Catatan Popular

Rabu, 1 Oktober 2014

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 17 : Antara Orang Taat Yang Tidak Pernah Durhaka dan Orang Durhaka Yang Melakukan Taubatan Nashuhan

Oleh Ibn Qayyim Al Jauziyah

Dari sini pula dapat diketahui satu masalah yang cukup penting,
apakah orang taat yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang
durhaka yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuhan? Atau-kah
orang yang bertaubat itu yang lebih baik?
Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada golongan orang
yang menegaskan bahwa orang yang tidak pernah durhaka lebih baikdaripada orang durhaka yang melakukan taubatan nashuhan (taubat
dengan sebenar-benarnya). Mereka mengemukakan beberapa hujjah:

1. Hamba yang paling sempurna dan utama ialah yang paling taat kepada
Allah. Orang yang tidak pernah durhaka berarti orang yang paling taat,
sehingga dia menjadi orang yang paling utama.

2. Pada saat orang durhaka sibuk dengan kedurhakaannya, maka orang
yang taat menempuh beberapa tahapan menuju ke atas, sehingga
derajatnya lebih tinggi. Taruklah bahwa orang yang durhaka itu bertaubat
lalu menyusul perjalanannya. Tapi mana mungkin dia dapat
menyusulnya, karena sebelumnya dia sudah berhenti?

3. Maksud taubat adalah untuk menghapus kesalahan-kesalahannya, lalu
setelah itu dia seperti tidak pernah melakukan kesalahan itu. Perbuatannya
pada masa kedurhakaan tidak mendatangkan keberuntungan dan
tidak pula hukuman baginya. Lalu bagaimana jika keadaannya ini
dibandingkan dengan orang yang berusaha dan mendapat keberuntungan?

4. Allah membenci kedurhakaan terhadap-Nya dan menyalahi perintah-
Nya. Pada waktu dia melakukan dosa ini, maka dia mendapat kebencian
dari Allah. Sementara orang yang taat mendapat keridhaan dan
Allah senantiasa ridha kepadanya. Maka tidak dapat diragukan bahwa
keadaan orang kedua ini lebih baik daripada keadaan orang yang diridhai
Allah, lalu dimurkai, lalu diridhai. Ridha yang berkelanjutan
lebih baik daripada ridha yang berselang-seling.

5. Dosa itu bisa diibaratkan minum racun, sedangkan taubat merupakan
penawar dan obatnya. Sementara ketaatan bisa diibaratkan kesehatan.
Terus-menerus dalam keadaan sehat tentu lebih baik daripada keadaan
sehat yang diselingi dengan sakit karena sakit atau racun yang masuk,
lalu sembuh dan sehat kembali.

6. Orang yang durhaka dalam keadaan gawat dan terancam bahaya, yang
keadaannya tidak lepas dari tiga hal: Mati karena minum racun, kekuatannya
berkurang dan melemah kalau memang tidak mati, dan kekuatannya
kembali seperti semula, atau lebih lemah atau lebih baik.

7. Orang yang taat berada dalam sebuah kebun yang dikelilingi ketaatannya,
sehingga membentuk pagar yang kokoh bagi dirinya, dan musuh
 pun tidak mampu menyusup ke sana. Tumbuh-tumbuhannya segar dan
buahnya lebat.

8. Musuh tamak kepada orang yang durhaka, karena kelemahan ilmu dan
tekadnya, karena itu dia disebut orang jahil.

9. Kedurhakaan pasti menimbulkan pengaruh yang kurang baik, entah
berupa kehancuran total, penyesalan atau pun siksaan, dan kesudahannya
bisa berupa ampunan dan masuk ke surga. Orang yang bertau-bat
harus membebaskan pengaruh ini dan menebus kesalahannya,
sedangkan orang yang taat tinggal menambah dan meninggikan derajatnya.
Maka shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bermanfaat untuk meninggikan derajat beliau, sedangkan shalat
malam yang dilakukan selain beliau untuk menebus kesalahan. Dua
keadaan ini saja tidak bisa disetarakan.

10. Orang taat kepada Allah berjalan dengan seluruh amalnya. Selagi ke
taatan dan amalnya bertambah, maka bertambah pula usaha ketaatannya.
Dia bisa diibaratkan pedagang yang melancong dan berusaha
untuk mendapatkan keuntungan sepuluh kali lipat dari modalnya.
Lalu dia melancong lagi dengan membawa modal pertama dan ditambah
keuntungannya, sehingga dia mendapatkan keuntungan sepuluh
kali lipat lagi. Begitu seterusnya dalam perjalanan ketiga kalinya, de
ngan keuntungan yang berlipat-lipat. Apabila sekali saja dia tidak mengadakan
perjalanan, maka dia tidak akan mendapatkan keuntungan
seperti yang dia dapatkan dalam satu kali perjalanannya, atau bahkan
lebih. Inilah makna yang tersirat di dalam perkataan Al-Junaid Rahimahullah,
"Jika orang yang beribadah menghadap secara tulus kepa
da Allah selama seribu tahun, kemudian dia berpaling sesaat saja, maka
pahala yang terlepas darinya lebih banyak daripada apa yang didapatkannya."
Ada golongan lain yang mengatakan bahwa orang yang bertaubat
dengan taubatan nashuhan lebih baik daripada orang yang belum pernah
melakukan kedurhakaan, sekalipun mereka tidak mengingkari keadaan
orang kedua yang lebih banyak kebaikannya. Mereka mengemukakan
beberapa alasan:

1. Taubat merupakan ubudiyah yang paling dicintai Allah dan paling
mulia, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Andaikan taubat
bukan merupakan sesuatu paling Dia cintai, tentunya Dia tidak akan
menguji hamba dengan dosa. Karena kecintaan-Nya kepada taubat
hamba, maka Dia mengujinya dengan dosa, agar hamba itu melakukan
sesuatu yang paling dicintai-Nya, yaitu taubat. Sebagai tambahan atas
kecintaan-Nya kepada hamba, maka orang-orang yang bertaubat
mendapatkan kecintaan secara khusus di sisi-Nya.

2. Taubat mempunyai tempat tersendiri di sisi Allah, yang tidak dimiliki
ketaatan-ketaatan lainnya. Karena itu Allah amat gembira melihat
taubat hamba-Nya. Kegembiraan Allah itu dimisalkan Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam dengan kegembiraan seorang musafir yang
mendapatkan kembali onta yang membawa seluruh bekalnya, di suatu
tempat yang ganas dan kering, setelah onta itu lepas entah kemana, dan
orang itu sudah putus asa untuk bisa bertahan hidup di tempat itu.
Kegembiraan ini tidak ditampakkan terhadap satu ketaatan pun kecuali
terhadap taubat. Tentu saja kegembiraan Allah ini mempunyai pengaruh
yang amat kuat di dalam hati orang yang bertaubat. Sehing-ga orang
yang bertaubat mendapatkan kecintaan Allah, yang berarti dia menjadi
kekasih Allah.

3. Di dalam taubat terkandung kehinaan, kehancuran hati, kehampaan,
ketundukan dan kebergantungan kepada Allah, suatu sikap yang lebih
dicintai Allah daripada sekian banyak amal-amal zhahir, sekalipun
takaran dan porsinya lebih banyak daripada ubudiyah taubat. Sebab
menghinakan diri merupakan ruh ibadah dan intinya.

4. Tingkatan menghinakan diri bagi orang yang bertaubat lebih sempur-na
daripada tingkatan-tingkatan ubudiyah lainnya, karena dia masih bisa
melakukan apa yang dilakukan orang lain, sementara dia memi-liki
keistimewaan dengan menghinakan diri dan merasakan hatinya yang
hampa. Allah lebih dekat dengan hamba-Nya saat dia menghinakan
diri.

5. Terkadang dosa justru lebih bermanfaat bagi hamba selagi disertai
dengan taubat daripada berbagai macam ketaatan. Inilah makna
perkataan sebagian orang salaf, "Adakalanya seorang hamba berbuat
dosa lalu masuk surga, dan adakalanya seorang hamba melakukan
ketaatan lalu masuk neraka."
Orang-orang bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Dia menjawab,
"Dia berbuat dosa, dan dosa itu selalu tampak di depan matanya. Jika
berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat dosanya itu lalu membuat
hatinya terasa hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan,
sehingga yang demikian ini menjadi sebab keselamatannya. Dia
berbuat kebaikan dan kebaikannya itu selalu tampak di depan matanya.
Jika berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat kebaikannya itu,
sehingga membuatnya takabur, ujub dan merasa telah mendapat karunia,
sehingga yang demikian ini menjadi sebab kebinasaannya."
Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seorang hamba, maka Dia
memberinya dosa yang membuat hatinya hancur, kepalanya merunduk,
tidak ujub dan tidak takabur, sehingga dosa ini lebih ber-manfaat
daripada sekian banyak ketaatan. Taubatnya ini bisa diumpa-makan obat
yang diminum untuk mengeluarkan seluruh penyakit di dalam tubuh
.
6. Ada kabar gembira yang disampaikan Allah kepada orang-orang yang
bertaubat, jika taubatnya itu disertai dengan iman dan amal shalih,
sebagaimana firman-Nya,
"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal
shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan,
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Furqan: 70).
Ibnu Abbas berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam menunjukkan kegembiraan karena sesuatu seperti kegembiraan
beliau saat ayat ini turun, begitu pula saat surat Al-Fath turun." Orangorang
berbeda pendapat tentang sifat penggantian ini, apakah hal itu
berlaku di dunia ataukah di akhirat? Menurut Ibnu Abbas dan rekanrekannya,
keburukan amal mereka diganti dengan kebaikan, syirik
diganti dengan iman, zina diganti dengan menjaga kehormat-annya,
dusta diganti dengan kejujuran, khianat diganti dengan amanat.
Berdasarkan makna ayat ini, sifat-sifat dan amal-amal mereka yang
buruk diganti dengan sifat dan amal yang shalih, sebagaimana sakit
yang diganti dengan kesehatan.
Sedangkan menurut Sa'id bin Al-Musayyab dan lain-lainnya dari
kalangan tabi'in, maksudnya Allah mengganti keburukan yang mereka
lakukan di dunia dengan kebaikan di akhirat, Dia memberi tempat bagi
setiap keburukan dengan kebaikan.

7. Dengan penyesalannya, orang yang bertaubat mengganti setiap
keburukannya dengan kebaikan. Penyesalan ini merupakan wujud taubat
dari keburukan itu. Taubat dari segala dosa adalah kebaikan. Sehingga
setiap dosa yang dilakukan akan hilang dengan adanya taubat, karena
tempatnya diganti dengan kebaikan. Berdasarkan logika seperti ini,
porsi kebaikan itu akan menjadi sama dengan keburukan, lebih sedikit
atau lebih banyak. Ini tergantung dari bobot taubat dan ketulusan hati
orang yang bertaubat. Inilah rahasia masalah taubat dan sentuhannya
yang halus.

8. Dosa orang yang diakui pelakunya bisa menimbulkan kebaikan yang
lebih besar, lebih banyak, lebih bermanfaat dan lebih mendatangkan
kecintaan Allah daripada dosa itu sendiri. Sampai-sampai syetan berkata,
"Andaikan saja aku tidak pernah menyeretnya untuk melakukan dosa
itu." Syetan merasa menyesal karena mendorong dan menyeret orang
itu untuk melakukan dosa, seperti penyesalan pelakunya karena telah
melakukan dosa itu. Tetapi dua penyesalan ini jauh berbeda. Allah
menyukai hamba-Nya karena telah memancing amarah musuh-Nya,
sementara hamba itu juga mendapatkan sesuatu yang dicintai Allah,
yaitu taubat, apalagi jika taubat itu disertai dengan tambahan amal
shalih, sehingga satu keburukan berubah menjadi satu kebaikan dan
bahkan banyak kebaikan.
Perhatikanlah firman Allah, "Maka kejahatan-kejahatan mereka di-ganti
Allah dengan kebaikan-kebaikan". Allah tidak mengatakan satu bilangan
keburukan dan kebaikan, tetapi banyak. Ini bisa berarti satu keburukan
diganti dengan banyak kebaikan, tergantung dari kondisinya.

Tiada ulasan: