Telah
menjadi kebiasaan bagi Abu Bakar untuk duduk berlama-lama bersama tiga orang
shalih yang merupakan penganut Hanafiyah (ajaran agama yang lurus sebagaimana
diwariskan oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam), yaitu Qus bin Sa’idah Al-Iyadi,
Zaid bin Amr bin Nufail, dan Waraqah bin Naufal. Dia amat suka menyimak
kata-kata mereka dan mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Namun,
ketiga sosok tersebut hanya membatasi keyakinan tersebut untuk diri mereka
sendiri. Mereka tidak melakukan dakwah secara terorganisir dan tidak membawa
suatu agama yang mengecam penyelewengan akidah kaum Quraisy dan kebiasaan buruk
mereka. Ketika ketiganya semakin tua, sehingga bisa saja dalam waktu dekat
mereka akan menemui ajalnya, Abu Bakar berpikir untuk mencari sosok lain yang
dianggap bisa menggantikan posisi mereka.
Lantas
terpikir olehnya sosok Muhammad bin Abdullah Shallallahu Alahi wa Sallam.
Sosok yang masih mudah, memiliki asal-usul dan garis keturunan yang baik,
kedudukannya di tengah-tengah kaumnya laksana mutiara yang berkilauan. Saat itu
Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam dikenal sebagai sosok yang menolak
menyembah berhala. Hari-harinya tidak ternodai oleh sifat-sifat negatif
kehidupan jahiliyah. Bahkan belakangan dia lebih banyak menyendiri di gua Hira
untuk melakukan perenungan tentang kehidupan. Sehingga dia sampai pada
keyakinan adanya Sang Pencipta yang harus diagungkan dengan tanpa mengagungkan
selainnya. Memang dia tidak menghina berhala-berhala yang menjadi sesembahan
kaumnya, tapi dia pun tidak pernah memujinya apalagi bersujud padanya seperti
yang biasa dilakukan oleh kaumnya. Dia telah memisahkan diri dari kaumnya untuk
mencari kebenaran yang haqiqi.
Dapat
dikatakan bahwa Abu Bakar merupakan teman sebaya Muhammad Shallallahu Alahi
wa Sallam karena usia mereka tidak terpaut jauh.
Abu Bakar melihat ada yang
berbeda pada sosok yang satu ini. Menurutnya, Muhammad Shallallahu Alahi wa
Sallam pantas menjadi panutan dan layak dianggap sebagai teladan yang
terpercaya. Abu Bakar mencoba menghidupkan kembali memorinya untuk
mengingat-ingat berbagai kejadian penting yang senantiasa menjadi buah bibir di
kalangan kaumnya di seantero Mekah. Ingatannya mulai tertuju pada suatu
peristiwa luar biasa yang terjadi beberapa tahun lalu, tepatnya ketika kaum
Quraisy menyelesaikan proyek renovasi Ka’bah. Waktu itu, setiap orang
bersikeras mendapatkan kehormatan untuk mengembalikan Hajar Aswad ke posisi
semula.
Terjadilah
keributan diantara mereka, hingga hampir menyulut terjadinya perang seperti
perang Fijar (sebuah peperangan hebat yang melibatkan suku Quraisy).
Pada saat pertikaian semakin sengit, salah seorang dari mereka mengusulkan
untuk menyerahkan keputusan persoalan tersebut pada seorang yang paling pertama
mendatangi tempat itu. Saat itu yang pertama datang adalah Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam. Lantas secara bersamaan mereka berteriak, “Ini dia Al-Amin
(sang terpercaya) Muhammad…. dialah hakim terbaik!”
Lantas Abu
Bakar menyoroti berhala-berhala sesembahan kaum jahiliyah dan keanekaragaman
peribadatan mereka. Ada yang menyembah berhala, ada juga yang menyembah
matahari, bintang-bintang, malaikat, jin, bahkan ada juga diantara mereka yang
atheis.
Ajaran
Hanafiyah pun tenggelam di balik gelombang kesyirikan, membuat Abu Bakar
bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa tidak datang seseorang yang dapat
menyelesaikan pertikaian kaum Quraisy dan menyelamatkan mereka dari pertumpahan
darah!”
Abu Bakar
pun berusaha mencari tahu lebih banyak tentang sosok “Al-Amin” yang tak lain
merupakan teman dan sahabatnya sendiri. Untuk itu dia sengaja ikut dengannya
dalam perniagaan ke negeri Syam, Sehingga dia pun sempat mendengar ucapan Rahib
Buhaira tentang adanya tanda-tanda kenabian pada diri shahabatnya tersebut. Abu
Bakar pun semakin mengagumi sosok Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam.
Dia melihat pada diri shahabatnya itu potesi sebagai penyelamat dan pemberi
solusi atas problem keyakinan yang dihadapi kaumnya.
Ditambah
lagi dengan adanya kejadian yang dialaminya pada saat berniaga ke Yaman
beberapa saat sebelum Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam diangkat oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagi Nabi. Abu Bakar menuturkan, “Waktu itu
saya singgah ditempat seorang Syaikh yang alim dari Azd. Dia telah membaca
banyak kitab, menguasai banyak ilmu. Pada saat melihatku dia berkata, Aku
memperoleh informasi yang akurat bahwa seorang nabi akan diutus ditanah haram
(Mekah). Dia akan ditolong oleh seorang pemuda dan satu orang dewasa. Yang muda
merupakan sosok yang suka menantang bahaya dan menolak berbagai bentuk
kesengsaraan, sedangkan yang dewasa berkulit putih, berperawakan kurus,
memiliki lalat diperutnya, dan memiliki di paha sebelah kiri.”
Lantas dia
memintaku untuk menyingkap bagian perutku agar dia dapat melihatnya. Saya pun
melakukan apa yang diminta, hingga dia melihat adanya tahi lalat hitan diatas
pusarku. Dia pun berseru, “Kamulah orangnya, demi tuhan Ka’bah! saya ingin
memberitahukan sesuatu kepadamu, camkanlah!”
“Apa itu?”
tanya Abu Bakar. “Janganlah engkau condong pada hawa nafsu, berpegang tegulah
pada jalan yang utama dan pertengahan, dan takutlah pada Allah dalam segala
sesuatu yang telah dianuhgerahkan-Nya padamu”.
Sekembalinya
Abu Bakar ke Makah, dia menanti saat diutusnya sang Nabi yang ditunggu-tunggu.
Maka begitu dia memperoleh informasi bahwa sahabat karibnya Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam memperoleh wahyu dan diberi amanah untuk mengemban risalah
dari langit, dia pun bergegas menemuinya dan bertanya, “Wahai Muhammad,
benarkah apa yang diberitakan oleh masyarakat Quraisy bahwa engkau telah
meninggalkan tuhan-tuhan kami, merendahkan akal kami, dan mengkafirkan para
orang tua kami?”
Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam menjawab, “Benar. Sesungguhnya saya adalah utusan Allah
dan Nabi-Nya. Dia mengutusku untuk menyampaikan risalah-Nya. Saya pun
sungguh-sungguh mengajak engkau ke jalan Allah. Demi Allah, ini adalah
kebenaran yang hakiki. Saya mengajakmu wahai Abu Bakar untuk menyembah Allah
semata yang tidak ada sekutu baginya. Maka janganlah engkau sembah sesuatu pun
selain Allah. Saya pun mengajakmu untuk berjanji untuk senantiasa taat
kepada-Nya.” Lalu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam membacakan
beberapa ayat Al-Qur’an. Tanpa pikir panjang, Abu Bakar langsung menerima
ajakan masuk Islam dan segera menyatakan penolokannya terhadap penyembahan
berhala. Dia segera menanggalkan segala bentuk kemusyrikan dan menegaskan
kebenaran Islam. Dia pun pulang dalam kondisi telah menjadi seorang muslim yang
membenarkan kenabian Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam .
Abu Bakar
terhitung orang yang pertama kali masuk Islam. Dia sangat yakin akan benarnya
kenabian Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam dan dakwahnya. Dalam
hal ini Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyatakan, “Setiap
saya mengajak seorang masuk Islam, selalu terbesit tanya dan keraguan dalam
benaknya. Berbeda dengan Abu Bakar, dia tidak terpikir panjang untuk memenuhi
ajakanku dan dia tidak ragu sedikitpun.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan