emosi (ghadhab) dan ambisi (syahwah) yang seimbang dan terkendali sepenuhnya oleh akal dan syariat.
Keseimbangan dan keserasian seperti ini dapat dicapai melalui dua cara:
Cara yang pertama, melalui anugerah Ilahi dan kesempurnaan fitri. Yaitu ketika seorang manusia dicipta dan dilahirkan dalam keadaan nurani yang mengarah pada kebaaikan, memiliki akal yang sempurna dan perangai yang baik, dengan kekuatan ambisi (syahwah) dan emosi (ghadhab) yang terkendali, sedang, seimbang dan proporsional, serta bersesuaian dengan akal dan syariat.
Cara yang kedua, ialah dengan memperoleh perangai-perangai ini melalui perjuangan melawan nafsu (mujahadah) dan latihan-latihan ruhani (riyadhah). Yakni dengan memaksakan-atas diri seseorang-perbuatan-perbuatan tertentu yang merupakan buah dari suatu jenis perangai yang ingin dimiliki.
Sebagai contoh seseorang yang menginginkan melekatnya sifat sabar pada dirinya. Untuk itu, ia harus memaksakan dirinya agar melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang sabar. Yaitu mengendalikan emosinya. Maka ia terus-menerus menuntut dirinya agar melakukan hal tersebut dan menjadikannya sebagai kebiasaan, untuk waktu yang cukup lama. Sementara itu, ia harus berupaya kecenderungan dirinya sendiri, demikian sehingga pada akhirnya perbuatan tersebut menjadi tabiat baru baginya dan ia melakukannya dengan hati dan perasaan ringan. Baru setelah itu, ia dapat disebut sebagai seorang yang sabar.
Semua bagian akhlak yang terpuji menurut syariat, dapat diraih dengan cara seperti itu. Tujuannya agar perbuatan yang timbul darinya terasa nikmat. Seorang yang benar-benar sabar akan merasakan kenikmatan ketika ia mampu mengendalikan diri dan emosinya.
Demikian itulah akhlak yang dipujikan oleh agama tidak akan tertanam kuat didalam jiwa, selama jiwa itu sendiri belum terbiasa dengan perilaku dan kebiasaan yang baik, dan selama ia belum meninggalkan perbuatan buruk.
Adapun tujuan utama dari akhlak yang baik adalah terhentinya kecintaan kepada dunia semata dalam hati seseorang, dan sebagai gantinya makin mantap pula kecintaannya kepada Allah SWT. Maka tak sesuatu pun yang lebih diinginkannya daripada perjumpaan dengan-Nya. Dan selanjutnya, ia takkan menggunakan hartanya kecuali dengan apa yang diutuskan oleh Allah SWT. Demikian pula seluruh kekuatan emosi (ghadhab) dan ambisi (syahwah)-nya, kini menjadi tunduk patuh kepadanya, sehingga takkan digunakannya kecuali dalam hal-hal yang akan menyampaikannya pula kepada Allah SWT. Yaitu dengan senantiasa menimbang kedua kekuatan tersebut dengan timbangan syariat dan akal. Pada akhirnya, semua itu pasti akan dirasakannya sebagai kesenangan dan kenikmatan baginya.
Setelah kita telah mengetahui berbagai perangai dan akhlak yang baik dapat diperoleh dengan latihan ruhani (riyadhah). Walau pun pada awalnya memaksakan diri melakukan hal-hal yang muncul dari akhlak yang baik, agar pada akhirnya menjadi tabiat yang baik pula12. Demikianlah betapa sempurnanya Islam dalam mengatur pasal-pasal guna keselamatan dan kemaslahatan manusia dunia dan akhirat.

Tiada ulasan: