Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq
Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Menurut sebagian besar tokoh Sufi, iman terdiri atas
pengucapan lisan, tindakan dan niat. Nabi, menurut hadis yang diriwayatkan oleh
Ja’far ibn Muhammad dari orang-orang tua beliau, mengatakan : Iman itu
merupakan pengakuan dengan lidah, pembuktian dengan hati dan pelaksanaan dengan
tindakan.” Mereka mengatakan, akar-akarnya imna adalah pengakuan dengan lidah
beserta pembuktian dengan hati, dan cabangnya adalah pelaksanaan
perintah-perintah (Tuhan). Mereka juga menatakan bahwa iman itu ada di luar dan
di dalam, yang di dalam itu merupakan satu benda, yaitu hati, sedang yang di
luar merupakan banyk hal.
Mereka bersepakat bahwa aspek lahir iman adalah sebesar
aspek batinnya, dan bukannya hanya satu bagian saja dari yang lahir itu; sebab,
bagian batin iman itu merupakan bagian dari keseluruhannya, maka bagian luar
iman itu pun harus merupakan bagian dari keseluruhannya, yaitu dalam
melaksanakan perintah-perintah Tuhan; sebab, ini berlaku umum bagi semua yang
lahir, sebagaimana pentahkikan (verisikasi) itu berlaku umum bagi semua yang
batin. Mereka mengatakan bahwa iman itu bisa juga lebih besar atau lebih kecil.
Al-Junadi – Syal
dan tokoh-tokoh Sufi yang lebih dahulu menganggap bahwa pentahkikan itu bisa
juga lebih besar atau lebih kecil. Berkurangnya pentahkikan berarti peranjakan
dari iman, sebab, itu merupakan pentahkikan dari apa yang telah dituturkan dan
di janjikan oleh Tuhan, dan keraguan yang paling kecil pun akan hal ini sama
dengan kekafiran; lebih besarnya pentahkikan bisa diartikan sebagai kekuatan
dan kemantapan. Pengakuan lidah tidak beragam, tapi pelaksanaannya bisa jadi
lebih besar atau lebih kecil.
Seorang tokoh Sufi berkata : “Istilah yang beriman,
merupakan ssalah satu nama Tuhan, sebab Dia berfirman : “Yang memberi
kedamaian, yang beriman yang melindungi.” Lewat iman, Tuhan membuat orang yang
berimana merasa aman dari hukuman-Nya. Kalau
orang yang beriman itu membuat pengakuan dan pentahkikan, dan juga
melaksanakan segala kewajiban, menahan diri dari hal-hal yang dilarang, maka
dia aman dari Hukuman Tuhan. Jika seseorang tidak melakukan hal tersebut sama
sekali, maka dia akan hidup kekal di neraka. Kalau seorang itu membuat
pengakuan dan pentahkikan, tapi tidak sepenuhnya melaksanakan
kewajiban-kewajibannya; oleh karena itu, dia aman dari hukuman yang kekal, tapi
bukan berarti tidak dihukum sama sekali. Rasa amannya berarti tidak menyeluruh,
tidak sempurna; tapi, rasa aman orang yang melaksanakan segala kewajiban itu
bersifat menyeluruh, dan tidak kurang.
Dengan begitu maka rasa aman yang tidak sempurna
merupakan akibat dari iman yang tidak sempurna, sebab pemenuhan rasa aman itu
bergantung pada pemenuhan iman. Nabi melukiskan iman seseorang yang tidak
berhasil melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai “kelemahan”, ketika
beliau berkata : “Orang seperti itu
lemah dalam iman.” Ia adalah orang yang melihat sesuatu sebagai yang tidak
dapat dibenarkan, dan tidak membenarkannya di dalam hati, tapi membenarkannya
dalam tata lahir nya; maka Nabi mengatakan bahwa iman di dlam batin tanpa iman
di lahir adalah iman yang lemah. Beliau juga menggunakan istilah “kesempurnaan”
dalam hal ini, ketika beliau berkata : “Bahwa orang beriman paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” Akhlak itu terdiri atas yang batin
dan yang lahir; oleh akrena itu beliau melukiskan seseorang sebagai pemilik
iman sempurna jika dia baik dalam keduanya, dan lemah jika dia tidak baik pada
keduanya. Seorang tokoh Sufi berkata : “Iman yang lebih besar atau lebih kecil itu merupakan masalah kualitas,
bukan esensi; pertambahannya adalah dalam hal kebaikan , kebagusan dan
kekuatannya, sedang pengurangannya adalah dalam hal kebaikan, kebagusan dn
kekuatannya pula, bukan dalam eseensinya. Nabi berkata : “Banyak laki-laki yang
sempurna, tapi perempuan tidak, kecuali empat orang.” Nah, kekurangan-kekurangan dari
perempuan-perempuan yang lain itu bukan merupakan masalah sifat-sifat esensi
mereka, melainkan sifat pelengkap mereka. Beliau juga melukiskan mereka kurang
dalam hal intelektualitas dan agama, dan beliau menerangkan bahwa kekurangan
yang ke dua itu muncul karena dalam kenyataan, mereka tidak bersembahyang dan
berpuasa pada masa haid mereka. Nah, “Agama” itu, dalam kenyataannya, adalah
Islam, dan Islam itu identik dengan iman dalam pandangan orang-orang yang
menganggap beramal itu tidak merupakan bagian dari iman.
Salah seorang tokoh besar Sufi, ketika di tanya apakah
iman itu, menjawab : “Iman dalam diri Tuhan tidak bisa lebih besar atau lebih
kecil; dalam diri para Nabi bisa lebih besar atau lebih kecil, tapi dalam diri
orang-orang lain bisa lebih besar dan lebih kecil. Yang dimaksudkan dengan
kata-kata “dalam diri Tuhan tidak bisa lebih besar atau lebih kecil”, adalah bahwa
iman itu merupakan sebuah gelar Tuhan yang dengan itu Dia diberi sfat.
Tuhan berfirman, “Yang memberi kedamaian, yang beriman,
yang Melindungi.” Nah, gelar Tuhan itu tidak dapat diperkirakan sebagai yang
lebih besar atau lebih kecil. Tapi, adalah mungkin bahwa “Iaman dalam Diri
Tuhan” berarti iman yang di berikan-Nya kepada seseorang sesuai dengan
ke-Mahatahuan-Nya, yang tidak lebih besar pada saat iman itu di ejawantahkan,
dan yang tidak lebih kecil daripada iman yang telah diketahui Tuhan dan diberikan
kepada orang itu. Nabi-nabi itu berada dalam kedudukan yang bisa menikmati
tambahan dari Tuhan lewat kekuatan, kemntapan, dan perenungan atas hal-hal
gaib; sebab Tuhan berfirman : “Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim
kerajaan langit dan bumi, agar Ibrahim termasuk orang-orang yang benar-benar
yakin.” Orang-orang yang lain mendapat tambahan dalam hal batin mereka lewa
kekuatan dan kemntapan, tapi mengalami pengurangan menynakgut cabang-cabang
iman mereka, karena kelemahan-kelemahan mereka dalam melaksanakan
perintah-perintah Tuhan, dan karena mereka melakukan dosa-dosa yang di larang (oleh Tuhan). Tapi, para Nabi
terjaga dari melakukan dosa-dosa, dan terjaga dari kelemahan-kelemahan dalam
melaksanakan perintah-perintah Tuhan; oleh karena itu, mereka tidak dapat
diperikan sebagi tidak sempurna dalam hal apa pun.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan