Oleh Syeikh Wahhab As-Sya'rani (Tokoh
Sufi Mesir)
Menipu atau
berlaku curang dalam pekerjaan adalah perbuatan yang sangat dicela oleh agama.
Diriwayatkan, suatu ketika Rasul pergi ke pasar dan dijumpainya di sana
setumpuk makanan. Rasul memasukkan tangannya dalam makanan tersebut, dan
ternyata di dalamnya basah. "Mengapa ini?", tanya Rasul kepada si
penjual. "Wahai Rasul, makanan itu tadi terkena hujan", jawab
sipemilik makanan. "Mengapa makanan yang basah tidak kamu taruh diatas
sehingga orang-orang d tapat tahu".
Rasulullah
selanjutnya bersabda, "Siapa yang menipu (berlaku curang), bukan termasuk
golonganku".
Setiap
manusia, pada dasarnya, sadar akan apa yang ia lakukan; apakah dia telah
berlaku jujur atau curang.
Allah
menjadikan manusia terpercaya atas dirinya sendiri. Bila menipu, berarti
menghianati agamanya, dirinya sendiri dan masyarakatnya.Para ulama menyatakan,
siapa yang berlaku baik dalam pekerjaannya, Allah berikan berkah dalam
usahanya.
Sedemikian,
sehingga tanpa disadari, ia menjadi orang yang berkecukupan. Sebaliknya, siapa
yang menipu, niscaya terbuka kejelekannya. Ia segera menjadi buah bibir
masyarakat. Sesungguhnya,Allah
menjadikan kemiskinan dalam penipuan dan menjadikan berkah dalam ketelitian dan
kejujuran.
Sejak awal,
para guru pembimbing thoriqot senantiasa menekankan agar para murid berlaku
jujur dalam pekerjaannya. Bahkan, para guru dari kalanganSyadziliyah sangat
menekankan soal pekerjaan ini. Abu Hasan As-Syadzili, tokoh dan pemimpin
thoriqot Syadzili mengatakan,
"Siapa
yang bekerja keras dan tetap teguh dalam menjalankan perintah Allah, ia berarti
telah sempurna mujahadahnya".
Sedang Abu
Al-Abbas Al-Mursi berkata;
"Bekerjalah. Jadikan alat tenunmu
sebagai tasbih. Jadikan kapakmu sebagai tasbih. Jadikan jahitmu sebagai tasbih
dan jadikan pula perjalananmu sebagai tasbih".
(Bekerja
adalah sesuatu yang wajib) sebagaimana sholat, puasa, haji dan lain sebagainya.
Ia termasuk bahagian dan pendukung kekuatan iman. Laki-laki yang tidak bekerja
adalah sama seperti perempuan.
Rasul
sendiri membawa risalah bukan dengan memerintahkan para shahabat meninggalkan
pekerjaannya.Sebaliknya, Rasul tetap memerintahkan mereka aktif pada apa yang
telah dilakukan. Rasul hanya memerintahkan mereka berbuat baik dan jujur dalam pekerjaannya.Karena
itu, untuk menempuh jalan menuju Tuhan, guru pembimbing yangsempurna adalah
guru yang tetap menganjurkan para muridnya bekerja. Bukan guru yang melarang
muridnya bekerja untuk kemudian membimbing mereka menuju Tuhan.
Sesungguhnya,
pekerjaan yang diperbolehkan agama tidak akan menghalangi seseorang untuk masuk
dalam Hadlirat Ilahy. Berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilarang.
Bekerja
sangat penting untuk menjaga keimanan, kehormatan dan kemandirian. Sedemikian,
sehingga orang mukmin yang bekerja adalah lebih baik daripada guru thoriqot
yang tidak mempunyai pekerjaan, yang makanannya hanya mengharap dari pemberian
sedekah dan penyaluran zakat masyarakat.
Orang yang
bekerja mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding mereka yang tidak bekerja.
Pertama, ia makan dari hasil usahanya sendiri secara halal dan suci, bukan dari
sedekah atau zakat yang semua itu pada hakekatnya adalah harta kotor. Kedua, ia
terhindar dari anggapan bahwa dirinya adalah orang yang berilmu, sehingga tidak
akan muncul sikap sombong dan menganggap remeh orang lain. Ketiga, orang yang
bekerja akan terselamatkan dari ketidakjelasan tentang sifat Allah, Rasul dan
hukum-hukum-Nya. Keempat, bila terjerumus dalam maksiat, ia akan mudah sadar dan
mengerti, dan tidak meremehkan kesalahan dengan jalan bahwa hal itu dapat
dihapuskan dengan istighfar.
Demikianlah
diantara kelebihan-kelebihan orang yang bekerja. Bahkan,Ali Al-Khowash pernah
menyatakan, orang yang makan dari hasil usahanya sendiri, walau dari pekerjaan
yang makruh, adalah masih lebih baik daripada seorang ahli ibadah yang makan
dengan mengharap pemberian dari orang lain. Akan tetapi, perlu diingat, sebuah
pekerjaan yang dilakukan untuk menumpuk-numpuk harta dan demi kesombongan juga
sangat dicela.Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
"Siapa yang mencari harta secara halal,
dengan maksud menumpuk-numpuknyadan untuk kesombongan, Tuhan akan menemuinya di
akherat kelak dengan kemurkaan- Nya" (Hadits).
Imam Syafii menyatakan, mencari kelebihan dari
perkara halal adalahsiksaan sebagaimana yang pernah diberikan Tuhan kepada para
ahli tauhid.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan