Catatan Popular

Rabu, 1 Oktober 2014

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 18 :Taubat Menurut Al-Qur'an dan Kaitan Taubat dengan Istighfar

Oleh Ibn Qayyim Al Jauziyah

Banyak orang yang menafsiri taubat dengan tekad untuk tidak
kembali mengulangi dosa, melepaskan diri darinya seketika itu pula dan
menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lampau. Jika dosa itu
berkaitan dengan hak seseorang, maka dibutuhkan cara lain, yaitu membebaskan
diri dari dosa itu.
Inilah yang mereka sebut dengan taubat, dan bahkan itulah syaratsyaratnya.
Sementara taubat menurut penyampaian Allah dan Rasul-Nya, di
samping meliputi hal-hal itu, juga meliputi tekad untuk melaksana-kan
apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Jadi, taubat tidak sebatas
membebaskan diri dari dosa, tekad dan menyesal, yang kemudian dia
disebut orang yang bertaubat, sehingga dia mempunyai tekad yang bulat
untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Inilah
hakikat taubat, suatu istilah yang memadukan beberapa hal dari dua
perkara ini. Tapi kalau istilah taubat ini disertakan dengan pelaksanaan
apa yang diperintahkan, memang merupakan ungkapan seperti yang
mereka sebutkan itu. Namun jika disendirikan, maka secara otomatis dia
akan meliputi dua perkara ini. Seperti lafazh "Taqwa", yang jika disendirikan
mengandung pengertian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan
meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Jika disertakan kepada pelaksanaan
apa yang diperintahkan, maka artinya bisa menahan diri dari apa yang
dilarang.
Hakikat taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengerjakan
apa-apa yang dicintai-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dibenci-Nya,
atau kembali dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang dicintai.
Kembali kepada apa yang dicintai merupakan bagian dari kelazimannya
dan kembali dari apa yang dibenci merupakan bagian yang lain. Karena itu
Allah mengaitkan keberuntungan yang mutlak dengan pelaksanaan apa
yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman, supaya kalian beruntung." (An-Nur: 31).
Setiap orang yang bertaubat adalah orang yang beruntung.
Seseorang tak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan apa yang
diperin-tahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orangorang
yang zhalim." (Al-Hujurat: 11).
Orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan
apa yang dilarang adalah orang zhalim. Untuk menghilangkan sebutan
zhalim ini, hanya bisa dilakukan dengan taubat, yang menghimpun dua
perkara sekaligus. Karena manusia itu ada dua macam: Orang yang
bertaubat dan orang yang zhalim. Tidak ada yang lain. Orang-orang yang
bertaubat adalah mereka yang disifati Allah,
"Yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang
sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar
dan yang memelihara hukum-hukum Allah." (At-Taubah: 112).
Memelihara hukum-hukum Allah merupakan bagian dari taubat.
Jadi taubat merupakan kumpulan dari perkara-perkara ini. Seseorang disebut
orang yang bertaubat, karena dia kembali kepada perintah Allah dari
larangan-Nya, kembali kepada ketaatan dari kedurhakaan kepada-Nya. Jadi
taubat merupakan hakikat Islam, dan semua unsur Islam masuk dalam
istilah taubat. Karena itu orang yang bertaubat layak menjadi kekasih
Allah, karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan juga orangorang
yang mensucikan diri. Allah suka jika perintah-Nya dilaksanakan
dan larangan-Nya ditinggalkan. Jika taubat juga disebut kembali dari apa yang
dibenci Allah secara lahir dan batin kepada apa yang dicintai Allah secara
lahir dan batin, berarti di dalamnya terkandung istilah Islam, iman dan ihsan.
Inilah yang menjadi tujuan setiap orang Mukmin, permulaan dan
kesudahan hidupnya. Banyak orang yang tidak mengetahui porsi taubat
dan hakikatnya, terlebih lagi pengamalannya berdasarkan ilmu dan
kondisinya. Karena Allah memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang
yang bertaubat, berarti mereka adalah orang-orang yang khusus di sisi-
Nya.
Istighfar ada dua macam: Istighfar yang berdiri sendiri dan istigh-far
yang dikaitkan dengan taubat. Istighfar yang berdiri sendiri seperti
perkatan Nuh Alaihis-Salam atau perkataan Shalih Alaihis-Salam kepada
kaumnya, atau seperti firman Allah,
"Dan, mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 199).
Istighfar yang dikaitkan dengan taubat, seperti firman Allah, "Hendaklah kalian meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi keniktnatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai
kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiaptiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) ke-utamaannya."
(Hud: 3).
Istighfar yang berdiri sendiri seperti taubat, dan bahkan istighfar itu
sendiri adalah taubat, yang berarti menghapus dosa, menghilangkan
pengaruhnya dan mengenyahkan kejahatannya, tidak seperti yang dikira
sebagian orang, bahwa artinya adalah menutupi aib. Toh Allah menutupi
aib orang yang diberi-Nya ampunan atau yang tidak diberi-Nya ampunan.
Penutupan aib hanya sekedar kelaziman dari maknanya atau sebagian di
antaranya. Istighfar inilah yang mencegah turunnya adzab, sebagaimana
firman-Nya,
"Dan, tidaklah Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta
ampun." (Al-Anfal: 33).
Allah tidak akan mengadzab orang yang meminta ampunan.
Sedangkan orang yang masih tetap berbuat dosa, namun dia juga meminta
ampun kepada Allah, maka hal ini tidak bisa disebut istighfar yang mur-ni.
Karena itu, istighfarnya tidak mampu mencegah adzab. Istighfar men-cakup
taubat dan taubat mencakup istighfar, masing-masing masuk dalam
pengertian yang lain. Jika keduanya disertakan, maka makna istighfar
adalah menjaga dari kejahatan yang lampau, sedangkan makna taubat
adalah kembali dan mencari penjagaan dari sesuatu yang ditakutinya di
masa mendatang, berupa keburukan-keburukan amalnya. Ada dua macam
dosa, yaitu dosa yang telah lampau dan dosa yang dikhawatirkan akan
terjadi di masa mendatang. Istighfar dari dosa yang telah lampau berarti
mencari perlindungan dari kejahatannya, dan taubat dari dosa yang dikhawatirkan
akan terjadi berarti bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Orang yang berdosa diibaratkan orang yang melewati suatu jalan, padahal
jalan ini akan membawanya kepada kehancuran dan tidak menghantarkannya
ke tujuan. Maka dia diperintahkan untuk menghentikan
langkah kakinya, meninggalkan jalan itu dan kembali ke jalan yang
membawanya kepada keselamatan dan menghantarkannya ke tujuan.
Dari sinilah bisa diketahui secara jelas masalah taubatan nashuhan dan
hakikatnya, seperti firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat
yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus
kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (At-Tahrim: 8).
An-Nashuh dalam taubat dan ibadah artinya membersihkannya dari
kebohongan, kekurangan dan kerusakan serta mengerjakannya sesempurna
mungkin. An-Nashuh kebalikan dari tipuan. Orang-orang salaf saling
berbeda dalam mendefinisikannya. Umar bin Al-Khaththab dan Ubay bin
Ka'b Radhiyallahu Anhuma berkata, "At-Taubatun-nashuh artinya taubat
dari suatu dosa dan pelakunya tidak mengulanginya lagi, sebagaimana air
susu yang tidak bisa kembali ke kantong kelenjarnya."
Al-Hasan Al-Bashry berkata, "Artinya, seorang hamba menyesali apa
yang dilakukannya di masa lampau dan bertekad untuk tidak mengulanginya
lagi."
Al-Kalby berkata, "Artinya, seorang hamba harus memohon ampun
dengan lidahnya, menyesal dengan hatinya dan menahan diri dengan
anggota tubuhnya."
Sa'id bin Al-Musayyab berkata, "Artinya, kalian harus jujur terhadap
diri sendiri."
Muhammad bin Ka'b Al-Qarzhy berkata, "Artinya, seorang hamba
harus menghimpun empat perkara: Istighfar dengan lidah, membebaskan
diri dengan anggota badan, tekad untuk tidak mengulang lagi dengan hati
dan menjauhi teman-teman yang masih melakukannya."
Menurut pendapat saya, at-taubatan-nashuh harus mencakup tiga
perkara:
