Oleh Ibn Qayyim Al Jauziyah
Banyak
orang yang menafsiri taubat dengan tekad untuk tidak
kembali
mengulangi dosa, melepaskan diri darinya seketika itu pula dan
menyesali
apa yang telah dilakukannya di masa lampau. Jika dosa itu
berkaitan
dengan hak seseorang, maka dibutuhkan cara lain, yaitu membebaskan
diri dari
dosa itu.
Inilah
yang mereka sebut dengan taubat, dan bahkan itulah syaratsyaratnya.
Sementara
taubat menurut penyampaian Allah dan Rasul-Nya, di
samping
meliputi hal-hal itu, juga meliputi tekad untuk melaksana-kan
apa yang diperintahkan
dan mengikutinya. Jadi, taubat tidak sebatas
membebaskan
diri dari dosa, tekad dan menyesal, yang kemudian dia
disebut
orang yang bertaubat, sehingga dia mempunyai tekad yang bulat
untuk
mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Inilah
hakikat
taubat, suatu istilah yang memadukan beberapa hal dari dua
perkara
ini. Tapi kalau istilah taubat ini disertakan dengan pelaksanaan
apa yang
diperintahkan, memang merupakan ungkapan seperti yang
mereka
sebutkan itu. Namun jika disendirikan, maka secara otomatis dia
akan
meliputi dua perkara ini. Seperti lafazh "Taqwa", yang jika
disendirikan
mengandung
pengertian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan
meninggalkan
apa yang dilarang-Nya. Jika disertakan kepada pelaksanaan
apa yang
diperintahkan, maka artinya bisa menahan diri dari apa yang
dilarang.
Hakikat
taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengerjakan
apa-apa
yang dicintai-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dibenci-Nya,
atau
kembali dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang dicintai.
Kembali
kepada apa yang dicintai merupakan bagian dari kelazimannya
dan
kembali dari apa yang dibenci merupakan bagian yang lain. Karena itu
Allah
mengaitkan keberuntungan yang mutlak dengan pelaksanaan apa
yang
diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman, supaya kalian beruntung." (An-Nur:
31).
Setiap
orang yang bertaubat adalah orang yang beruntung.
Seseorang
tak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan apa yang
diperin-tahkan
dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orangorang
yang zhalim." (Al-Hujurat: 11).
Orang
yang meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan
apa yang
dilarang adalah orang zhalim. Untuk menghilangkan sebutan
zhalim
ini, hanya bisa dilakukan dengan taubat, yang menghimpun dua
perkara
sekaligus. Karena manusia itu ada dua macam: Orang yang
bertaubat
dan orang yang zhalim. Tidak ada yang lain. Orang-orang yang
bertaubat
adalah mereka yang disifati Allah,
"Yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang
sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar
dan yang memelihara hukum-hukum Allah." (At-Taubah: 112).
Memelihara
hukum-hukum Allah merupakan bagian dari taubat.
Jadi
taubat merupakan kumpulan dari perkara-perkara ini. Seseorang disebut
orang
yang bertaubat, karena dia kembali kepada perintah Allah dari
larangan-Nya,
kembali kepada ketaatan dari kedurhakaan kepada-Nya. Jadi
taubat
merupakan hakikat Islam, dan semua unsur Islam masuk dalam
istilah
taubat. Karena itu orang yang bertaubat layak menjadi kekasih
Allah,
karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan juga orangorang
yang
mensucikan diri. Allah suka jika perintah-Nya dilaksanakan
dan
larangan-Nya ditinggalkan. Jika taubat juga disebut kembali dari apa yang
dibenci
Allah secara lahir dan batin kepada apa yang dicintai Allah secara
lahir dan
batin, berarti di dalamnya terkandung istilah Islam, iman dan ihsan.
Inilah
yang menjadi tujuan setiap orang Mukmin, permulaan dan
kesudahan
hidupnya. Banyak orang yang tidak mengetahui porsi taubat
dan
hakikatnya, terlebih lagi pengamalannya berdasarkan ilmu dan
kondisinya.
Karena Allah memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang
yang
bertaubat, berarti mereka adalah orang-orang yang khusus di sisi-
Nya.
Istighfar
ada dua macam: Istighfar yang berdiri sendiri dan istigh-far
yang
dikaitkan dengan taubat. Istighfar yang berdiri sendiri seperti
perkatan
Nuh Alaihis-Salam atau perkataan Shalih Alaihis-Salam kepada
kaumnya,
atau seperti firman Allah,
"Dan, mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah:
199).
Istighfar
yang dikaitkan dengan taubat, seperti firman Allah, "Hendaklah kalian
meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi keniktnatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai
kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiaptiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) ke-utamaannya."
(Hud: 3).
Istighfar
yang berdiri sendiri seperti taubat, dan bahkan istighfar itu
sendiri
adalah taubat, yang berarti menghapus dosa, menghilangkan
pengaruhnya
dan mengenyahkan kejahatannya, tidak seperti yang dikira
sebagian
orang, bahwa artinya adalah menutupi aib. Toh Allah menutupi
aib orang
yang diberi-Nya ampunan atau yang tidak diberi-Nya ampunan.
Penutupan
aib hanya sekedar kelaziman dari maknanya atau sebagian di
antaranya.
Istighfar inilah yang mencegah turunnya adzab, sebagaimana
firman-Nya,
"Dan, tidaklah Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta
ampun." (Al-Anfal: 33).
Allah
tidak akan mengadzab orang yang meminta ampunan.
Sedangkan
orang yang masih tetap berbuat dosa, namun dia juga meminta
ampun
kepada Allah, maka hal ini tidak bisa disebut istighfar yang mur-ni.
Karena
itu, istighfarnya tidak mampu mencegah adzab. Istighfar men-cakup
taubat
dan taubat mencakup istighfar, masing-masing masuk dalam
pengertian
yang lain. Jika keduanya disertakan, maka makna istighfar
adalah
menjaga dari kejahatan yang lampau, sedangkan makna taubat
adalah
kembali dan mencari penjagaan dari sesuatu yang ditakutinya di
masa
mendatang, berupa keburukan-keburukan amalnya. Ada dua macam
dosa,
yaitu dosa yang telah lampau dan dosa yang dikhawatirkan akan
terjadi
di masa mendatang. Istighfar dari dosa yang telah lampau berarti
mencari
perlindungan dari kejahatannya, dan taubat dari dosa yang dikhawatirkan
akan
terjadi berarti bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Orang
yang berdosa diibaratkan orang yang melewati suatu jalan, padahal
jalan ini
akan membawanya kepada kehancuran dan tidak menghantarkannya
ke
tujuan. Maka dia diperintahkan untuk menghentikan
langkah
kakinya, meninggalkan jalan itu dan kembali ke jalan yang
membawanya
kepada keselamatan dan menghantarkannya ke tujuan.
Dari
sinilah bisa diketahui secara jelas masalah taubatan nashuhan dan
hakikatnya,
seperti firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat
yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus
kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (At-Tahrim: 8).
An-Nashuh dalam taubat dan ibadah artinya membersihkannya dari
kebohongan,
kekurangan dan kerusakan serta mengerjakannya sesempurna
mungkin. An-Nashuh
kebalikan dari tipuan. Orang-orang salaf saling
berbeda
dalam mendefinisikannya. Umar bin Al-Khaththab dan Ubay bin
Ka'b Radhiyallahu
Anhuma berkata, "At-Taubatun-nashuh artinya taubat
dari
suatu dosa dan pelakunya tidak mengulanginya lagi, sebagaimana air
susu yang
tidak bisa kembali ke kantong kelenjarnya."
Al-Hasan
Al-Bashry berkata, "Artinya, seorang hamba menyesali apa
yang
dilakukannya di masa lampau dan bertekad untuk tidak mengulanginya
lagi."
Al-Kalby
berkata, "Artinya, seorang hamba harus memohon ampun
dengan
lidahnya, menyesal dengan hatinya dan menahan diri dengan
anggota
tubuhnya."
Sa'id bin
Al-Musayyab berkata, "Artinya, kalian harus jujur terhadap
diri
sendiri."
Muhammad
bin Ka'b Al-Qarzhy berkata, "Artinya, seorang hamba
harus
menghimpun empat perkara: Istighfar dengan lidah, membebaskan
diri
dengan anggota badan, tekad untuk tidak mengulang lagi dengan hati
dan
menjauhi teman-teman yang masih melakukannya."
Menurut
pendapat saya, at-taubatan-nashuh harus mencakup tiga
perkara:
1.
Mencakup segala macam dosa yang pernah dilakukan, sehingga tidak
ada satu
dosa pun melainkan sudah tercakup di dalamnya.
2.
Membulatkan tekad dan kemantapan hati secara menyeluruh, sehingga
tidak ada
lagi keragu-raguan dan penangguhan. Kehendak dan tekadnya
harus
dibulatkan seketika itu pula.
3.
Membebaskan taubat itu dari kekeruhan dan alasan-alasan tertentu
yang bisa
mengotori keikhlasannya, hati didorong untuk takut kepada
Allah
semata dan mengharap apa yang ada di sisi-Nya, tidak seperti orang
yang
bertaubat karena hendak menjaga kedudukan, pangkat dan harga
dirinya,
melindungi kekuasaan, kekuatan dan hartanya, agar dipuji orang
dan tidak
dicela.
Yang
pertama berkaitan dengan dosa yang dimintakan taubat. Yang
kedua
berkaitan dengan hati orang yang bertaubat dan jiwanya. Yang
ketiga
berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.
Ada
perbedaan antara menghapus kesalahan dan mengampuni dosa.
Di dalam
Kitab Allah hal ini disebutkan secara berurutan, dan ada pula yang
disebutkan
secara sendiri-sendiri. Yang disebutkan secara berurutan seperti
firman
Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin,
"Wahai Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah
dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami
beserta orang-orang yang berbakti." (Ali
Imran: 193).
Yang
disebutkan secara sendirian seperti firman-Nya,
"Dan, orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amalamal
yang shalih serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan
kepada Muhammad dan itulah yang hak dan Rabb mereka, Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan
mereka." (Muhammad: 2).
Firman
Allah tentang maghfirah (ampunan),
"Dan, mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan
dan ampunan dari Rabb mereka." (Muhammad: 15).
Di sini
disebutkan empat perkara: Dosa, kesalahan, ampunan dan
penghapusan.
Dosa
maksudnya adalah dosa besar. Kesalahan maksudnya adalah
dosa
kecil, yang cukup hanya dengan dihapuskan. Sementara penghapusan
ini tidak
efektif untuk dosa besar, seperti menghapus dosa membunuh
secara
sengaja dan sumpah palsu. Inilah dalil bahwa maksud kesalahan
di sini
adalah dosa kecil dan penghapusannya,
"Jika kalian menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kalian mengerjakannya, niscaya Kami
hapus kesalahan-kesalahan
kalian dan Kami masukkan kalian ke
tempat yang mulia (surga)." (An-
Nisa':
31).
Disebutkan
di dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Shalat-shalat lima waktu,
Jum'at ke Jum'at dan Ramadhan ke Ramadhan
menghapus kesalahan-kesalahan di
antara keduanya selagi dosadosa
besar dijauhi."
Lafazh "maghfirah" (ampunan) lebih sempurna daripada lafazh "takfir"
(penghapusan),
karena itu maghfirah berlaku untuk dosa-dosa besar
dan
penghapusan berlaku untuk dosa-dosa kecil. Maghfirah mencakup
pemeliharaan
dan penjagaan, sedangkan takfir mencakup penutupan aib
dan
pengenyahannya. Namun jika disebutkan secara sendirian, maka
masing-masing
bisa masuk ke dalam pengertian yang lain. Jadi takfir bisa
mencakup
dosa besar dan dosa kecil, bahkan bisa mencakup amal yang
paling
buruk sekalipun, seperti firman-Nya,
"Agar Allah menghapus
(mengampuni) bagi mereka perbuatan yang
paling buruk yang mereka
kerjakan." (Az-Zumar: 35).
Orang-orang
yang berdosa mempunyai tiga sungai besar yang bisa
dipergunakan
untuk membersihkan dosa-dosanya di dunia. Jika belum
juga
bersih, maka mereka akan dibersihkan di sungai neraka di hari
kiamat.
Tiga sungai itu ialah:
1. Sungai
at-taubatun-nashuh.
2. Sungai
kebaikan-kebaikan yang melimpah ruah dan
menghanyutkan
berbagai macam kesalahan di sekitarnya.
3. Sungai
musibah dan cobaan yang menghapus semua dosa.
Jika
Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri hamba-Nya, maka
Dia
memasukkannya ke dalam salah satu sungai ini, sehingga dia datang
pada hari
kiamat dalam keadaan bersih, sehingga dia tidak memerlukan
cara
pensucian yang keempat.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan