Oleh Syeikh Abdul Wahhab As-Sya'rani
(Tokoh Sufi Mesir)
Orang yang
melakukan dzikir harus mematuhi aturan-aturan yang ditentukan. Pertama, tidak
boleh syirik dalam dzikir. Para ulama menyatakan, seseorang yang melakukan
dzikir dengan masih mengandung unsur-unsur syirik, misalnya masih ada niat-niat
lain selain untuk Allah, maka itu akan memutuskan hubungannya kepada Allah dan
menghalangi terbukanya hijab hati; sesuai dengan besar kecilnya syirik yang
dikandungnya.
Karena itu,
setiap guru thoriqot harus memerintahkan para muridnya untuk bersungguh-sungguh
dan benar dalam melakukan dzikir. Berdzikir dengan lisan (bukan hanya --dalam--
hati). Setelah mantap, kemudian melakukan dzikir dengan lisan dan hati secara
bersama-sama.
Hal ini
harus terus menerus dilakukan sampai seseorang mencapai tingkatan tertentu, dan
seluruh anggota badannya dapat merasakan ikut berdzikir. Kedua, mengosongkan
perut. Artinya, orang yang melakukan
dzikir, sedikit demi sedikit harus mengurangi makannya. Juga mengurangi
perkataan-perkataan yang tidak perlu, mengurangi tidur dan menghindarkan diri
dari pergaulan masyarakat yang tidak benar.
Ini penting,
dan seseorang yang mematangkan tauhidnya memang harus berbuat demikian. Sebab,
tanpa kelakuan itu semua, nur tauhidnya akan redup, kemudian mati. Dan
kenyataannya, para guru thoriqot banyak yang tidak mampu membimbing
murid-muridnya, ketika mereka merusak
(tidak melakukan sesuai) aturan-aturan tersebut. Ketiga, melakukan dzikir
dengan suara keras. Ini untuk orang-orang pemula. Dengan suara keras, maka
dorongan-dorongan hati, lamunan-lamunan dan lain-lain akan mudah dihilangkan.
Sebaliknya,
bila mereka melakukan dzikir secara pelan, dzikirnya akan mudah hilang, mudah
terlena dan tidak boleh khusyuk. Keempat, harus didasarkan pada niat atau
kehendak yang kuat.Maksudnya, orang yang melakukan dzikir harus mempunyai niat,
kehendak dan harapan yang kuat untuk berhasil dalam mendekatkan diri kepada
Allah.
Para ulama
menyatakan, "Seorang murid harus melakukan dzikir dengan didasari hati dan
kehendak yang kuat, sehingga tidak ada tempat sedikit pun dalam hati dan bahagian
tubuhnya, kecuali semua ikut bergetar; berdzikir kepada Allah". Para ulama
menyamakan kuatnya dzikir ini dengan batu. Yaitu, bagaimanapun kuat dan
kerasnya batu, ia akan dapat erpecahkan dengan kekuatan. Begitu pula dengan
keras dan rusaknya hati; akan lunak dan tertundukkan oleh dzikir, asal
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kemauan yang kuat. Kelima, dilakukan
secara bersama-sama (berjamaah). Hal ini dikarenakan,dzikir yang dilakukan
secara berjamaah lebih kuat pengaruhnya, dan lebih cepat membuka hijab.
Al-Ghozali,
pengarang kitab Ihya Ulumiddin, juga menyatakan hal itu. Iamenyamakan dzikir
yang dilakukan secara berjamaah dengan adzan yang disampaikan secara
bersama-sama. Yaitu, bahwa adzan yang dilakukan secara bebarengan (jamaah)
adalah lebih kuat, lebih keras dan lebih jauh jangkauannya. Adapun soal tempat
melakukan dzikir, para ulama menyatakan, bahwa yang terbaik adalah di masjid,
di mushalla, atau ditempat-tempat lain yang biasa digunakan untuk dzikir
Mana yang
lebih baik, dzikir dengan lafat "Lailaha illallah"saja, atau dengan
lafat "Lailaha illallah Muhammad Rasulullah?". Yang lebih baik, bagi
pemula, adalah cukup lafat "Lailaha Ilallah"; tanpa ada kata
tambahan. Bila sudah mapan dan bagus, terserah.Keenam, dilakukan dengan penuh
kesopanan dan takdzim. Yaitu, bahwa seseorang yang akan melakukan dzikir harus
menghadirkan Keagungan Ilahy terlebih dahulu dalam hatinya.
Mengonsentrasikan
diri dan hatinya untuk menghadap Hadlirat Ilahy
Tiada ulasan:
Catat Ulasan