1. Mencakup segala macam dosa yang pernah dilakukan, sehingga tidak
ada satu dosa pun melainkan sudah tercakup di dalamnya.
2. Membulatkan tekad dan kemantapan hati secara menyeluruh, sehingga
tidak ada lagi keragu-raguan dan penangguhan. Kehendak dan tekadnya
harus dibulatkan seketika itu pula.
3. Membebaskan taubat itu dari kekeruhan dan alasan-alasan tertentu
yang bisa mengotori keikhlasannya, hati didorong untuk takut kepada
Allah semata dan mengharap apa yang ada di sisi-Nya, tidak seperti orang
yang bertaubat karena hendak menjaga kedudukan, pangkat dan harga
dirinya, melindungi kekuasaan, kekuatan dan hartanya, agar dipuji orang
dan tidak dicela.
Yang pertama berkaitan dengan dosa yang dimintakan taubat. Yang
kedua berkaitan dengan hati orang yang bertaubat dan jiwanya. Yang
ketiga berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.
Ada perbedaan antara menghapus kesalahan dan mengampuni dosa.
Di dalam Kitab Allah hal ini disebutkan secara berurutan, dan ada pula yang
disebutkan secara sendiri-sendiri. Yang disebutkan secara berurutan seperti
firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin,
"Wahai Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah
dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami
beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193).
Yang disebutkan secara sendirian seperti firman-Nya,
􀀃􀋴􀏮􀋵􀏫􀋴􀏭􀀃􀋳􀎪􀍉􀏤􀋴􀎤􀋵􀏣􀀃􀏰􀋴􀏠􀋴􀏋􀀃􀋴􀏝􀍋􀎰􀋵􀏧􀀃􀎎􀋴􀏤􀋶􀎑􀀃􀎍􀏮􀋵􀏨􀋴􀏣􀎁􀋴􀏭􀀃􀋶􀎕􀎎􀋴􀎤􀋶􀏟􀎎􀍉􀎼􀏟􀎍􀀃􀎍􀏮􀋵􀏠􀋶􀏤􀋴􀏋􀋴􀏭􀀃􀎍􀏮􀋵􀏨􀋴􀏣􀎁􀀃􀋴􀏦􀏳􀋶􀎬􀍉􀏟􀎍􀋴􀏭
􀋸􀏢􀋵􀏬􀋴􀏟􀎎􀋴􀎑􀀃􀋴􀎢􀋴􀏠􀋸􀎻􀋴􀎃􀋴􀏭􀀃􀋸􀏢􀋶􀏬􀋶􀎗􀎎􀋴􀎌􀍋􀏴􀋴􀎳􀀃􀋸􀏢􀋵􀏬􀋸􀏨􀋴􀏋􀀃􀋴􀎮􀍉􀏔􀋴􀏛􀀃􀋸􀏢􀋶􀏬􀍋􀎑􀋴􀎭􀀃􀋸􀏦􀋶􀏣􀀃􀍊􀏖􀋴􀎤􀋸􀏟􀎍
"Dan, orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amalamal
yang shalih serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan
kepada Muhammad dan itulah yang hak dan Rabb mereka, Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan
mereka." (Muhammad: 2).
Firman Allah tentang maghfirah (ampunan),
"Dan, mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan
dan ampunan dari Rabb mereka." (Muhammad: 15).
Di sini disebutkan empat perkara: Dosa, kesalahan, ampunan dan
penghapusan.
Dosa maksudnya adalah dosa besar. Kesalahan maksudnya adalah
dosa kecil, yang cukup hanya dengan dihapuskan. Sementara penghapusan
ini tidak efektif untuk dosa besar, seperti menghapus dosa membunuh
secara sengaja dan sumpah palsu. Inilah dalil bahwa maksud kesalahan
di sini adalah dosa kecil dan penghapusannya,
"Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan
kalian dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga)." (An-
Nisa': 31).
Disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Shalat-shalat lima waktu, Jum'at ke Jum'at dan Ramadhan ke Ramadhan
menghapus kesalahan-kesalahan di antara keduanya selagi dosadosa
besar dijauhi."
Lafazh "maghfirah" (ampunan) lebih sempurna daripada lafazh "takfir"
(penghapusan), karena itu maghfirah berlaku untuk dosa-dosa besar
dan penghapusan berlaku untuk dosa-dosa kecil. Maghfirah mencakup
pemeliharaan dan penjagaan, sedangkan takfir mencakup penutupan aib
dan pengenyahannya. Namun jika disebutkan secara sendirian, maka
masing-masing bisa masuk ke dalam pengertian yang lain. Jadi takfir bisa
mencakup dosa besar dan dosa kecil, bahkan bisa mencakup amal yang
paling buruk sekalipun, seperti firman-Nya,
"Agar Allah menghapus (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang
paling buruk yang mereka kerjakan." (Az-Zumar: 35).
Orang-orang yang berdosa mempunyai tiga sungai besar yang bisa
dipergunakan untuk membersihkan dosa-dosanya di dunia. Jika belum
juga bersih, maka mereka akan dibersihkan di sungai neraka di hari
kiamat. Tiga sungai itu ialah:
1. Sungai at-taubatun-nashuh.
2. Sungai kebaikan-kebaikan yang melimpah ruah dan
menghanyutkan berbagai macam kesalahan di sekitarnya.
3. Sungai musibah dan cobaan yang menghapus semua dosa.
Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri hamba-Nya, maka
Dia memasukkannya ke dalam salah satu sungai ini, sehingga dia datang
pada hari kiamat dalam keadaan bersih, sehingga dia tidak memerlukan
cara pensucian yang keempat.




Tiada ulasan: