Oleh Ibn Qayyim Al Jauziyah
Di sini
perlu saya sebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan
taubat,
yang perlu dijabarkan dan tidak boleh diabaikan oleh seseorang. Di
antaranya:
Pertama:
Bertaubat
dari dosa wajib dilakukan secara langsung, seketika itu
pula dan
tidak boleh ditunda-tunda. Siapa yang menundanya, berarti dia
telah
durhaka karena penundaannya itu. Apabila dia bertaubat dari dosa itu,
maka dia
harus bertaubat lagi, yaitu dari penundaan taubatnya. Yang seperti
ini
jarang disadari orang yang bertaubat. Biasanya, jika dia sudah bertaubat
dari dosa
tersebut, maka dia menganggap tidak perlu lagi bertaubat. Padahal
masih ada
taubat yang menyisa karena penundaan taubatnya. Tidak ada yang
menyelamatkan
hal ini kecuali taubat yang bersifat umum, yaitu taubat dari
dosa-dosa
yang diketahui maupun yang tidak
diketahui.
Sebab dosa dan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahui
hamba
justru lebih banyak dari yang diketahuinya. Karena dia tidak mengetahuinya,
bukan
berarti dia terbebas dari hukuman, kalau memang
sebenarnya
memungkinkan baginya untuk mengetahuinya. Dengan begitu
dia telah
durhaka karena tidak ingin mengetahui dan tidak ber-amal,
sehingga
kedurhakaannya semakin berlipat.
Di dalam Shahih
Ibnu Hibban disebutkan bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Syirik di dalam umatku ini lebih
tersembunyi
daripada
rangkakan semut."
Abu Bakar
bertanya, "Wahai Rasulullah, lalu bagaimana cara untuk
menyelamatkan
diri darinya?"
Beliau
menjawab, "Hendaklah engkau mengucapkan,
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-
Mu sedang aku tidak mengetahuinya, dan aku memohon ampunan
kepada-Mu dari dosa-dosa yang tidak kuketahui."
Dalam
sebuah hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, disebutkan
bahwa
beliau berdoa dalam shalatnya,
"Ya
Allah, ampunilah bagiku kesalahan dan kebodohanku, berlebihle-
bihanku dalam urusanku dan apa pun yang Engkau lebih
mengetahuinya daripada aku. Ya Allah, ampunilah bagiku
kesungguhan dan sendagurauku, kelalaian dan kesengajaanku, dan
semua itu adapada diriku. Ya Allah, ampunilah bagiku apa yang
telah kudahulukan dan apa yang kuakhirkan, yang kurahasiakan
dan yang kutampakkan, serta apa pun yang Engkau lebih
mengetahuinya daripada aku. Engkau Ilahku yang tiada Ilah selain
Engkau."
Kedua:
Apakah
taubat dari suatu dosa dianggap sah, sementara dosa yang
lain
masih tetap dilakukan?
Ada dua
pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang
keduanya
diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad. Tapi tidak ditemukan
adanya
perbedaan pendapat dari orang yang mengisahkan adanya ijma'
tentang
sahnya taubat itu, seperti yang dilakukan An-Nawawy dan lainlainnya.
Memang
masalah ini bisa dianggap rumit, yang perlu ada kepastian
untuk
salah satu di antara kedua pendapat ini, yang tentu saja harus
disertai
dalil yang pasti. Golongan yang menganggap taubat itu sah, berhujjah
bahwa
selagi seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang
berarti
dia sudah bertaubat dari kekufuran, maka Islamnya itu sudah sah
sekalipun
dia masih melakukan kedurhakaan dan dia belum bertaubat dari
kedurhakaan
itu. Maka taubat dari satu dosa sudah dianggap sah sekalipun
dia masih
melakukan dosa lain.
Golongan
satunya lagi menanggapi hujjah ini, bahwa Islam merupakan
satu
keadaan yang tidak bisa disamakan dengan yang lain, karena
kekuatan,
pengaruh dan cara mendapatkannya, yang biasanya anak le-bih
cenderung
mengikuti agama kedua orang tuanya, atau budak yang
mengikuti
agama tuannya.
Yang lain
lagi berpendapat bahwa taubat adalah kembali kepada
Allah,
yang tadinya durhaka berubah menjadi taat kepada-Nya. Lalu apakah
makna
kembali di sini bagi orang yang bertaubat dari satu dosa, dan dia
masih
terus melakukan dosa yang lain? Menurut mereka, Allah tidak akan
menghukum
orang yang bertaubat, karena dia sudah kembali menaati dan
beribadah
kepada-Nya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang
yang
masih melakukan dosa seperti dosa yang dia mintakan am-punannya
kepada
Allah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika
orang
yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang
durhaka,
sebagaimana orang kafir yang sudah kehilangan cap kafir jika dia
sudah
masuk Islam, maka jika dia masih mengerjakan dosa, maka cap
durhaka
itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum dianggap
sah.
Letak
permasalahannya, apakah taubat itu bisa dipilah-pilah seperti
halnya
kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum
dianggap
bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam?
Memang
taubat itu bisa dipilah-pilah. Sebagaimana cara pelaksanaannya
yang
berbeda, porsinya pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan
satu
kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya, maka dia mendapat
hukuman
berdasarkan kewajiban yang ditinggalkannya dan bukan
dihukum
berdasarkan kewajiban yang dilakukannya. Begitu pula jika dia
bertaubat
dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Berarti dia
harus
bertaubat dari dosa itu.
Ada pula
pendapat lain yang mengatakan bahwa taubat adalah satu
perbuatan.
Artinya, taubat adalah membebaskan diri dari hal-hal yang
dimurkai
Allah, kembali menaati-Nya dan menyesali apa yang telah diperbuat.
Jika
taubat itu tidak dikerjakan secara sempurna, maka ia belum
dianggap
sah, karena ia merupakan satu bentuk ibadah. Melakukan seba-gian
di
antaranya dan meninggalkan sebagian yang lain lagi, sama dengan
melakukan
sebagian ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain.
Ada pula
yang berpendapat, setiap dosa mempunyai taubat yang
khusus
baginya, atau merupakan kewajiban darinya. Satu taubat tidak
berkaitan
dengan taubat lainnya, sebagaimana satu dosa yang tidak berkaitan
dengan
dosa lainnya.
Menurut
pendapat saya dalam masalah ini, bahwa taubat itu tidak
dianggap
sah dari satu dosa tertentu, jika dosa lain yang sejenis tetap
dikerjakan.
Sedangkan taubat dari satu dosa tertentu dianggap sah, sekalipun
ada dosa
lain yang tidak berkait dengannya masih tetap dilakukan.
Contohnya,
seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat
dari dosa
minum khamr atau bahkan tetap melakukannya. Taubatnya dari
riba ini
dianggap sah. Tapi jika dia bertaubat dari riba fadhl dan tidak
bertaubat
dari riba nasi'ah, atau dia bertaubat dari mengkonsumi ganja
namun
tetap meminum khamr, maka taubatnya itu tidak dianggap sah.
Keadaannya
seperti bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun dia
tetap
berzina dengan wanita lainnya. Ini pada hakikatnya belum bertaubat
dari dosa
tersebut. Dia hanya beralih dari satu jenis dosa ke jenis lainnya
yang
serupa, berbeda andaikan dia beralih dari satu kedurha-kaan ke
kedurhakaan
lain yang tidak serupa.
Ketiga:
Agar
taubat menjadi sah, apakah ada syarat bagi orang yang bertaubat
untuk
tidak kembali lagi melakukan dosa sama sekali, ataukah
tidak ada
syarat seperti itu?
Sebagian
orang mensyaratkan larangan mengerjakan kembali dosa
yang
sama. Jika kembali melakukannya secara sengaja, berarti taubatnya
tidak
sah. Namun kebanyakan orang tidak mensyaratkan seperti itu. Sahnya
taubat
tergantung kepada pembebasan dirinya dari dosa itu, menyesalinya
dan
bertekad untuk tidak melakukannya kembali. Jika permasalahannya
menyangkut
hak manusia, maka apakah disyaratkan pembebasan
hak itu?
Masalah ini harus dirinci lebih lanjut. Jika dia kembali melakukannya,
padahal
dia sudah bertekad untuk tidak melakukannya kembali
saat
bertaubat, maka keadaannya seperti orang yang mulai melakukan
kedurhakaan,
dan taubat sebelumnya tidak gugur.
Permasalahan
ini dikembalikan kepada asal-muasalnya, bahwa jika
seorang
hamba bertaubat dari suatu dosa, kemudian dia melakukannya
kembali,
maka apakah dosa yang telah dimintakan taubat itu kembali lagi,
sehingga
dia berhak mendapat siksaan atas dosanya yang pertama dan
yang
terakhir, jika dia mati dalam keadaan tetap melakukan dosa itu?
Dengan
kata lain, apakah dia harus menanggung seluruh dosanya?
Ataukah
dia hanya mendapat siksa atas dosanya yang terakhir?
Dalam hal
ini ada dua pendapat. Golongan pertama berpendapat,
dosanya
yang pertama kembali kepadanya lagi karena taubatnya dianggap
batal.
Menurut mereka, karena taubat itu bisa disejajarkan dengan Islam
setelah
kufur. Jika orang kafir masuk Islam, maka keislamannya itu
menghapus
segala dosa semasa kekufurannya. Namun jika dia murtad,
maka
dosanya yang pertama akan kembali lagi kepadanya dan ditambah
dengan
dosa murtad. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Ash-Sha-hih,
dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
"Barangsiapa berbuat kebaikan semasa Islam, maka tidak ada
hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari amalnya semasa
Jahiliyah, dan barangsiapa berbuat keburukan semasa Islam, maka
dia mendapat hukuman karena keburukannya yang pertama dan
yang terakhir."
Inilah
keadaan orang yang masuk Islam dan berbuat keburukan
setelah
dia masuk Islam. Sebagaimana yang diketahui, murtad merupa-kan
keburukan
yang paling besar dalam Islam. Jika dia dihukum setelah murtad
dan juga
dosanya sewaktu kufur, sementara Islam yang membatasi dua
keadaannya
tidak berperan apa-apa, maka begitu pula taubat yang
membatasi
antara dua dosa, yang tidak bisa menggugurkan dosa yang
lampau,
sebagaimana ia yang juga tidak bisa menggugurkan dosa
berikutnya.
Masih
menurut mereka, sahnya taubat ini disyaratkan dengan kelangsungannya.
Sesuatu
yang digantungkan kepada syarat akan diang-gap
musnah
jika syaratnya musnah, sebagaimana sahnya Islam yang disyaratkan
dengan
kelangsungannya. Jadi taubat merupakan keharusan
sepanjang
hayat, sehingga hukumnya juga berlaku sepanjang hayat. Hal ini
ditunjukkan
sebuah hadits shaliih, yaitu sabda beliau,
"Sesungguh-nya seorang hamba benar-benar mengerjakan amal
penghuni surga, sehingga jarak antara dirinya dan surga itu hanya
sejengkal. Namun dia didahului ketetapan takdir, sehingga dia
mengerjakan amal penghuni neraka, lalu dia pun masuk ke dalam
neraka."
Dalam
As-Sunan juga disebutkan sabda beliau, "Sesungguhnya seorang
hamba
benar-benar mengerjakan ketaatan kepada Allah selama enam puluh
tahun.
Menjelang kematiannya, dia berbuat aniaya dalam wasiatnya,
sehingga
dia masuk neraka." Kesudahan yang buruk lebih umum dari
sekedar
kesudahan karena kufur atau suatu kedurhakaan, dan amal-amal itu
diukur dari
kesudahannya.
Apabila
ada yang berkata, "Berarti kebaikan terhapus oleh keburukan",
maka ini
adalah pendapat golongan Mu'tazilah. Sementara Al-
Qur'an
dan As-Sunnah memberitahukan bahwa kebaikanlah yang menghapus
keburukan,
bukan sebaliknya, seperti firman Allah,
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk." (Hud:
114).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada
Mu'adz bin Jabal,
"Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulilah
keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapusnya, dan
gaulilah manusia dengan akhlak yang baik."
Hal ini
bisa dijelaskan, bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah telah memberitahukan
timbangan
terhadap kebaikan dan keburukan. Sebagian isi
Kitab
Allah tidak akan bertentangan atau menggugurkan sebagian yang
lain, dan
Al-Qur'an tidak bisa disanggah oleh pendapat golongan
Mu'tazilah.
Di dalam Al-Qur'an juga disebutkan tentang amal yang bisa
gugur
karena perbuatan tertentu, seperti firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan
(pahala) shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima)." (Al-Baqarah:
264).
Jika
sudah ada kejelasan tentang kaidah syariat, bahwa sebagian
keburukan
itu ada yang bisa menggugurkan kebaikan, maka keburukan
melakukan
dosa kembali juga bisa menggugurkan kebaikan taubat, yang
membuat
taubat itu seakan-akan tidak pernah terjadi. Dengan begitu tidak
ada lagi
pembatas di antara dua dosa itu, yaitu dosa pertama dan dosa
yang
diulangi lagi.
Al-Qur'an,
As-Sunnah dan ijma' sudah menjelaskan adanya timbangan.
Faidahnya
untuk mengetahui mana yang lebih berat timbangannya,
sehingga
pengaruhnya tertuju bagi yang lebih berat dan mengabaikan
yang
lebih ringan. Ibnu Mas'ud berkata, "Pada hari kiamat manusia
akan
dihisab. Barangsiapa keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya,
walaupun
hanya selisih satu saja, maka dia masuk neraka. Barangsiapa
kebaikannya
lebih banyak daripada keburukannya, walaupun
selisih
satu saja, maka dia masuk surga." Kemudian dia membaca ayat,
"Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung. Dan, siapa yang ringan timbangan
kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya
sendiri." (Al-A'raf: 8-9).
Kemudian
Ibnu Mas'ud berkata lagi, "Timbangan itu bisa menjadi
ringan
atau menjadi berat karena amal yang seberat biji-bijian. Barangsiapa
kebaikan
dan keburukannya sama, maka dia termasuk penghuni Al-
A'raf
(antara surga dan neraka)."
Ini
artinya, apakah yang kuat akan menghapus yang ringan, sehingga
seakan-akan
yang ringan itu seperti tidak pernah ada sama sekali,
atau
kedua belah pihak cukup hanya dengan ditimbang dan kesudahannya
diberikan
kepada bagian yang lebih berat? Jika kebaikannya lebih
berat,
apakah dia mendapat pahala dan tidak disiksa atas keburukan yang
dia
lakukan? Atau jika keburukannya lebih berat walau hanya selisih satu
keburukan
saja, apakah dia dilemparkan ke dalam neraka?
Tentu
saja semua ini harus dikembalikan kepada golongan yang
melihat
berlakunya alasan dan hikmah. Jika manusia selamat dari syirik
umpamanya,
yang merupakan dosa yang tidak diampuni Allah, maka
tidak ada
amalnya yang sia-sia dan tidak ada pahalanya yang dikurangi.
Timbangan
atas kebaikan dan keburukannya kembali kepada pengaruh
pensucian
jiwa, karena masing-masing akan mendapatkan derajat sesuai
dengan
amalnya. Sementara tidak ada yang bisa mengetahui kemantap-an
pensucian
jiwa yang bisa menyelamatkan orang Mukmin dari siksa kecuali
Allah
semata. Dengan jawaban ini, maka beberapa ayatyang menjelaskan
masalah
pahala, amal dan timbangan bisa dikompromikan. Tetapi gugurnya
amal
mempunyai tanda-tanda yang bisa diketahui orang yang menghisab
dirinya.
Sedangkan
golongan Jabariyah yang tidak melihat berlakunya alasan,
sebab dan
hikmah, pahala dan siksa, menolak semua ini. Karena semua
perbuatan
dan perkataan manusia menurut mereka ada di Tangan Allah,
sementara
mereka tidak tahu apa yang dikehendaki Allah. Sehing-ga orang
yang
lebih banyak kebaikannya pun bisa mendapat siksa dan orang yang
lebih
banyak keburukannya pun bisa mendapat pahala.
Sedangkan
golongan lain berpendapat bahwa dosa pertama tidak
kembali
kepada pelakunya karena taubatnya yang batal atau rusak. Sebab
dosa itu
sudah diampuni karena taubat, sehingga sama dengan sesuatu
yang
belum pernah dikerjakan dan tidak pernah terjadi. Yang kembali
kepadanya
adalah dosa setelah taubatnya yang rusak dan bukan yang
sebelumnya.
Keabsahan taubatnya tidak disyaratkan dengan adanya
kema'shuman
dirinya dari kesalahan hingga akhir hayat. Tapi jika dia
menyesal,
melepaskan diri dari dosa yang lalu dan bertekad untuk tidak
mengulanginya
lagi, maka dosanya itu dihapuskan. Jika kemudian dia
mengulanginya
lagi, maka dosanya terletak pada pengulangan itu. Hal ini
tidak
bisa disamakan dengan kufur yang menggugurkan semua amal. Kufur
merupakan
kondisi tersendiri yang menghapus semua kebaikan. Sementara
mengulang
kembali dosa yang sudah dimintakan taubat tidak
menggugurkan
kebaikan-kebaikan yang lampau.
Taubat
adalah kebaikan yang paling besar. Andaikan kebaikan ini
terhapus
oleh dosa yang dilakukan kembali, tentunya semua kebaikan yang
lampau
juga ikut terhapus. Tentu saja logika ini tidak bisa diterima, karena
mirip
dengan pendapat Khawarij yang menghapus semua dosa, atau mirip
dengan
pendapat Mu'tazilah yang menganggap semua pelaku dosa besar
berada di
neraka selama-lamanya, sekalipun dia mempunyai sekian banyak
kebaikan.
Sementara dua golongan ini tertolak dalam Islam, karena
pendapat-pendapat
dua golongan ini bertentangan dengan prinsip keadilan
dan nash.
Allah befirman,
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang pun walau seberat
dzarrah, dan jika ada kebajikan seberat dzarrah, niscaya Allah akan
melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar."
(An-Nisa':
40).
Tentang
keberlangsungan taubat, maka itu merupakan syarat kesempurnaannya,
bukan
merupakan syarat sahnya taubat untuk dosa yang telah
lampau.
Tidak demikian halnya dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa
selama
sehari penuh dan bilangan-bilangan rakaat shalat, karena ini
merupakan
satu bentuk ibadah tersendiri, yang tidak bisa diterima kecuali
dengan
mengikuti semua rukun dan bagian-bagiannya yang sudah baku. Tapi
taubat
merupakan ibadah yang bilangannya banyak, tergan-tung dari
banyaknya
dosa. Satu dosa mempunyai satu taubat secara khusus.
Perbandingannya,
seseorang puasa Ramadhan. Pada suatu hari dia makan
tanpa ada
alasan yang diperbolehkan. Apakah hari batalnya puasa ini
menggugurkan
pahala hari-hari lain yang diisi dengan puasa? Apakah
orang
yang tidak berpuasa menghapuskan pahala shalat fardhu yang
dikerjakannya?
Inti permasalahan ini, bahwa taubat adalah suatu kebaikan
sedangkan
mengerjakan dosa kembali adalah suatu keburukan.
Pengulangan
dosa ini tidak membatalkan kebaikan. Ini lebih dekat dengan
prinsip
Ahlus-Sunnah, bahwa seseorang terkadang menjadi orang yang
dicintai
Allah dan juga dimurkai-Nya, terkadang di dalam dirinya ada
iman dan
juga nifaq, iman dan juga kufur.
Keempat:
Jika
orang yang durhaka dihalangi dari sebab-sebab kedurhakaan
dan dia
dibuat tidak berdaya untuk melakukannya, maka apakah
taubatnya
dianggap sah? Gambarannya seperti pendusta, orang yang suka
menuduh
dan orang yang memberi kesaksian palsu, yang lidahnya
dipotong,
atau pezina yang kemaluannya dikebiri, atau pencuri yang
tangan
dan kakinya dilumpuhkan.
Ada dua
pendapat tentang hal ini. Golongan pertama berpendapat,
bahwa
taubatnya dianggap tidak sah. Sebab taubat itu hanya berlaku bagi
orang
yang memungkinkan untuk melakukan sesuatu dan
meninggalkannya.
Taubat hanya dari orang yang memungkinkan untuk
berbuat
dan bukan dari orang yang mustahil berbuat. Jangan
menggambarkan
taubat dari orang yang bisa memindahkan sebuah
gunung
dari tempat-nya, mampu mengeringkan lautan dan lain-lainnya.
Karena
merekayang digambarkan ini layaknya orang yang dipaksa untuk
meninggalkan
suatu perbuatan, sehingga taubatnya dianggap tidak sah.
Beberapa nash
juga telah menjelaskan bahwa taubat pada saat menjelang
ajal
tidak berguna sama sekali, karena itu merupakan taubat dalam
keadaan
terpaksa dan terdesak, bukan atas kesukaan hati. Firman Allah,
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orangorang
yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang
kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah
yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Dan, tidaklah taubat itu diterima Allah dari
orang-orang yang mengerjakan kejaliatan (yang) hingga apabila
datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia
mengatakan, 'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang'. Dan, tidak
pula (diterima taubat) orang-orang yang mati, sedang mereka
dalam kekufuran." (An-Nisa': 17-18).
Kejahilan
di sini adalah kejahilan amal sekalipun mengetahui
keharamannya.
Qatadah berkata, "Para shahabat sepakat bahwa apa pun
bentuk
kedurhakaan terhadap Allah adalah kejahilan, sengaja maupun
tidak
disengaja dan setiap orang yang durhaka kepada Allah adalah orang
jahil."
Sedangkan
taubat dengan segera dalam ayat ini menurut Jumhur
mufassirin
adalah taubat sebelum melihat kedatangan malaikat yang akan
mencabut
nyawanya. Di dalam Al-Musnad dan lainnya, dari Ibnu Umar
Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, beliau
bersabda,
"Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi ajal belum
menghampirinya."
Selagi
ajal sudah di depan mata, lalu dia menyatakan taubat, maka
taubatnya
itu tidak diterima, karena ini merupakan taubat yang terpaksa.
Di
samping itu, hakikat taubat adalah menahan hati dari perbuatan yang
berkaitan
dengan larangan. Menahan di sini harus berasal dari urus-an
yang
memang bisa dikerjakan. Tapi untuk sesuatu yang mustahil bisa
dikerjakan,
maka bagaimana mungkin menahan hati darinya?
Pendapat
kedua, dan ini yang benar, bahwa taubatnya tetap sah dan
dianggap
mungkin, bahkan nyata, sebab rukun-rukun taubat sudah
terpenuhi
di dalamnya. Yang bisa dilakukan dalam hal ini adalah
penyesalan.
Di dalam Musnad disebutkan secara marfu', "Penyesalan itu
sama
dengan taubat." Bagaimana mungkin taubat dicabut darinya,
padahal
dia sangat menyesali dosanya? Apalagi jika penyesalan ini
disertai
dengan tangis, kesedihan, ketakutan dan tekad yang bulat, dengan
disertai
niat, bahwa jika dia dalam keadaan sehat dan mampu, tidak akan
mengerjakannya
lagi.
Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menempatkan orang
yang
tidak mampu melakukan suatu ketaatan, sama dengan orang yang
melakukannya,
yaitu jika niatnya benar dan bulat. Beliau bersabda, "Sesungguhnya
di
Madinah ada beberapa orang. Tidaklah kalian melewati
suatu
jalan dan tidaklah kalian melintasi suatu lembah, melainkan mereka
beserta
kalian."
Para
shahabat bertanya, "Sementara mereka ada di Madinah?"
Beliau
menjawab, "Ya, mereka berada di Madinah. Mereka tertahan
halangan."
Orang
yang memang tak mampu melakukan kedurhakaan dan meninggalkannya
dalam
keadaan terpaksa, dengan disertai niat untuk meninggalkannya
atas
inisiatif hatinya, maka kedudukannya sama dengan
orang
yang meninggalkannya secara sengaja dan atas inisiatif hatinya.
Perbedaan
keadaan ini dengan orang yang melihat ajal di depan
matanya
atau ketika kiamat sudah tiba, bahwa taklif (keharusan
mengerjakan
kewajiban) sudah terputus pada saat ajal di depan mata.
Taubat
berlaku hanya pada masa taklif. Orang yang lemah itu belum
terputus
dari taklif, berarti perintah dan larangan masih berlaku bagi
dirinya.
Kelima:
Jika dosa
yang dilakukan berkaitan dengan hak orang lain, yang
berkaitan
dengan hak harta atau tindak kejahatan terhadap badan, maka
dia harus
memenuhi hak orang itu dan meminta pembebasan diri dari
kesalahan
setelah memberitahukannya, seperti yang diriwayatkan dari
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
"Barangsiapa berbuat zhalim terhadap harta atau kehormatan saudaranya,
maka hendaklah dia membebaskan dirinya (dengan membayar
tebusan) pada hari ini pula, sebelum (datang hari dimana) dinar dan
dirham tidak ada artinya, selain kebaikan dan keburukan."
Jika
kezhaliman itu berupa ghibah, cacian atau tuduhan, maka apakah
dalam
taubatnya itu disyaratkan agar dia memberitahukan bentuk
ghibahnya
itu dan meminta ampunannya agar dia terbebas dari dosa itu?
Ataukah
dia cukup memberitahukan bahwa dia telah melanggar kehormatannya
dan tidak
perlu menyebutkan bentuknya secara rinci? Ataukah
tidak ada
syarat seperti dua gambaran ini, tapi dia cukup meminta
ampunan
bagi dosa saudaranya dan dosa dirinya, tanpa memberitahukan
bahwa dia
telah menuduh atau mengghibahnya?
Pendapat
yang dikenal di dalam madzhab Asy-Syafi'y dan Abu Hanifah
serta
Malik, disyaratkan memberitahukannya dan pembebasan dirinya.
Begitu
pula yang disebutkan rekan-rekan mereka di dalam buku-bukunya.
Mereka
berhujjah, bahwa dosa itu berkaitan dengan hak manu-sia,
sehingga
belum dianggap gugur kecuali setelah ada pembebasan darinya.
Mereka
berhujjah dengan hadits di atas. Masih menurut mereka, bahwa
kejahatan
ini berkaitan dengan dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia.
Meminta
kebebasan kejahatannya dari orang yang dijahati untuk
memenuhi
haknya, dan penyesalan atas kejahatannya untuk me-menuhi
hak
Allah. Maka dari itu taubatnya seorang pembunuh belum dianggap
sempurna
kecuali adanya ketetapan dari wali korban terhadap nasib
dirinya.
Jika menghendaki, wali korban bisa menuntut balas darah dengan
pelaksanaan
qishash, dan jika menghendaki bisa memaafkan-nya. Begitu
pula
taubatnya orang yang memotong tangan orang lain.
Pendapat
lain, bahwa tidak ada syarat untuk memberitahukan tuduhan
dan ghibahnya
kepada orang yang dighibah. Tapi taubatnya cukup
dengan
memohon ampunan kepada Allah bagi dosanya, lalu dia harus
membela
orang yang dighibahnya dan mengatakan kebalikan dari ghibahnya
di
tempat-tempat dimana dia telah mengghibah. Sebagai contoh, dia
mengganti
ghibahnya dengan pujian dan menyebut kebaikan-kebaikannya,
lalu
memintakan ampunan bagi orang yang dighibahnya itu. Pendapat
ini juga
merupakan pilihan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah.
Golongan
ini berhujjah, karena dengan memberitahukan ghibahnya
justru
hanya akan mendatangkan kerusakan, sama sekali tidak menjamin
adanya
kemaslahatan, semakin menambah sakit hati dan suasana menjadi
keruh.
Padahal hatinya tenang sebelum mendengar pemberitahuannya.
Bahkan
setelah mendengarnya, ada kemungkinan dia tidak mampu
menguasai
diri lalu bisa menimbulkan tindak kekerasan terhadap fisik atau
bahkan
pembunuhan. Hal ini tentu berlawanan dengan maksud pembawa
syariat
yang hendak menyatukan hati manusia, agar mereka saling
menyayangi,
mencintai dan mengasihi.
Memang
hal ini berbeda dengan hak-hak material dan tindak kejahatan
fisik,
yang bisa dilihat dari dua pertimbangan:
1. Korban
bisa memanfaatkan harta, jika harta itu dikembalikan kepadanya,
dan hal
ini juga tidak boleh ditutup-tutupi, karena harta itu mut-lak
menjadi
miliknya, sehingga orang yang mengambilnya harus
mengembalikannya.
Berbeda dengan ghibah dan tuduhan, yang sama
sekali
tidak ada manfaat secara langsung yang bisa dinikmati korban.
Akibatnya
hanya akan menambah sakit hati.
2. Jika
orang yang mengambil harta orang lain memberitahukan perbuatannya,
tidak
akan menyakiti hati korban, tidak memancing amarahnya
atau
menimbulkan permusuhan, bahkan sebaliknya, akan
membuatnya
senang dan gembira. Hal ini berbeda dengan pemberitahuan
pelaku,
bahwa dia telah mengoyak kehormatannya, mengghibah
dan
menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan. Kalaupun dua hal
ini
dibandingkan, maka ini merupakan perbandingan yang tidak setara
dan
rusak.
Keenam:
Jika
seorang hamba sudah bertaubat dari suatu dosa, maka apakah
keadaannya
kembali ke derajat sebelum dia melakukan dosa itu ataukah
tidak
bisa kembali seperti semula? Ada perbedaan pendapat mengenai
masalah
ini.
Ada yang
berpendapat, dia kembali ke derajatnya semula, karena
taubat
itu memangkas dosanya secara keseluruhan dan menjadikan dirinya
seakan-akan
dosa itu tidak pernah ada. Maka iman dan amal shalihnya
kembali
ke derajat semula karena taubat. Alasannya menurut mereka, karena
taubat
itu kebaikan yang besar dan amal yang shalih. Jika dosa pernah
menyingkirkan
dirinya dari derajatnya semula, maka kebaikan-nya dengan
bertaubat
itu telah mengembalikan derajatnya. Hal ini seperti orang yang
jatuh ke
dalam sumur, lalu saudara kandungnya menjulurkan tali ke dalam
sumur dan
menariknya ke atas, ke tempatnya semula. Begitu pula taubat dan
amal
shalih yang bisa diibaratkan saudara se-kandung dan pasangan yang
serasi.
Ada pula
yang berpendapat, dia tidak bisa kembali ke derajat dan
keadaannya
semula sebelum melakukan dosa, karena dia masih dalam
posisi
berhenti, yang semestinya dia naik ke atas. Dengan adanya dosa,
berarti
dia dalam posisi turun ke bawah. Jika bertaubat, maka dia dalam
posisi
siap naik ke atas lagi. Perumpamaan keadaan ini seperti dua orang
yang
sama-sama melewati satu jalan dengan cara yang sama dan berjejer.
Salah seorang
ada penghalang atau ada sesuatu yang membuatnya menghentikan
perjalanan,
sementara satunya lagi meneruskan perjalanan. Jika
orang
pertama berjalan lagi mengikuti jejak temannya, tentu dia tidak
akan
mampu menyusulnya. Orang pertama berjalan dengan kekuatan
amal dan
imannya. Kekuatannya semakin bertambah selagi perjalanannya
terus
bertambah. Sementara orang kedua yang menghentikan perjalanan,
kekuatannya
bisa melemah karena dia berhenti.
Saya
pernah mendengar Ibnu Taimiyah mengisahkan perbedaan ini,
dan dia
berkata, "Yang benar, di antara orang-orang yang bertaubat ada
yang
tidak bisa kembali ke derajatnya semula, ada pula yang bisa kembali
ke
derajatnya semula, dan ada pula yang justru kembali ke derajat yang lebih
tinggi
lagi, sehingga dia menjadi lebih baik daripada keadaan-nya sebelum
melakukan
dosa, seperti halnya Nabi Daud yang menjadi lebih baik dari
keadaan
beliau sebelum melakukan kesalahan, setelah bertaubat. Tentu
saja hal
ini kembali ke keadaan orang yang bertaubat setelah dia
menyatakan
taubat, kesungguhan, tekad dan kewaspadaan-nya. Jika
taubatnya
lebih sungguh-sungguh dan keadaannya lebih baik, maka dia
menjadi
lebih baik daripada keadaan sebelumnya dan derajatnya lebih
tinggi.
Jika keadaannya sama dengan sebelumnya, berarti derajatnya juga
sama."
Tiada ulasan:
Catat Ulasan