FATHULLAH GULLEN (PENGASAS
HIZMET TURKI)
"Khalwat" dan "uzlah" berarti:
menyendiri. Dalam sebuah definisi lain, kedua kata ini berarti: menyendiri di
bawah bimbingan seorang mursyid atau pemandu untuk beribadah.
Sebuah penafsiran menyatakan bahwa khalwat atau uzlah
adalah: menyepi untuk berdialog dan berteman dengan al-Haqq Allah s.w.t. dengan
menggunakan lisan berbagai lathifah yang sama sekali tertutup dari semua
yang selain Allah s.w.t.. Caranya adalah dengan membersihkan hati dari semua
keyakinan yang salah, perasaan yang gelap, imajinasi yang buruk, dan segala
bentuk khayalan yang dapat menjauhkan dari Allah s.w.t..
"Uzlah" adalah salah satu dimensi dari
sekian banyak dimensi "khalwat", yang salah satu di antaranya adalah al-riyâdhah.
Ia juga sering disebut dengan istilah "al-arba'îniyyah",
karena uzlah menjadi tahap pertama dari khalwah selama empat puluh hari.
Seorang mursyid atau pemandu yang sedang memasukkan seorang murid atau al-murasysyah
(calon) menuju khalwat, akan menemani si murid sampai pintu kamarnya. Di situ
mursyid berdoa kepada Allah untuk si murid, lalu mereka pun berpisah. Si murid
yang menyendiri di dalam kamar itu dan menjalani hidup seperti yang dijalani
oleh seorang mu'takif (orang yang melakukan i'tikaf). Ia akan makan dan
minum dalam jumlah yang sesedikit mungkin dari kebutuhan tubuhnya. Ia lalu
berusaha melupakan segala bentuk hasrat jasmani yang dimilikinya, dengan
menyibukkan diri -tanpa henti siang dan malam- dengan zikir dan tafakur.
Khalwat semacam itu dianggap sebagai salah satu pintu di antara sekian banyak
pintu taqarub kepada Allah s.w.t..
Khalwat adalah sebuah tradisi kuno, bahkan sangat
kuno; yaitu khalwat dalam pengertian sebagai menyepi dari semua makhluk dan
melakukan riyadhah. Tradisi ini hampir ada di semua jalan tasawuf,
bahkan ia dapat disebut telah ada sejak masa para nabi 'Alahim al-Salâm.
Sosok paling depan dalam tradisi ini tidak lain adalah
sang Kebanggaan Umat Manusia, Rasulullah s.a.w., lalu para nabi dan para wali
yang juga melakukan khalwat dan uzlah. Meski pun karena tradisi ini memang
tidak pernah memiliki standar aturan tertentu atau disebabkan kelemahan orang
yang melakukannya, maka tradisi ini tidak pernah memiliki akar yang tetap dan
terus berubah walau pun hanya sedikit, yaitu ketika tradisi ini dilakukan dalam
berbagai kondisi berbeda. Kita ketahui ada uzlah yang dilakukan Sayyidina
Ibrahim a.s., uzlah empat puluh hari yang dilakukan Sayyidina Musa a.s., riyadhah yang dilakukan Sayyidina Isa
al-Masih a.s., khalwat yang dilakukan
Rasulullah s.a.w., dan masih banyak lagi, yang kesemuanya mengalami berbagai
perubahan serta penggantian pada beberapa bagian utamanya mengikuti kondisi dan
situasi yang berubah. Bentuk-bentuk uzlah inilah yang kemudian diterapkan
dengan cara berbeda dengan berbagai macam temperamen individu.
Mungkin pula terjadi berbagai perubahan selain ini,
karena khalwat memiliki hubungan erat dengan kondisi spiritual orang yang
melakukannya, sebagaimana halnya ia memiliki kaitan dengan temperamen,
perasaan, karakter, dan kesiapan spiritual individu yang bersangkutan. Atas
dasar inilah maka para mursyid yang dapat disebut sempurna adalah mereka yang
mengetahui siapa saja di antara muridnya yang layak diperintahkan untuk
melakukan khalwat berikut tata cara dan lama waktunya.
Pada masa-masa awal kehidupan spiritualnya, Maulana
Jaluddin Rumi sering melakukan uzlah empat puluh harian (al-arba'înât).
Tapi setelah ia bertemu mursyidnya, ia pun meninggalkan khalwat dan memilih jalwah.
Ada begitu banyak orang, baik di masa sebelum maupun di masa sesudah Jalaluddin
Rumi yang menempuh jalan semacam ini.
Riyadhah adalah salah satu dimensi khalwah. Ia bermakna:
mengekang nafsu ketika berhadapan dengan hasrat jasmani serta mendorong roh
yang merindukan keluhuran, menuju ketinggian langit kesempurnaan manusia. Ya,
dengan riyadhah saja seseorang dapat mengenkang nafsunya. Sebagaimana
halnya dengan riyadhah pula nafsu dapat didorong untuk meninggalkan
berbagai perasaan yang dapat mencetuskan fitnah terhadapnya. Dengan riyadhah,
nafsu dapat diarahkan untuk bergerak menuju penyerahan diri, dan dengan riyadhah
pula nafsu dapat dibiasakan untuk bersikap tawaduk dan menafikan dirinya,
hingga membuatnya menjadi seperti debu yang diinjak kaki, dan inilah jalan
untuk menumbuhkan bunga-bunga:
Artinya:
Jadilah kau tanah agar bunga tumbuh di dirimu
Sesungguhnya bunga hanya tumbuh di tanah
Melalui jalan riyadhah setiap orang dapat
meraih anugerah tertentu dari Allah s.w.t.:
Di antara mereka ada yang berhasil memperbaiki akhlak
dengan ilmu, amal, dan keikhlasan, untuk kemudian mereka menunjukkan tata-krama
dalam seluruh aspek pergaulan mereka, baik pergaulan dengan Allah s.w.t. maupun
dengan makhluk-Nya.
Di antara mereka ada pula yang senantiasa menemukan
diri mereka mengalami pasang naik dan pasang surut dalam hubungan dengan Tuhan
mereka, sehingga mereka terus mencari jalan yang dapat lebih mendekatkan diri
mereka kepada Allah s.w.t. yang Agung tanpa meninggalkan sedikit pun kesempatan
yang mereka lewati.
Di antara mereka ada yang berhasil keluar dari
"kepompong" yang mengurung mereka -sebagaimana yang terjadi pada
ngengat- untuk kemudian menjalani kehidupan mereka dalam dimensi samawi yang
mereka capai, di antara para spiritualis di mana mereka menjadi kupu-kupu di
sana.
Akar dari khalwat adalah: menunggu dengan kesiapan
untuk bertawajuh dengan Allah s.w.t., siang dan malam, tanpa pernah membiarkan
mata hati melirik kepada berbagai perubahan yang terjadi. Akan tetapi seiring
dengan itu, penantian ini sama sekali bukan sebuah hal pasif, alih-alih ia
merupakan sebuah penantian yang mengandung penguatan, sebab orang yang
bersangkutan melakukannya dengan adab khalwat bersama Allah, serta mata hati
yang selalu terbuka, yang diiringi keinginan kuat untuk jangan sampai
melewatkan berbagai anugerah yang mengalir ke dalam hati.
Betapa bagusnya syair gubahan Husain Efendi La Makani
berikut ini:
Sucikanlah mata hati sampai menjadi jernih
Lihatlah ia terus sampai terbit mata airnya
Tinggalkan keingkaran. Letakkan bejana hati di bawah
mata air itu
Agar ia dipenuhi oleh air yang memancar dengan jernih
Pergilah dari situ dan tinggalkan rumah itu untuk
Pemiliknya
Allah pasti tinggal di dalam rumah-Nya ketika kau
meninggalkannya
Jangan kau biarkan ada celah bagi setan-setan
Karena amatlah sulit untuk mengusir mereka nanti
Sebagaimana telah diketahui bahwa Allah s.w.t.
terhindar dari kungkungan waktu dan tempat. Akan tetapi interaksi antara Dia
dengan manusia selalu terjadi di dalam hati. Itulah sebabnya manusia harus
memiliki hati seperti "bukit zamrud" yang selalu siap menerima
gelombang penyingkapan Ilahi (al-tajalliyât) yang mengalir kepadanya
dari Allah s.w.t..
Berkenaan dengan hal ini, Ibrahim Haqqi menuturkan:
Hati adalah Rumah Allah, maka bersihkanlah ia dari
yang selain Dia
Agar saban malam sang Rahman dapat bersemayam di
istana-Nya
Allah s.w.t. telah berfirman kepada Daud a.s.:
"Wahai Daud, sesungguhnya Aku mengharamkan hati
manusia untuk dimasuki cinta-Ku dan cinta yang selain Aku secara
bersamaan."
Maksudnya: "Kosongkanlah rumah itu untuk-Ku, agar
Aku dapat bersemayam di situ."
Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksud dengan
"pengosongan" (al-ifrâgh) adalah: penyucian dan penjernihan
hati dari memikirkan yang lain (selain Allah s.w.t.) serta menjauhkannya dari
semua perhatian asing, dari berbagai hubungan yang tidak mengingatkan kepada
Allah, dan dari hal-hal yang tidak berguna.
Sebuah syair indah gubahan Maulana Jalaluddin Rumi ini
tampaknya dapat menjadi cahaya yang menerangi cakrawala pemikiran kita:
"Setiap orang yang memiliki akal pasti memilih
dasar sumur. Karena kejernihan hati terkandung di dalam khalwat. Sesungguhnya
kegelapan sumur yang pekat jauh lebih baik dari pada kegelapan penciptaan. Jadi
sungguh tidak beruntung orang yang mengikuti jejak makhluk, atau tidak sampai
ujung dan tidak mampu melihat ke dalam hati kecil. Khalwat meninggalkan yang
lain (selain Allah) adalah wajib, tapi bukan dari Allah sang Maula. Karena
mantel bulu dipakai di saat musim dingin, bukan di tengah musim panas."
Ketika maksud dari khalwat adalah penyucian
"rumah" hati dari yang selain Allah dan berusaha untuk senantiasa
bersama Allah sang Maula s.w.t., maka para "pemilik roh" yang ada di
tengah manusia tetap mampu berhubungan dengan al-Haqq Allah s.w.t.. Demikian
pula halnya dengan para "pemilik hati" yang selalu memberi perhatian
terhadap ketunggalan, termasuk ketika melihat banyak entitas, mereka semua
dapat dianggap sebagai orang-orang yang selalu berkhalwat. Sementara itu,
orang-orang yang menghabiskan usia mereka untuk berkhalwat, tapi tidak mampu
menyucikan hatinya dari yang selain Allah dan melepaskan semua yang selain Dia,
maka khalwatnya adalah kebohongan dan kesia-siaan.
Pada hakikatnya, khalwat metafisik tidak perlu
dilakukan dengan meninggalkan makhluk. Sebagaimana yang dinyatakan Maulana
Jalaluddin Rumi, sesungguhnya manusia dengan khalwat semacam itu adalah
bagaikan orang yang berjalan kaki, di mana satu kakinya berada di dalam
cakrawala ketuhanan (al-lâhût), sementara kakinya yang lain berada pada
poros kemanusiaan (al-nâsût). Di setiap saat, ia selalu melakukan
"naik" dan "turun" secara bersamaan. Inilah khalwat yang
dikenal oleh para nabi dan orang-orang suci.
Allah s.w.t. telah berfirman kepada Daud a.s.:
"Wahai Daud, kenapa Aku melihatmu menyendiri?" Daud menjawab:
"Wahai Tuhanku, aku meninggalkan makhluk demi Engkau." Allah
menjawab: "Wahai Daud, jadilah kau orang yang selalu terjaga, dan
pakaikanlah untuk jiwamu beberapa teman. Tapi teman mana pun yang tidak mau
menemanimu untuk berjalan kepada-Ku, janganlah kau temani ia." Maksudnya:
"Jika memang tujuanmu adalah Kami dan keinginanmu adalah mencapai tempat
Kami, maka jangan kau buka hatimu untuk yang selain Kami."
Wahai Allah, jadikanlah hati kami lebih baik
dibandingkan penampilan kami, dan perbaikilah penampilan kami. Limpahkanlah
selawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad dan kepada segenap keluarga serta
sahabat-sahabat beliau yang jujur dan baik.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan