Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq
Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Mereka berselisih paham mengenai sifat ma’rifat itu
sendiri. Al-Janaid berkata :
“Ma’rifat merupakan perwujudan kebodohanmu pada saat ilmu-Nya tiba.” Seseorang
yang berdiri di dekatnya berkata : “Ceritakan pada kami lebih banyak.” Dia pun
melanjutkan : “Dia adalah objek, sekaligus subjek ma’rifat. (Tuhan itu ‘arif
dan ma’ruf).
Yang dimaksudkannya adalah. “Engkau tidak tahu tentang
Dia dalam aspek kekamuanmu, dan baru bisa mencapai ma’rifat-Nya lewat aspek
ke-Dia-an itu. (Sesuatu hal yang biasa di lingkungan Sufi : “Engkau”
menisyaratkan yang banyak, sedang “Dia” menunjukan bahwa segala sesuatu “yang
lain” tertelan dalam diri Tuhan),
Sesuai dengan ujar-ujar Sahl : “Ma’rifat adalah ma’rifat dari kebodohan itu”. Sahl juga
berujar : “Ilmu itu ditetapkan oleh ma’rifat dan akal ditentukan oleh ilmu,
tapi ma’rifat ditentukan oleh esesninya sendiri.” Artinya, kalau Tuhan
menyebabkan seseorang memiliki ma’rifat akan diri-Nya sendiri, sehingga dia
mengenal Tuhan lewat pengungkapan diri-Nya sendiri kepadanya, berarti Dia
menemparkan pengetahuan dalam diri orang tersebut.
Karenanya, dia mendapatkan pengetahuan lewat ma’rifat,
dan dalam dirinya akal bekerja mengolah pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan
kepadanya.
Seorang
tokoh Sufi lain berkata : “Pengetahuan tentang aspek lahir
benda-benda adlah ilmu, dan pengetahuan tentang aspek batin benda-benda adalah
ma’rifat.” Yang lain berkata : “Tuhan telah membuat ilmu bisa diperoleh secara
bebas oleh orang-orang beriman, tapi Dia menyimpan ma’rifat hanya untuk
wali-wali-Nya.”
Abu
Bakr al-Warraq berkata : “Ma’rifat adalam ma’rifat tentang
bentuk-bentuk dan nama-nama benda sedang ilmu adalah ilmu tentang realitas
benda-bnda.
Abu
Sa’id al-Kharraz berkata : “Ma’rifat tentang Tuhan adalah ilmu
tentang pencarian Tuhan sebelum pengalaman aktual tentang Dia; sedang ilmu
tentang Tuhan, setelah adanya pengalaman itu. Oleh sebab itu, ilmu tentang
Tuhan lebih rahasia dan lebih pelik daripada ma’rifat tentang Tuhan.”
Faris
berkata
: “Ma’rifat menyerap (ahli ma’rifat) dalam esensi obyek ma’rifat itu.”
Tokoh
Sufi lain berkata : “Ma’rifat mengambil bentuk pandangan rendah
terhadap semua nilai kecuali nilai-nilai Tuhan.”
Seseorang
bertanya pada Dzun Nun : “Dengan cara apa engkau mendapat
ma’rifat Tuhanmu?” Dia menjawab : “Jika aku berkeinginan untuk membangkang,
lalu mengingat kebesaran Tuhan, aku merasa malu pada-Nya.” Artinya, dia
menganggap kesadarannya akan kedekatan Tuhan sebagai suatu bukti ma’rifat
Tuhan. Seseorang berkata pada Ulayyan : “Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? Dia
menjawab : “Aku tak pernah berpaling dari-Nya sejak aku mengenal-Nya.” Yang
lain bertanya : “Sejak kapan engkau mengenal-Nya?” Dia menjawab : “Sejak saat
mereka menganggapku gila (majnun).” Dengan demikian dia menganggap penghormatannya
kepada kekuasaan Tuhan sebagai bukti dari ma’rifat ke-Tuhanannya. Sahl berkata
: “Maha suci Tuhan, yang ma’rifat ke-Tuhana-nya tidak dapat dicapai oleh
manusia kecuali pengetahuan bahwa mereka tidak mampu mengenal-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan