Oleh Ibn Qayyim Al Jauziyah
Dari sini
pula dapat diketahui satu masalah yang cukup penting,
apakah
orang taat yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang
durhaka
yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuhan? Atau-kah
orang
yang bertaubat itu yang lebih baik?
Ada
perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada golongan orang
yang
menegaskan bahwa orang yang tidak pernah durhaka lebih baikdaripada orang
durhaka yang melakukan taubatan nashuhan (taubat
dengan
sebenar-benarnya). Mereka mengemukakan beberapa hujjah:
1. Hamba
yang paling sempurna dan utama ialah yang paling taat kepada
Allah.
Orang yang tidak pernah durhaka berarti orang yang paling taat,
sehingga
dia menjadi orang yang paling utama.
2. Pada
saat orang durhaka sibuk dengan kedurhakaannya, maka orang
yang taat
menempuh beberapa tahapan menuju ke atas, sehingga
derajatnya
lebih tinggi. Taruklah bahwa orang yang durhaka itu bertaubat
lalu
menyusul perjalanannya. Tapi mana mungkin dia dapat
menyusulnya,
karena sebelumnya dia sudah berhenti?
3. Maksud
taubat adalah untuk menghapus kesalahan-kesalahannya, lalu
setelah
itu dia seperti tidak pernah melakukan kesalahan itu. Perbuatannya
pada masa
kedurhakaan tidak mendatangkan keberuntungan dan
tidak
pula hukuman baginya. Lalu bagaimana jika keadaannya ini
dibandingkan
dengan orang yang berusaha dan mendapat keberuntungan?
4. Allah
membenci kedurhakaan terhadap-Nya dan menyalahi perintah-
Nya. Pada
waktu dia melakukan dosa ini, maka dia mendapat kebencian
dari
Allah. Sementara orang yang taat mendapat keridhaan dan
Allah
senantiasa ridha kepadanya. Maka tidak dapat diragukan bahwa
keadaan
orang kedua ini lebih baik daripada keadaan orang yang diridhai
Allah,
lalu dimurkai, lalu diridhai. Ridha yang berkelanjutan
lebih
baik daripada ridha yang berselang-seling.
5. Dosa
itu bisa diibaratkan minum racun, sedangkan taubat merupakan
penawar
dan obatnya. Sementara ketaatan bisa diibaratkan kesehatan.
Terus-menerus
dalam keadaan sehat tentu lebih baik daripada keadaan
sehat
yang diselingi dengan sakit karena sakit atau racun yang masuk,
lalu
sembuh dan sehat kembali.
6. Orang
yang durhaka dalam keadaan gawat dan terancam bahaya, yang
keadaannya
tidak lepas dari tiga hal: Mati karena minum racun, kekuatannya
berkurang
dan melemah kalau memang tidak mati, dan kekuatannya
kembali
seperti semula, atau lebih lemah atau lebih baik.
7. Orang
yang taat berada dalam sebuah kebun yang dikelilingi ketaatannya,
sehingga
membentuk pagar yang kokoh bagi dirinya, dan musuh
pun tidak
mampu menyusup ke sana. Tumbuh-tumbuhannya segar dan
buahnya
lebat.
8. Musuh
tamak kepada orang yang durhaka, karena kelemahan ilmu dan
tekadnya,
karena itu dia disebut orang jahil.
9.
Kedurhakaan pasti menimbulkan pengaruh yang kurang baik, entah
berupa
kehancuran total, penyesalan atau pun siksaan, dan kesudahannya
bisa
berupa ampunan dan masuk ke surga. Orang yang bertau-bat
harus
membebaskan pengaruh ini dan menebus kesalahannya,
sedangkan
orang yang taat tinggal menambah dan meninggikan derajatnya.
Maka
shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bermanfaat untuk meninggikan derajat beliau, sedangkan
shalat
malam
yang dilakukan selain beliau untuk menebus kesalahan. Dua
keadaan
ini saja tidak bisa disetarakan.
10. Orang
taat kepada Allah berjalan dengan seluruh amalnya. Selagi ke
taatan
dan amalnya bertambah, maka bertambah pula usaha ketaatannya.
Dia bisa
diibaratkan pedagang yang melancong dan berusaha
untuk mendapatkan
keuntungan sepuluh kali lipat dari modalnya.
Lalu dia
melancong lagi dengan membawa modal pertama dan ditambah
keuntungannya,
sehingga dia mendapatkan keuntungan sepuluh
kali
lipat lagi. Begitu seterusnya dalam perjalanan ketiga kalinya, de
ngan keuntungan
yang berlipat-lipat. Apabila sekali saja dia tidak mengadakan
perjalanan,
maka dia tidak akan mendapatkan keuntungan
seperti
yang dia dapatkan dalam satu kali perjalanannya, atau bahkan
lebih.
Inilah makna yang tersirat di dalam perkataan Al-Junaid Rahimahullah,
"Jika
orang yang beribadah menghadap secara tulus kepa
da Allah
selama seribu tahun, kemudian dia berpaling sesaat saja, maka
pahala
yang terlepas darinya lebih banyak daripada apa yang didapatkannya."
Ada
golongan lain yang mengatakan bahwa orang yang bertaubat
dengan taubatan
nashuhan lebih baik daripada orang yang belum pernah
melakukan
kedurhakaan, sekalipun mereka tidak mengingkari keadaan
orang
kedua yang lebih banyak kebaikannya. Mereka mengemukakan
beberapa
alasan:
1. Taubat
merupakan ubudiyah yang paling dicintai Allah dan paling
mulia,
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Andaikan taubat
bukan
merupakan sesuatu paling Dia cintai, tentunya Dia tidak akan
menguji
hamba dengan dosa. Karena kecintaan-Nya kepada taubat
hamba,
maka Dia mengujinya dengan dosa, agar hamba itu melakukan
sesuatu
yang paling dicintai-Nya, yaitu taubat. Sebagai tambahan atas
kecintaan-Nya
kepada hamba, maka orang-orang yang bertaubat
mendapatkan
kecintaan secara khusus di sisi-Nya.
2. Taubat
mempunyai tempat tersendiri di sisi Allah, yang tidak dimiliki
ketaatan-ketaatan
lainnya. Karena itu Allah amat gembira melihat
taubat
hamba-Nya. Kegembiraan Allah itu dimisalkan Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam dengan kegembiraan seorang musafir yang
mendapatkan
kembali onta yang membawa seluruh bekalnya, di suatu
tempat
yang ganas dan kering, setelah onta itu lepas entah kemana, dan
orang itu
sudah putus asa untuk bisa bertahan hidup di tempat itu.
Kegembiraan
ini tidak ditampakkan terhadap satu ketaatan pun kecuali
terhadap
taubat. Tentu saja kegembiraan Allah ini mempunyai pengaruh
yang amat
kuat di dalam hati orang yang bertaubat. Sehing-ga orang
yang
bertaubat mendapatkan kecintaan Allah, yang berarti dia menjadi
kekasih
Allah.
3. Di
dalam taubat terkandung kehinaan, kehancuran hati, kehampaan,
ketundukan
dan kebergantungan kepada Allah, suatu sikap yang lebih
dicintai
Allah daripada sekian banyak amal-amal zhahir, sekalipun
takaran
dan porsinya lebih banyak daripada ubudiyah taubat. Sebab
menghinakan
diri merupakan ruh ibadah dan intinya.
4.
Tingkatan menghinakan diri bagi orang yang bertaubat lebih sempur-na
daripada
tingkatan-tingkatan ubudiyah lainnya, karena dia masih bisa
melakukan
apa yang dilakukan orang lain, sementara dia memi-liki
keistimewaan
dengan menghinakan diri dan merasakan hatinya yang
hampa.
Allah lebih dekat dengan hamba-Nya saat dia menghinakan
diri.
5.
Terkadang dosa justru lebih bermanfaat bagi hamba selagi disertai
dengan
taubat daripada berbagai macam ketaatan. Inilah makna
perkataan
sebagian orang salaf, "Adakalanya seorang hamba berbuat
dosa lalu
masuk surga, dan adakalanya seorang hamba melakukan
ketaatan
lalu masuk neraka."
Orang-orang
bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Dia menjawab,
"Dia
berbuat dosa, dan dosa itu selalu tampak di depan matanya. Jika
berdiri,
duduk dan berjalan dia selalu teringat dosanya itu lalu membuat
hatinya
terasa hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan,
sehingga
yang demikian ini menjadi sebab keselamatannya. Dia
berbuat
kebaikan dan kebaikannya itu selalu tampak di depan matanya.
Jika
berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat kebaikannya itu,
sehingga
membuatnya takabur, ujub dan merasa telah mendapat karunia,
sehingga
yang demikian ini menjadi sebab kebinasaannya."
Jika
Allah menghendaki suatu kebaikan pada seorang hamba, maka Dia
memberinya
dosa yang membuat hatinya hancur, kepalanya merunduk,
tidak
ujub dan tidak takabur, sehingga dosa ini lebih ber-manfaat
daripada
sekian banyak ketaatan. Taubatnya ini bisa diumpa-makan obat
yang
diminum untuk mengeluarkan seluruh penyakit di dalam tubuh
.
6. Ada
kabar gembira yang disampaikan Allah kepada orang-orang yang
bertaubat,
jika taubatnya itu disertai dengan iman dan amal shalih,
sebagaimana
firman-Nya,
"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal
shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan,
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Furqan: 70).
Ibnu
Abbas berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam menunjukkan kegembiraan karena sesuatu seperti
kegembiraan
beliau
saat ayat ini turun, begitu pula saat surat Al-Fath turun." Orangorang
berbeda
pendapat tentang sifat penggantian ini, apakah hal itu
berlaku
di dunia ataukah di akhirat? Menurut Ibnu Abbas dan rekanrekannya,
keburukan
amal mereka diganti dengan kebaikan, syirik
diganti
dengan iman, zina diganti dengan menjaga kehormat-annya,
dusta
diganti dengan kejujuran, khianat diganti dengan amanat.
Berdasarkan
makna ayat ini, sifat-sifat dan amal-amal mereka yang
buruk
diganti dengan sifat dan amal yang shalih, sebagaimana sakit
yang
diganti dengan kesehatan.
Sedangkan
menurut Sa'id bin Al-Musayyab dan lain-lainnya dari
kalangan
tabi'in, maksudnya Allah mengganti keburukan yang mereka
lakukan
di dunia dengan kebaikan di akhirat, Dia memberi tempat bagi
setiap
keburukan dengan kebaikan.
7. Dengan
penyesalannya, orang yang bertaubat mengganti setiap
keburukannya
dengan kebaikan. Penyesalan ini merupakan wujud taubat
dari
keburukan itu. Taubat dari segala dosa adalah kebaikan. Sehingga
setiap
dosa yang dilakukan akan hilang dengan adanya taubat, karena
tempatnya
diganti dengan kebaikan. Berdasarkan logika seperti ini,
porsi
kebaikan itu akan menjadi sama dengan keburukan, lebih sedikit
atau
lebih banyak. Ini tergantung dari bobot taubat dan ketulusan hati
orang
yang bertaubat. Inilah rahasia masalah taubat dan sentuhannya
yang
halus.
8. Dosa
orang yang diakui pelakunya bisa menimbulkan kebaikan yang
lebih
besar, lebih banyak, lebih bermanfaat dan lebih mendatangkan
kecintaan
Allah daripada dosa itu sendiri. Sampai-sampai syetan berkata,
"Andaikan
saja aku tidak pernah menyeretnya untuk melakukan dosa
itu."
Syetan merasa menyesal karena mendorong dan menyeret orang
itu untuk
melakukan dosa, seperti penyesalan pelakunya karena telah
melakukan
dosa itu. Tetapi dua penyesalan ini jauh berbeda. Allah
menyukai
hamba-Nya karena telah memancing amarah musuh-Nya,
sementara
hamba itu juga mendapatkan sesuatu yang dicintai Allah,
yaitu
taubat, apalagi jika taubat itu disertai dengan tambahan amal
shalih,
sehingga satu keburukan berubah menjadi satu kebaikan dan
bahkan
banyak kebaikan.
Perhatikanlah
firman Allah, "Maka kejahatan-kejahatan mereka di-ganti
Allah dengan kebaikan-kebaikan". Allah tidak
mengatakan satu bilangan
keburukan
dan kebaikan, tetapi banyak. Ini bisa berarti satu keburukan
diganti
dengan banyak kebaikan, tergantung dari kondisinya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan