Catatan Popular

Ahad, 11 Oktober 2015

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN KE 27 TENTANG IMAN



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Menurut sebagian besar tokoh Sufi, iman terdiri atas pengucapan lisan, tindakan dan niat. Nabi, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ja’far ibn Muhammad dari orang-orang tua beliau, mengatakan : Iman itu merupakan pengakuan dengan lidah, pembuktian dengan hati dan pelaksanaan dengan tindakan.” Mereka mengatakan, akar-akarnya imna adalah pengakuan dengan lidah beserta pembuktian dengan hati, dan cabangnya adalah pelaksanaan perintah-perintah (Tuhan). Mereka juga menatakan bahwa iman itu ada di luar dan di dalam, yang di dalam itu merupakan satu benda, yaitu hati, sedang yang di luar merupakan banyk hal.
Mereka bersepakat bahwa aspek lahir iman adalah sebesar aspek batinnya, dan bukannya hanya satu bagian saja dari yang lahir itu; sebab, bagian batin iman itu merupakan bagian dari keseluruhannya, maka bagian luar iman itu pun harus merupakan bagian dari keseluruhannya, yaitu dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan; sebab, ini berlaku umum bagi semua yang lahir, sebagaimana pentahkikan (verisikasi) itu berlaku umum bagi semua yang batin. Mereka mengatakan bahwa iman itu bisa juga lebih besar atau lebih kecil.

 Al-Junadi – Syal dan tokoh-tokoh Sufi yang lebih dahulu menganggap bahwa pentahkikan itu bisa juga lebih besar atau lebih kecil. Berkurangnya pentahkikan berarti peranjakan dari iman, sebab, itu merupakan pentahkikan dari apa yang telah dituturkan dan di janjikan oleh Tuhan, dan keraguan yang paling kecil pun akan hal ini sama dengan kekafiran; lebih besarnya pentahkikan bisa diartikan sebagai kekuatan dan kemantapan. Pengakuan lidah tidak beragam, tapi pelaksanaannya bisa jadi lebih besar atau lebih kecil.

Seorang tokoh Sufi berkata : “Istilah yang beriman, merupakan ssalah satu nama Tuhan, sebab Dia berfirman : “Yang memberi kedamaian, yang beriman yang melindungi.” Lewat iman, Tuhan membuat orang yang berimana merasa aman dari hukuman-Nya. Kalau  orang yang beriman itu membuat pengakuan dan pentahkikan, dan juga melaksanakan segala kewajiban, menahan diri dari hal-hal yang dilarang, maka dia aman dari Hukuman Tuhan. Jika seseorang tidak melakukan hal tersebut sama sekali, maka dia akan hidup kekal di neraka. Kalau seorang itu membuat pengakuan dan pentahkikan, tapi tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban-kewajibannya; oleh karena itu, dia aman dari hukuman yang kekal, tapi bukan berarti tidak dihukum sama sekali. Rasa amannya berarti tidak menyeluruh, tidak sempurna; tapi, rasa aman orang yang melaksanakan segala kewajiban itu bersifat menyeluruh, dan tidak kurang.

Dengan begitu maka rasa aman yang tidak sempurna merupakan akibat dari iman yang tidak sempurna, sebab pemenuhan rasa aman itu bergantung pada pemenuhan iman. Nabi melukiskan iman seseorang yang tidak berhasil melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai “kelemahan”, ketika beliau  berkata : “Orang seperti itu lemah dalam iman.” Ia adalah orang yang melihat sesuatu sebagai yang tidak dapat dibenarkan, dan tidak membenarkannya di dalam hati, tapi membenarkannya dalam tata lahir nya; maka Nabi mengatakan bahwa iman di dlam batin tanpa iman di lahir adalah iman yang lemah. Beliau juga menggunakan istilah “kesempurnaan” dalam hal ini, ketika beliau berkata : “Bahwa orang beriman paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” Akhlak itu terdiri atas yang batin dan yang lahir; oleh akrena itu beliau melukiskan seseorang sebagai pemilik iman sempurna jika dia baik dalam keduanya, dan lemah jika dia tidak baik pada keduanya. Seorang tokoh Sufi berkata : “Iman yang lebih besar atau  lebih kecil itu merupakan masalah kualitas, bukan esensi; pertambahannya adalah dalam hal kebaikan , kebagusan dan kekuatannya, sedang pengurangannya adalah dalam hal kebaikan, kebagusan dn kekuatannya pula, bukan dalam eseensinya. Nabi berkata : “Banyak laki-laki yang sempurna, tapi perempuan tidak, kecuali empat orang.”  Nah, kekurangan-kekurangan dari perempuan-perempuan yang lain itu bukan merupakan masalah sifat-sifat esensi mereka, melainkan sifat pelengkap mereka. Beliau juga melukiskan mereka kurang dalam hal intelektualitas dan agama, dan beliau menerangkan bahwa kekurangan yang ke dua itu muncul karena dalam kenyataan, mereka tidak bersembahyang dan berpuasa pada masa haid mereka. Nah, “Agama” itu, dalam kenyataannya, adalah Islam, dan Islam itu identik dengan iman dalam pandangan orang-orang yang menganggap beramal itu tidak merupakan bagian dari iman.

Salah seorang tokoh besar Sufi, ketika di tanya apakah iman itu, menjawab : “Iman dalam diri Tuhan tidak bisa lebih besar atau lebih kecil; dalam diri para Nabi bisa lebih besar atau lebih kecil, tapi dalam diri orang-orang lain bisa lebih besar dan lebih kecil. Yang dimaksudkan dengan kata-kata “dalam diri Tuhan tidak bisa lebih besar atau lebih kecil”, adalah bahwa iman itu merupakan sebuah gelar Tuhan yang dengan itu Dia diberi sfat.

Tuhan berfirman, “Yang memberi kedamaian, yang beriman, yang Melindungi.” Nah, gelar Tuhan itu tidak dapat diperkirakan sebagai yang lebih besar atau lebih kecil. Tapi, adalah mungkin bahwa “Iaman dalam Diri Tuhan” berarti iman yang di berikan-Nya kepada seseorang sesuai dengan ke-Mahatahuan-Nya, yang tidak lebih besar pada saat iman itu di ejawantahkan, dan yang tidak lebih kecil daripada iman yang telah diketahui Tuhan dan diberikan kepada orang itu. Nabi-nabi itu berada dalam kedudukan yang bisa menikmati tambahan dari Tuhan lewat kekuatan, kemntapan, dan perenungan atas hal-hal gaib; sebab Tuhan berfirman : “Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, agar Ibrahim termasuk orang-orang yang benar-benar yakin.” Orang-orang yang lain mendapat tambahan dalam hal batin mereka lewa kekuatan dan kemntapan, tapi mengalami pengurangan menynakgut cabang-cabang iman mereka, karena kelemahan-kelemahan mereka dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan, dan karena mereka melakukan dosa-dosa  yang di larang (oleh Tuhan). Tapi, para Nabi terjaga dari melakukan dosa-dosa, dan terjaga dari kelemahan-kelemahan dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan; oleh karena itu, mereka tidak dapat diperikan sebagi tidak sempurna dalam hal apa pun.

Tiada ulasan: