Catatan Popular

Isnin, 27 Julai 2015

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 22. PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG SIFAT MA’RIFAT



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Mereka berselisih paham mengenai sifat ma’rifat itu sendiri. Al-Janaid berkata : “Ma’rifat merupakan perwujudan kebodohanmu pada saat ilmu-Nya tiba.” Seseorang yang berdiri di dekatnya berkata : “Ceritakan pada kami lebih banyak.” Dia pun melanjutkan : “Dia adalah objek, sekaligus subjek ma’rifat. (Tuhan itu ‘arif dan ma’ruf).
Yang dimaksudkannya adalah. “Engkau tidak tahu tentang Dia dalam aspek kekamuanmu, dan baru bisa mencapai ma’rifat-Nya lewat aspek ke-Dia-an itu. (Sesuatu hal yang biasa di lingkungan Sufi : “Engkau” menisyaratkan yang banyak, sedang “Dia” menunjukan bahwa segala sesuatu “yang lain” tertelan dalam diri Tuhan),

Sesuai dengan ujar-ujar Sahl : “Ma’rifat adalah ma’rifat dari kebodohan itu”. Sahl juga berujar : “Ilmu itu ditetapkan oleh ma’rifat dan akal ditentukan oleh ilmu, tapi ma’rifat ditentukan oleh esesninya sendiri.” Artinya, kalau Tuhan menyebabkan seseorang memiliki ma’rifat akan diri-Nya sendiri, sehingga dia mengenal Tuhan lewat pengungkapan diri-Nya sendiri kepadanya, berarti Dia menemparkan pengetahuan dalam diri orang tersebut.
Karenanya, dia mendapatkan pengetahuan lewat ma’rifat, dan dalam dirinya akal bekerja mengolah pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. 

Seorang tokoh Sufi lain berkata : “Pengetahuan tentang aspek lahir benda-benda adlah ilmu, dan pengetahuan tentang aspek batin benda-benda adalah ma’rifat.” Yang lain berkata : “Tuhan telah membuat ilmu bisa diperoleh secara bebas oleh orang-orang beriman, tapi Dia menyimpan ma’rifat hanya untuk wali-wali-Nya.” 

Abu Bakr al-Warraq berkata : “Ma’rifat adalam ma’rifat tentang bentuk-bentuk dan nama-nama benda sedang ilmu adalah ilmu tentang realitas benda-bnda. 

Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Ma’rifat tentang Tuhan adalah ilmu tentang pencarian Tuhan sebelum pengalaman aktual tentang Dia; sedang ilmu tentang Tuhan, setelah adanya pengalaman itu. Oleh sebab itu, ilmu tentang Tuhan lebih rahasia dan lebih pelik daripada ma’rifat tentang Tuhan.”

Faris berkata : “Ma’rifat menyerap (ahli ma’rifat) dalam esensi obyek ma’rifat itu.” 

Tokoh Sufi lain berkata : “Ma’rifat mengambil bentuk pandangan rendah terhadap semua nilai kecuali nilai-nilai Tuhan.” 

Seseorang bertanya pada Dzun Nun : “Dengan cara apa engkau mendapat ma’rifat Tuhanmu?” Dia menjawab : “Jika aku berkeinginan untuk membangkang, lalu mengingat kebesaran Tuhan, aku merasa malu pada-Nya.” Artinya, dia menganggap kesadarannya akan kedekatan Tuhan sebagai suatu bukti ma’rifat Tuhan. Seseorang berkata pada Ulayyan : “Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? Dia menjawab : “Aku tak pernah berpaling dari-Nya sejak aku mengenal-Nya.” Yang lain bertanya : “Sejak kapan engkau mengenal-Nya?” Dia menjawab : “Sejak saat mereka menganggapku gila (majnun).” Dengan demikian dia menganggap penghormatannya kepada kekuasaan Tuhan sebagai bukti dari ma’rifat ke-Tuhanannya. Sahl berkata : “Maha suci Tuhan, yang ma’rifat ke-Tuhana-nya tidak dapat dicapai oleh manusia kecuali pengetahuan bahwa mereka tidak mampu mengenal-Nya.

Tiada ulasan: