Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq
Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Mereka bersepakat dalam mengakui kekuatan-kekuatan gaib
para wali, meski sejauh mengakui keajaiban seperti berjalan di atas air,
bebicara dengan binatang, pergi dari satu tempat atau disaat lain daripada saat
dan tempatnya berada. Semua contoh mengenai hal ini tercatata sebagaimana
mestinya di dalam kisah-kisah dan hadis-hadis, dan juga dibicarakan dalam kitab
suci. Misalnya cerita mengenai “orang yang memiliki pengetahuan mengenai
al-Kitab.” Yang mengatakan : “Saku sanggup membawanya kepadamu dalam sekejap
mata!.” Dan cerita mengenai Maryam, ketika Zakaria berkata kepadanya : “Hai
Maryam! Dari mana engkau mendapatkan makanan ini? Maryam menjawab : “Dari
Allah.” Juga cerita mengenai dua orang yang berada bersama Nabi. Kemudian
pergi, lalu cambuk yang mereka bawa bersinar. Hal yang semacam itu bisa terjadi
pada msa Nabi maupun pada masa-masa lain. Karena kekuata-kekuatan gaib itu diberikan
pada masa Nabi untuk menguji kebenaran (pernyataannya), maka, dengan alasan
yang sama, kekuatan-kekutan gaib tersebutbisa juga terjadi pada masa-masa lain.
Setelah wafatnya Nabi, hal ini terjadi pada Umar ibn Khattab, ketika dia
memanggil Sariyah dan berkata : “Wahai Sariyah ibn Hisn, Gunung itu! Gunung itu!,
Umar pada waktu itu sedang berkhutbah di mimbar dan Sariyah sedang mengahdapi
musuh yang jauhnya sebulan perjalanan dari sana. Cerita ini terbukti benar.
Orang-orang yang menyangkal pendapat ini beralasan bahwa, jika demikian, hal
itu mengisyaratkan penghinaan terhadap fungsi nabi, sebab seorang nabi
dibedakan dengan orang lain hanya oleh adanya fakta bahwa di mampu mendatangkan
mukjizat yang membuktikan kebenaran sabda-sabdanya, yang tidak bisa dilakukan
oleh orang-orang lain. Oleh karena itu, jika kemampuan tersebut muncul dari
diri orang lain, maka yang nabi dan yang bukan nabi tidak akan ada bedanya
lagi; atau, bukti kebenaran sabda-sabda nabi tidak akan ada lagi. Lebih-lebih,
hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat membedakan seorang nabi
dengan yang bukan nabi.
Tapi Abu Bakr al-Warraq menegaskan : “Seorang nabi itu
menjadi nabi bukan dikarenakan oleh mukjizatnya, melainkan karena Tuhan
mengutusnya dan memberi wahyu kepadanya. Jika Tuhan telah mengutus seseorang,
dan memberi wahyu kepadanya, maka jadilah dia nabi, tak soal apakah dia
memiliki kekuatan-kekuatan gaib atau tidak. Dan, adalah merupakan suatu
kewajiban untuk menerima pengakuan seorang Rasul, sekalipun dia tidak melihat mukjizat
yang mendahului kedatangannya; sebab tujuan mukjizat yang sesungguhnya dalah
memberi bukti-bukti yang tak terbantahkan oleh orang-orang yang menyangkal dan
mengguatkan ancaman hukuman atas orang-orang yang keras kepala.” Alasan untuk
menerima pernyataan seorang nabi adalah karena dia memanggil orang-orang agar
mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri sebagai suatu kewajiban,
yaitu pengakuan atas keesaan-Nya, sekaligus sangkalan atas pernyataan bahwa Dia
bersekutu, dan pelaksanaan semua yang oleh akal tidak dinyatakan mustahi,
melainkan justru waib atau dibolehkan. Kenyataannya, ada dua macam hal yang
tersangkut di sini, yaitu nabi (sejati) dan nabi palsu. Nabi itullah yang
benar, sedang nabi palsu itu salah; Tapi, dalam penampilan dan pembicaraan
mereka (seolah-olah) sama.
Mereka mengakui
bahwa Tuhan memberi nabi sejati, kekuatan sebuah mukjizat, sedangkan
nabi yang ssalah tidak memiliki kemampuan seperti nabi yang benar itu, sebab
hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat membedakan antara yang
benar dan yang salah. Sedangkan mengenai wali sejati, tapi bukan nabi, dia
tidak membuat pernyataan bahwa dia seorang nabi, atau penyataan lain yang
palsdu atau tidak benar, dia hanya mengajak orang untuk menerima kebenaran atau
yang benar. Jika Tuhan memberi suatu suatu kekuatan gaib (karamah) kepadanya,
hal ini sama sekali tidak menjadikan ragu kedudukan nabi; sebab, orang yang
benar itu sesuai dengan nabi, baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan
penampilan kekuatan gaib oleh dia itu malah untuk memperkuat nabi dan
mengejawantahkan pernyataannya, menguatkan bukti kenabiannya dan haknya agar
perbuatan dan pernyataannya sebagi nabi diterima, dan juga menegaskan prinsip
bahwa Tuhan itu Esa.
Beberapa tokoh Sufi mempertahankan pendapat mereka bahwa
mungkin saja Tuhan akan membuat musuh-musuh-Nya bisa memiliki – yaitu dengan
cara yang sebegitu rupa, sehingga tidak menimbulkan keraguan (dalam diri orang
lain) beberpa kekuatan tertentu, dengan maksud menyeeret meraka pelan-pelan
menuju kehancura. Kekuatan-keuatan itu kemudian mendatangkan kesombongan dan
kecongkakan dala jiwa mereka, dan mereka membayangkan bahwa kekuatan-kekuatan
itu merupakan kekuatan gaib yang pantas mereka terima karena tindakan-tindakan
mereka dan merupakan hak mereka dikarenakan perbuatan-perbuatan mereka; mereka
membual mengenai tindakan-tindakan mereka, menganggap diri mereka lebih unggul
dibanding orang-orang lain; mereka memandang rendah hamba-hamba Tuhan dan
bersikap sangat angkuh terhadap mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang
direncanakan oleh Tuhan atas diri mereka. Tapi mengenai para wali, kalau
anugerah gaib diberikan oleh Tuhan kepada mereka, mereka justru merasa semakin
takut dan semakin merasa hina di hadapan Tuhan, dan mereka semakin menghina
diri mereka sendiri sehingga dengan mudah mengakui kekuasaan Tuhan atas diri
mereka; dan ini menambah kekuatan dan kemampuan mereka untuk melaksanakan
tugas-tugas yang berat, dan mempertebal rasa syukur mereka terhadap Tuhan atas
semua yang telah Dia berikan kepadanya.Jadi para nabi itu diberi
mukjizat-mukjizat, orang-orang suci diberi kekuatan-kekuatan gaib, dan
musuh-musuh (Tuhan) diberi tipuan-tipuan.
Seoang tokoh Sufi berkaa : “Kekuatan-kekuatan gaib yang
diberikan kepada orang-orang suci tidak mereka ketahui dari mana datangnya;
sedangkan para nabi tahu darimana (asal)nya mukjizat-mukjizat mereka, dan
perkataan-perkataan mereka menegaskan mengenai mukjizat-mukjizat tersebut.
Perbedaan ini dikarenakan adanya kenyataan bahwa, bahwa para wali, ada bahaya
bahwa mereka jadi tergoda (oleh
kekuatan-kekuatan gaib mereka), sebab mereka tidak dijaga Tuhan sedang kan para
nabi, karena mereka tahu bahwa mereka berada di bawah lindungan Tuhan, bahaya
itu tidak muncul.
(Mereka menjelaskan perbedaan antara kekuatan gaib dan
mukjizat sebagai berikut). Kekuatan gaib para wali merupakan jawaban bagi doa,
atau penyempurnaan dari keadaan kejiwaan, atau jaminan atas kekuatan untuk
melaksanakan sesuatu tindakan, atau pemberian alat untuk dignakan sebagai mata
pencaharian, dalam cara yang di luar kebiasaan; sedangkan mukjizat yang
diberikan kepada para nabi itu merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu
dari sesuatu yang tidak ada, atau mengubah sifat yang esensial dari sebuah
obyek.
Beberapa ahli ilmu kalam dan tokoh Sufi mengakui bahwa
mukjizat-mukjizat ini bisa jadi diberikan kepada orang-orang yang slah, dengan
cara yang tidak mereka ketahui pada saat mereka mengaku memiliki
mukjizat-mukjizat tersebut, tapi sikap mereka sama sekali tidak menimbulkan
keraguan. Contoh-contoh hal ini adalah; kisah mengenai Sungai Nil yang mengalir
ketika Fir’aun menyuruhnya mengalir; dan kisah mengenai Dajjal, seperti yang
diceritakan oleh Muhammad saw. yang akan membunuh seseorang kemudian, sebagai
yang beliau gambarkan, akan menghidupkannya kembali. Mereka menjelaskan kedua
masalah ini dengan menyatakan bahwa masing-masing mengkau memiliki sesuatu yang
sama sekali tidak menimbulkan keraguan, sebab siffat-sifat mereka yang
sesungguhnya memiliki bukti yang cukup dari kepalsuan pernyataan bahwa mereka memiliki
kekuatan-kekuatan Tuhan (rububiyah).
Mereka berselisih paham mengenai kemungkinan bagi wali
untuk mengetahui bahwa dirinya seorang wali. Seorang tokoh Sufi berkata : “Hal
ini tidak mungkin, sebab pengethuan semacam itu akan menghapuskan ketakutannya akan
masalah itu dan dengan begitu mengisyaratkan rasa aman (amn). Padahal isyarat
rasa man itu berarti hapusnya kehambaan,Sebab hamba (tuhan) itu berada di
antara ketakuan dan harapan, Tuhan berffirman : “Mereka berdoa kepda Kami
dengan perasaan harap-harap cemas.” Tapi tokoh terbesar dan terpenting Sufi
mempertahankan pendapatnya bahwa mungkin saja bagi wali itu untuk menyadari
kewaliannya; sebab kewalian itu merupakan karunia (karamah) dan Tuhan untuk
menusai; dan manusia diizinkan untuk menyadari kerunia dan kemurahn Tuhan,
sebab dengan begitu hatinya akan tersentuh dan lebih bersyukur.
Ada dua jenis kewalian. Yang pertama adalah semata-mata
terjauhkannya seseorang dari permusuhan, dan dalam hal ini berlaku umum bagi
semua orang beriman; tidak perlu orang itu menyadarinya, atau mengetahuinya,
sebab hal itu hanya dimaksudkan dalam arti umum, sebagaimana dinyatakan dalam
kalimat ini, “Orang yang beriman adalah karib (wali) Tuhan.” Yang kedua adalah
kewalian orang-orang yang khusus dipilih, dan hal ini perlu disadari dan
diketahui oleh orang itu. Kalau seseorang memiliki kwajlian ini, maka ia dijaga
agar tidak berbangga diri dan, karena itu, dia tidak jatuh dalam kecongkakan;
dia dijauhkan dari orang –orang lain, yaitu dalam arti ikut menikmati
kesenangan dari kebanggan mereka, dan karenanya mereka tidak bisa menggodanya.
Dia dihindarkan dari kesalahan-kesalahan yang telah menjadi sifat manusia,
meskipun sebutan sebagai manusia biasa tetap melekat dalam diri mereka; karena
itu, dia tidak ikut menikmati kesenangan nafsunya, dalam cara yang begitu rupa,
seperti kalau dia asyik-masyuk di dalam agamanya, meskipun kesenangan
alamiah tetap dinikmatinya. Ini semua
merupakan sifat-sifat khusus dari kekariban Tuhan (wilayah) dengan manusia, dan
jika seseoang memiliki sifat-sifat ini, maka musuh itu tidak akan mampu
mencapainya dan membawanya ke dalam kesesatan; sebab Tuhan berfirman :
“Sesungguhnya, hamba-hamba Ku, tidak ada kemampuanmu untuk menyesatkan mereka.
Sekalipun begitu, dia tidak dijaga oleh Tuhan dari melakukan dosa-dosa yang
lebih kecil maupun yang lebih besar; tapi jika jatuh ke dalam salah satunya,
maka tobat yang tulus sudah tersedia dekat kepadanya. Tapi, Nabi dijaga oleh
Tuhan; semuanya mengakui bahwa tidak ada dosa besar yang bisa menghinggapinya,
sementara sebagian orang lain bahkan beranggapan bahwa hal itu berlaku pula
untuk dosa-dosa kecil. Lebih-lebih, dalam dirinya, rasa takut akan masalah itu
jelas sudah terlewatkan tanpa ada penghalang. Nabi memberi tahu para sahabat
bahwa mereka adalah para penghuni surga, da mengenai sepuluh orang di antara
mereka, diberi kesaksian bahwa mereka akan dimasukan ke dalam surga; yang
mengisahkan hadits ini adalah Sa’id ib Zaid, dan dia termasuk salah seorang
dari sepuluh orang tersebut. Jadi, kesaksian Nabi itu harus diterima dengan
persetujuan bulat, kemantapan dan kepercayaan; dan ini jelasa mengisyaratkan
kemanan dari peraliha, dan hapusnya rasa takut akan perubahan. Toh, masihh ada
kisah-kisah termasyhur yang diceritakan untuk menggambarkan rasa takut yang
encekam orang-orang ini (yang telah diberi tempat di surga), atas kesaksian
nabi. Abu Bakr berkata : “Kalau-kalau aku menjadi seperti sebuah korma yang
dicucuki burung-burung.” Umar berkata : “Kalau-kalau kau menjadi jerami begini.
Kalau-kalau aku menjadi bukan apa-apa.” Abu Ubaidah berkata : “Kalau saja aku
bsia menjadi seekor biri-biri, dan pemilik-ku akan menjadikan aku korban dan
memakan dagingku serta meneguk kaldu dagingku.” A’isyah berkata : “ Kalau-kalau
aku menajdi selembar daun dari pohon ini.” Padahal wanita itulah yang diberi
kesaksian bahwa wanita ini adalah istri nabi di dunai Kini dan dunia nanti.”
Perasaan-perasaan itu mengusik hati mereka, karena mereka takut jangan-jangan
mereka menanggung dosa karena tindakan-tindakan mereka yag menentang (Tuhan),
tidak mencermin penghormatan kepada Tuhan dan kepada kekuasaan-Nya; sebab,
mereka memiliki rasa hormat kepada Tuhan yang begitu besar sehingga mereka
tidak mungkin menentang-Nya, sekalipun mereka tidak akan dihukum oleh-Nya.
Maka
Umar berkata : “Alangkah baiknya orang seperti Suhaib itu! Dia tidak akan
ingkar dari Tuhan, sekalipun jika dia tidak takut kepada-Nya.” Yang dia
maksudkan adalah “ Suhaib tidak ingkar dari Tuhan bukan karena dia takut akan
akibat-akibatnya, tapi karena dia takzim kepada Tuhan dan menghormati
kekuasaan-Nya, serta malu kana Dia, Jadi, rasa takut dari orang-orang yang
perkataan-perkataannya telah kami kutip itu, bukanlah rasa takut akan
peralihhan dan perubahan; sebab, rasa takut akan kedua hal itu, pada saat Nabi
telah membuat kesaksian, akan mengisyaratkan keraguan atas penuturan Nabi, dan
itu berarti kekafiran; rasa takut itu pun bukanlah rasa takut akan hukuman
neraka, tanpa mereka harus ada di sana selamanya, sebab mereka telah tahu bahwa
mereka tidak akan dihukum dengan neraka karena perbuatan-perbuatan mereka.
Sebab, sekalipun mereka melakukan dosa-dosa kecil, dosa-dosa tersebut akan
diampuni karena mereka menjauh dari dosa-dosa besar , atau dikarenakan
penderitaan yang mereka alam selama berada di dunia. Abdullah ibn Umar menuturkan
bahwa Abu Bakr al-Siddiq berkata : “Aku sedang berada bersama Rasulullah ketika
ayat yang berikut ini diturunkan : “Barang siapa mengerjakan kejahatan, tentu
akan diberi pembalasan yang setimpal dengan kejahatan itu. Nabi berkata :
“Tidakkah engkau sebaiknya ku suruh menyitir ayat yang baru saja diturunkan
kepadaku itu?” Aku mebjawab : “Tentu saja, Wahai Rasul Allah!. Maka beliau
menyuruhku menyitir ayat itu; dan aku tidak tahu apa yag menimpaku, tapi aku
merasa seakan-akan punggungku patah, dan aku meregangkan badanku. Melihat itu
Nabi bertanya : “Apa yang membuat mu sakit, Abu Bakr? Aku menjawab : “Wahai
Rasul Allah! Aku memohon kepdamu demi bapak dan ibuku, adakah di antara kita
yang belum pernah melakukan kejahatan? Sesungguhnya kita diberi balasan untuk
semua perbuatan kita>’ Nabi menyahut L “Untuk engkau, Abu Bakr, dan untuk
orang-orang beriman, mereka akan diberi balasan untuk semua perbuatan mereka di
dunia ini, sehingga engkau akan bertemu dengan Tuhan tanpa tanggungan dosa,
tapi, untuk yang selebihnya. Tuhan akan mengumpulkan balasan untuk mereka itu,
dan mereka akan diberi balasan itu nanti pada Hari Kebangkitan.” Atau, jika
mereka melakukan dosa-dosa besar , maka tobat akan segera menghapuskannya, dan
kesaksian Nabi mengenai surga akan terpenuhi untuk mereka; sebab, hais ini
secara jelas menyatakan bahwa Abu Bakr akan melewati Hari Kebangkitan tanpa
tanggungan dosa sama sekali. Pada kesempatan lain Nabi berkata kepada Umar :
“Bagaimana engkau tahu bahwa Tuhan belum memberi keputusan mengenai orang-orang
yang bertempur di Badr, padahal ia berfirman : “Lakukan apa yang kamu inginkan,
sebab Aku telah mengampunimu?.”
Beberapa hali mempertahankan pendapat mereka bahwa
sementara mereka diberi janji surga, mereka tidak diberi janji bahwa mereka
tidak akan dihukum. Jika hal ini benar, maka mereka akan takut pada neraka,
sekalipun mereka tahu bahwa mereka tidak akan berada di sana selamanya; dan,
dalam hal itu, orang-orang yang lebih disukai, sama sekali tidak berbeda dengan
orang-orang beriman lainnya, yang sudah jelas akan di jauhkan dari neraka. Nah,
Jika ada kemungkinan bahwa Abu Bakr dan Umar ankan masuk neraka, sekalipun nabi
telah melukiskan mereka sebagai “Pemimpin para sesepuh penghuni surga, baik
yang lebih dulu maupun yang kemudian, maka akan ada kemungkinan bahwa al-Hasan
dan al-Husain juga akan (masuk neraka) sekalipun Nabi tela melukiskan mereka
sebagai “Pemimpin para peuda penghuni surga”. Kalau begitu, Jika ada
kemungkinan bahwa Tuhan akan memasukan para pemimpin penghuni surga ke neraka,
dan menghukum mereka di sana, maka tidak ada kemungkinan bahwa seseorang bisa
masuk surga tanpa lebih dulu dihukum dengan neraka, Lebih jauh lagi Nabi
berkata : “ Sedangkan mengenai orang-orang dari taraf yang lebih tinggi, mereka
akan dipandang oleh orang-orang yang ada di bawah mereka sebagaimana engkau
memandang sebuah bintang yang muncul dari kaki langit. Sesungguhnya Abu Bakr
dan Umar ada di antara mereka, dan mereka diberkahi. Nah, Jika dua orang ini
akan dimasukan ke neraka, dan di sana mereka dihinakan – sebab Tuhan berfirman
: “Siapa yang Engkau masukan ke dalam neraka, sesungguhnya Engkau telah
menghinakannya.”” Lalu bagaimana yang lain-lain bisa dijauhkan dari sana? Lgi,
Ibn Umar bercerita bahwa suatu hati Nabi bersama Abu Bakr dan Umar masuk ke Masjid,
yang seorang di samping kanannya dan yang seorang lagi di samping kirinya, dan
beliau memegang tangan meraka dan berkata : “Beginilah kami nanti akan diangkat
ke tampat yang lebih tinggi pada Hari Kebangkitan.” Jika hal ini mungkin,
seperti disebutkan di atas, bahwa kedua orang itu nanti akan masuk neraka, maka
mungkin pula bagi orang yang ketiga untuk masuk neraa. Tapi Nabi berkata :
“Akan masuk surga tujuh puluh umatku tanpa melalui penghitungan.” Ukkayah ibn
Mihshan al-Asadi berkata : “Wahai Rasul Allah! Doakanlah kepada Tuhan agar aku
termasuk salah seorang dari mereka.” Nabi menyahut : “ Engkau salah seorang
dari mereka.” Nah, Abu Bakr dan Umar itu lebih baik dibanding Ukkasyah, sebab
Nabi melukiskan mereka sebagai “para pemimpin para sesepuh penghuni surga, baik
yang lebih dahulu maupun yang kemudian.” Lalu, bagaimana mungkin Ukkasyah akan
masuk surga tanpa melalui penghitungan, padahal dia tidak melebihi mereka dalam
kebaikannya, kalau mereka saja masuk neraka? Ini jelas merupakan sebuah kesalahan
besar. Jadi hadis-hadis ini menjelaskan bahwa tidak ada kemungkinan kedua orang
itu dihukum dengan neraka, terutama
dilihat dari kesaksian Nabi bahwa mereka akan berada di surga. Bagaimanapu
juga, mereka aman; dan apapun yang telah dikatakan mengenai delapan orang yang
telah disebutkan sebelumnya, apakah mereka itu aman atau tidak, hanya
menyangkut mereka saja, dan lepas dari yang dua orang ini.
Sedangkan mengenai cara para wali tahu perihal (tempat
yang telah disediakan untuk mereka di surga) lepas dari sepuluh orang yang
disebut terdahulu – sebab mereka menyimaknya dari percakapan langusng dengan
Nabi, Sedangkan yang lain-lain tidak menikmati hak khusu ini, mengingat bahwa
mereka tidak hidup pada masa nabi --- mereka menjadi tahu periha itu dari kemurahan
Tuhan yang diberikan kepaa mereka sebagai wali; sebab hati nurani mereka
mengenal keadaan-keadaan kejiwaan itu, yang merupakan tanda-tanda kekariban
dengan Tuhan. Allah memilih mereka dan menjauhkan diri merka dari hal-hal lain
agar mereka bisa dekat kepada-Nya, sehingga hati nurani mereka menjadi kebal
dari segala kejadian, peristiwa maupun perubahan, yaitu hal-hal yang bisa
menarik mereka agar menjauh dari-Nya; lebih-lebih mereka mereka bisa menikmati
penglihatan dan wahyu-wahyu yang hanya diperuntukan oleh Tuhan bag orang-orang
yang secara khusus dipilih sendiri oleh-Nya di alam kekal, dan juha menikmati
hal-hal semacam itu yang tidak diberikan-Nya kepada musuh-musuh-Nya. Ada Hadis
Nabi yang berrkenaan dengan Abu Bakr al-Siddiq : “Dia lebih unggul daripada
kamu bukan karena dia banyak berpuasa dan berdoa, tapi karena sesuatu yang
telah diisikan di dalam dadanya, atau di dalam hatinya.” Inilah arti hadis itu,
yang menenteramkan hati mereka, karena mereka merasakan dalam hati mereka
karunia dan rahmat Tuhan, dan bahwa karunia dan rahmat itu nyata dan bukan
hanya tipuan belaka, seperti yang terjadi pada orang yang oleh Tuhan diberi.”
tanda-tanda dan yang “kemudian dia berpantang mempercayainya”. Mereka tahu
bahwa tanda-tanda yang nyata itu tidak
sama dengan tanda-tanda yang menipun dan menyesatkan, sebab tanda-tandan yang
menipu itu hanya mempengaruhi tata lahir mereka saja dan berupa suatu kejadian
luar biasa yang menarik hati orang yang kena tipu itu serta memerdayakan dia,
sehingga dia mengira bahwa tanda-tanda tersebut merupakan gejala-gejala yang
menandai kesucian seseorang dan kedekatannya (kepada) Tuhan; padahal
sebenarnya, tanda-tanda itu sebenarnya, tanda-tandan itu semata-mata tipuan dan
kecurigaan. Kalau memang mungkin bahwa Tuhan akan membuat karunia khusus yang
doanugerahkan oleh-Nya kepada prara wali-Nya sama dengan tipuan-tipuan yang
digunakan-Nya untuk membawa musuh-musuh-Nya ke dalam kehancuran, maka hal ini
berarti bahwa Dia bisa saja berusaha dengan para wali-Nya sebagaimana Dia
berurusan dengan musuh-musuh-Nya.Dia bahkan bisa saja mengutuk nabi-nabi-Nya
dan menjauhkan mereka dari-Nya, sebagaimana yang Dia lakukan terhadap
orang-orang yang telah diberi-Nya tanda-tanda; tapi Tuhan sama sekali tidak
dapat dikatakan sepeerti itu. Lebih-lebihm jika memang mungkin bagi musuh-musuh
(Tuna) untuk menikmati tanda-tanda yang dimiliki oleh para wali, dan
orang-orang terpilih, sedangkan yang menunjuk seseorang sebagai wali dan orang terpilih itu, dalam
kenyataannya, tidak menunjuk mereka, maka bagi mereka itu tidak akan ada
petunjuk menuju kebenaran sama sekali. Tapi tanda-tanda walayah itu bukan hanya
hiasan luar dan pengejawatahan dari yang luar biasasaja; tanda-tandanya yang
benar ada di dalam dan merupakan pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh Tuhandi
dalam hati nurani, yaitu pengalaman-pengalaman yang hanya diketahui oleh Tuhan
serta orang-orang yang telah menikmati pengalaman-pengalaman tersebut.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan