OLEH IMAM NAWAWI {ulama besar mazhab Syafi'i}
HADITS KE-9
MELAKSANAKAN
PERINTAH SESUAI KEMAMPUAN
عن أبي هريرة عبدالرحمن بن صخر رضي الله عنه قال سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم
, فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلم واختلافهم على أنبيائهم
Dari Abu Hurairah, 'Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu 'anh, ia
berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : "Apa saja yang aku larang
kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan
kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran
umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi
mereka (tidak mau taat dan patuh)"
[Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337]
Hadits ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah,
ia berkata : “Rasulullah berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai
manusia, Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu
seseorang bertanya : Wahai Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam,
sampai orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku
katakana “ya” niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya,
kemudian beliau bersabda lagi :Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan,
karena kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan
menyalahi nabi-nabi mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu,
kerjakanlah menurut kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan
sesuatu, maka tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah
Aqra’ bin Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.
Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama,
apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian
besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan
tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau menolak, tetapi menunggu
penjelasan selanjutnya. Hadits ini dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap
menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?”
sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan
berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata
“Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup
melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi
secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan
berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya
wajib dilakukan satu kali seumur hidup.
Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan”
secara formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib
dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini juga menunjukkan bahwa pada asalnya
tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan agama. Hal ini
merupakan prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli fiqh.
Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib”
menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa Rasulullah mempunyai
wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum
itu harus dengan wahyu.
Kalimat, “apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka
lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan kalimat yang singkat namun padat
dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam, termasuk dalam prinsip ini
adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung banyaknya, diantaranya adalah
sholat, contohnya pada ibadah sholat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan
sebagian dari rukun atau sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa
yang dia mampu. Begitu pula dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang
menjadi tanggungannya, bila tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia
keluarkan semampunya, juga dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat
memberantas semuanya, maka hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah
lain yang tidak terbatas banyaknya. Pembahasan semacam ini telah populer
didalam kitab-kitab fiqh. Hadits diatas sejalan dengan firman Allah, QS.
At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan kamu”
Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan 3:102, “Wahai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sungguh-sungguh” ada yang
berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas. Sebagian ulama berkata : Yang
benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan menafsirkan apa yang
dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu menurut
kemampuan, karena Allah berfirman, QS. Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak membebani
seseorang diluar kemampuannya” dan firman Allah dalam QS. Al-Hajj 22:78, “Allah
tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan agama”
Kalimat, “apasaja yang aku larang kamu melaksanakannya,
hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali
apabila seseorang mengalami rintangan /udzur dibolehkan melanggarnya, seperti
dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam keadaan seperti ini
perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi dalam keadaan tidak
darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan. Seseorang tidak dapat
dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan tersebut dalam selang
waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan perintah, yang mana sekali
saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang berlaku dalam memahami
perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera dilakukan atau boleh
ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadits ini mengandung
berbagai macam pembahasan fiqh.
Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu
adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan
setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu”
maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang
bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala
mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti
perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan
telah menaatinya.
Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan
mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam khawatir hal semacam ini terjadi pada
umatnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan