Catatan Popular

Ahad, 11 Oktober 2015

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN KE 26 TENTANG KEKUATAN GHAIB (KARAMAH) PARA WALI



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Mereka bersepakat dalam mengakui kekuatan-kekuatan gaib para wali, meski sejauh mengakui keajaiban seperti berjalan di atas air, bebicara dengan binatang, pergi dari satu tempat atau disaat lain daripada saat dan tempatnya berada. Semua contoh mengenai hal ini tercatata sebagaimana mestinya di dalam kisah-kisah dan hadis-hadis, dan juga dibicarakan dalam kitab suci. Misalnya cerita mengenai “orang yang memiliki pengetahuan mengenai al-Kitab.” Yang mengatakan : “Saku sanggup membawanya kepadamu dalam sekejap mata!.” Dan cerita mengenai Maryam, ketika Zakaria berkata kepadanya : “Hai Maryam! Dari mana engkau mendapatkan makanan ini? Maryam menjawab : “Dari Allah.” Juga cerita mengenai dua orang yang berada bersama Nabi. Kemudian pergi, lalu cambuk yang mereka bawa bersinar. Hal yang semacam itu bisa terjadi pada msa Nabi maupun pada masa-masa lain. Karena kekuata-kekuatan gaib itu diberikan pada masa Nabi untuk menguji kebenaran (pernyataannya), maka, dengan alasan yang sama, kekuatan-kekutan gaib tersebutbisa juga terjadi pada masa-masa lain. Setelah wafatnya Nabi, hal ini terjadi pada Umar ibn Khattab, ketika dia memanggil Sariyah dan berkata : “Wahai Sariyah ibn Hisn, Gunung itu! Gunung itu!, Umar pada waktu itu sedang berkhutbah di mimbar dan Sariyah sedang mengahdapi musuh yang jauhnya sebulan perjalanan dari sana. Cerita ini terbukti benar. Orang-orang yang menyangkal pendapat ini beralasan bahwa, jika demikian, hal itu mengisyaratkan penghinaan terhadap fungsi nabi, sebab seorang nabi dibedakan dengan orang lain hanya oleh adanya fakta bahwa di mampu mendatangkan mukjizat yang membuktikan kebenaran sabda-sabdanya, yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang lain. Oleh karena itu, jika kemampuan tersebut muncul dari diri orang lain, maka yang nabi dan yang bukan nabi tidak akan ada bedanya lagi; atau, bukti kebenaran sabda-sabda nabi tidak akan ada lagi. Lebih-lebih, hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat membedakan seorang nabi dengan yang bukan nabi.

Tapi Abu Bakr al-Warraq menegaskan : “Seorang nabi itu menjadi nabi bukan dikarenakan oleh mukjizatnya, melainkan karena Tuhan mengutusnya dan memberi wahyu kepadanya. Jika Tuhan telah mengutus seseorang, dan memberi wahyu kepadanya, maka jadilah dia nabi, tak soal apakah dia memiliki kekuatan-kekuatan gaib atau tidak. Dan, adalah merupakan suatu kewajiban untuk menerima pengakuan seorang Rasul, sekalipun dia tidak melihat mukjizat yang mendahului kedatangannya; sebab tujuan mukjizat yang sesungguhnya dalah memberi bukti-bukti yang tak terbantahkan oleh orang-orang yang menyangkal dan mengguatkan ancaman hukuman atas orang-orang yang keras kepala.” Alasan untuk menerima pernyataan seorang nabi adalah karena dia memanggil orang-orang agar mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri sebagai suatu kewajiban, yaitu pengakuan atas keesaan-Nya, sekaligus sangkalan atas pernyataan bahwa Dia bersekutu, dan pelaksanaan semua yang oleh akal tidak dinyatakan mustahi, melainkan justru waib atau dibolehkan. Kenyataannya, ada dua macam hal yang tersangkut di sini, yaitu nabi (sejati) dan nabi palsu. Nabi itullah yang benar, sedang nabi palsu itu salah; Tapi, dalam penampilan dan pembicaraan mereka (seolah-olah) sama.

Mereka mengakui  bahwa Tuhan memberi nabi sejati, kekuatan sebuah mukjizat, sedangkan nabi yang ssalah tidak memiliki kemampuan seperti nabi yang benar itu, sebab hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Sedangkan mengenai wali sejati, tapi bukan nabi, dia tidak membuat pernyataan bahwa dia seorang nabi, atau penyataan lain yang palsdu atau tidak benar, dia hanya mengajak orang untuk menerima kebenaran atau yang benar. Jika Tuhan memberi suatu suatu kekuatan gaib (karamah) kepadanya, hal ini sama sekali tidak menjadikan ragu kedudukan nabi; sebab, orang yang benar itu sesuai dengan nabi, baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan penampilan kekuatan gaib oleh dia itu malah untuk memperkuat nabi dan mengejawantahkan pernyataannya, menguatkan bukti kenabiannya dan haknya agar perbuatan dan pernyataannya sebagi nabi diterima, dan juga menegaskan prinsip bahwa Tuhan itu Esa.

Beberapa tokoh Sufi mempertahankan pendapat mereka bahwa mungkin saja Tuhan akan membuat musuh-musuh-Nya bisa memiliki – yaitu dengan cara yang sebegitu rupa, sehingga tidak menimbulkan keraguan (dalam diri orang lain) beberpa kekuatan tertentu, dengan maksud menyeeret meraka pelan-pelan menuju kehancura. Kekuatan-keuatan itu kemudian mendatangkan kesombongan dan kecongkakan dala jiwa mereka, dan mereka membayangkan bahwa kekuatan-kekuatan itu merupakan kekuatan gaib yang pantas mereka terima karena tindakan-tindakan mereka dan merupakan hak mereka dikarenakan perbuatan-perbuatan mereka; mereka membual mengenai tindakan-tindakan mereka, menganggap diri mereka lebih unggul dibanding orang-orang lain; mereka memandang rendah hamba-hamba Tuhan dan bersikap sangat angkuh terhadap mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan atas diri mereka. Tapi mengenai para wali, kalau anugerah gaib diberikan oleh Tuhan kepada mereka, mereka justru merasa semakin takut dan semakin merasa hina di hadapan Tuhan, dan mereka semakin menghina diri mereka sendiri sehingga dengan mudah mengakui kekuasaan Tuhan atas diri mereka; dan ini menambah kekuatan dan kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas yang berat, dan mempertebal rasa syukur mereka terhadap Tuhan atas semua yang telah Dia berikan kepadanya.Jadi para nabi itu diberi mukjizat-mukjizat, orang-orang suci diberi kekuatan-kekuatan gaib, dan musuh-musuh (Tuhan) diberi tipuan-tipuan. 

Seoang tokoh Sufi berkaa : “Kekuatan-kekuatan gaib yang diberikan kepada orang-orang suci tidak mereka ketahui dari mana datangnya; sedangkan para nabi tahu darimana (asal)nya mukjizat-mukjizat mereka, dan perkataan-perkataan mereka menegaskan mengenai mukjizat-mukjizat tersebut. Perbedaan ini dikarenakan adanya kenyataan bahwa, bahwa para wali, ada bahaya bahwa mereka jadi tergoda  (oleh kekuatan-kekuatan gaib mereka), sebab mereka tidak dijaga Tuhan sedang kan para nabi, karena mereka tahu bahwa mereka berada di bawah lindungan Tuhan, bahaya itu tidak muncul.

(Mereka menjelaskan perbedaan antara kekuatan gaib dan mukjizat sebagai berikut). Kekuatan gaib para wali merupakan jawaban bagi doa, atau penyempurnaan dari keadaan kejiwaan, atau jaminan atas kekuatan untuk melaksanakan sesuatu tindakan, atau pemberian alat untuk dignakan sebagai mata pencaharian, dalam cara yang di luar kebiasaan; sedangkan mukjizat yang diberikan kepada para nabi itu merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dari sesuatu yang tidak ada, atau mengubah sifat yang esensial dari sebuah obyek.

Beberapa ahli ilmu kalam dan tokoh Sufi mengakui bahwa mukjizat-mukjizat ini bisa jadi diberikan kepada orang-orang yang slah, dengan cara yang tidak mereka ketahui pada saat mereka mengaku memiliki mukjizat-mukjizat tersebut, tapi sikap mereka sama sekali tidak menimbulkan keraguan. Contoh-contoh hal ini adalah; kisah mengenai Sungai Nil yang mengalir ketika Fir’aun menyuruhnya mengalir; dan kisah mengenai Dajjal, seperti yang diceritakan oleh Muhammad saw. yang akan membunuh seseorang kemudian, sebagai yang beliau gambarkan, akan menghidupkannya kembali. Mereka menjelaskan kedua masalah ini dengan menyatakan bahwa masing-masing mengkau memiliki sesuatu yang sama sekali tidak menimbulkan keraguan, sebab siffat-sifat mereka yang sesungguhnya memiliki bukti yang cukup dari kepalsuan pernyataan bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan Tuhan (rububiyah).
Mereka berselisih paham mengenai kemungkinan bagi wali untuk mengetahui bahwa dirinya seorang wali. Seorang tokoh Sufi berkata : “Hal ini tidak mungkin, sebab pengethuan semacam itu akan menghapuskan ketakutannya akan masalah itu dan dengan begitu mengisyaratkan rasa aman (amn). Padahal isyarat rasa man itu berarti hapusnya kehambaan,Sebab hamba (tuhan) itu berada di antara ketakuan dan harapan, Tuhan berffirman : “Mereka berdoa kepda Kami dengan perasaan harap-harap cemas.” Tapi tokoh terbesar dan terpenting Sufi mempertahankan pendapatnya bahwa mungkin saja bagi wali itu untuk menyadari kewaliannya; sebab kewalian itu merupakan karunia (karamah) dan Tuhan untuk menusai; dan manusia diizinkan untuk menyadari kerunia dan kemurahn Tuhan, sebab dengan begitu hatinya akan tersentuh dan lebih bersyukur.

Ada dua jenis kewalian. Yang pertama adalah semata-mata terjauhkannya seseorang dari permusuhan, dan dalam hal ini berlaku umum bagi semua orang beriman; tidak perlu orang itu menyadarinya, atau mengetahuinya, sebab hal itu hanya dimaksudkan dalam arti umum, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat ini, “Orang yang beriman adalah karib (wali) Tuhan.” Yang kedua adalah kewalian orang-orang yang khusus dipilih, dan hal ini perlu disadari dan diketahui oleh orang itu. Kalau seseorang memiliki kwajlian ini, maka ia dijaga agar tidak berbangga diri dan, karena itu, dia tidak jatuh dalam kecongkakan; dia dijauhkan dari orang –orang lain, yaitu dalam arti ikut menikmati kesenangan dari kebanggan mereka, dan karenanya mereka tidak bisa menggodanya. Dia dihindarkan dari kesalahan-kesalahan yang telah menjadi sifat manusia, meskipun sebutan sebagai manusia biasa tetap melekat dalam diri mereka; karena itu, dia tidak ikut menikmati kesenangan nafsunya, dalam cara yang begitu rupa, seperti kalau dia asyik-masyuk di dalam agamanya, meskipun kesenangan alamiah  tetap dinikmatinya. Ini semua merupakan sifat-sifat khusus dari kekariban Tuhan (wilayah) dengan manusia, dan jika seseoang memiliki sifat-sifat ini, maka musuh itu tidak akan mampu mencapainya dan membawanya ke dalam kesesatan; sebab Tuhan berfirman : “Sesungguhnya, hamba-hamba Ku, tidak ada kemampuanmu untuk menyesatkan mereka. Sekalipun begitu, dia tidak dijaga oleh Tuhan dari melakukan dosa-dosa yang lebih kecil maupun yang lebih besar; tapi jika jatuh ke dalam salah satunya, maka tobat yang tulus sudah tersedia dekat kepadanya. Tapi, Nabi dijaga oleh Tuhan; semuanya mengakui bahwa tidak ada dosa besar yang bisa menghinggapinya, sementara sebagian orang lain bahkan beranggapan bahwa hal itu berlaku pula untuk dosa-dosa kecil. Lebih-lebih, dalam dirinya, rasa takut akan masalah itu jelas sudah terlewatkan tanpa ada penghalang. Nabi memberi tahu para sahabat bahwa mereka adalah para penghuni surga, da mengenai sepuluh orang di antara mereka, diberi kesaksian bahwa mereka akan dimasukan ke dalam surga; yang mengisahkan hadits ini adalah Sa’id ib Zaid, dan dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang tersebut. Jadi, kesaksian Nabi itu harus diterima dengan persetujuan bulat, kemantapan dan kepercayaan; dan ini jelasa mengisyaratkan kemanan dari peraliha, dan hapusnya rasa takut akan perubahan. Toh, masihh ada kisah-kisah termasyhur yang diceritakan untuk menggambarkan rasa takut yang encekam orang-orang ini (yang telah diberi tempat di surga), atas kesaksian nabi. Abu Bakr berkata : “Kalau-kalau aku menjadi seperti sebuah korma yang dicucuki burung-burung.” Umar berkata : “Kalau-kalau kau menjadi jerami begini. Kalau-kalau aku menjadi bukan apa-apa.” Abu Ubaidah berkata : “Kalau saja aku bsia menjadi seekor biri-biri, dan pemilik-ku akan menjadikan aku korban dan memakan dagingku serta meneguk kaldu dagingku.” A’isyah berkata : “ Kalau-kalau aku menajdi selembar daun dari pohon ini.” Padahal wanita itulah yang diberi kesaksian bahwa wanita ini adalah istri nabi di dunai Kini dan dunia nanti.” Perasaan-perasaan itu mengusik hati mereka, karena mereka takut jangan-jangan mereka menanggung dosa karena tindakan-tindakan mereka yag menentang (Tuhan), tidak mencermin penghormatan kepada Tuhan dan kepada kekuasaan-Nya; sebab, mereka memiliki rasa hormat kepada Tuhan yang begitu besar sehingga mereka tidak mungkin menentang-Nya, sekalipun mereka tidak akan dihukum oleh-Nya. 

Maka Umar berkata : “Alangkah baiknya orang seperti Suhaib itu! Dia tidak akan ingkar dari Tuhan, sekalipun jika dia tidak takut kepada-Nya.” Yang dia maksudkan adalah “ Suhaib tidak ingkar dari Tuhan bukan karena dia takut akan akibat-akibatnya, tapi karena dia takzim kepada Tuhan dan menghormati kekuasaan-Nya, serta malu kana Dia, Jadi, rasa takut dari orang-orang yang perkataan-perkataannya telah kami kutip itu, bukanlah rasa takut akan peralihhan dan perubahan; sebab, rasa takut akan kedua hal itu, pada saat Nabi telah membuat kesaksian, akan mengisyaratkan keraguan atas penuturan Nabi, dan itu berarti kekafiran; rasa takut itu pun bukanlah rasa takut akan hukuman neraka, tanpa mereka harus ada di sana selamanya, sebab mereka telah tahu bahwa mereka tidak akan dihukum dengan neraka karena perbuatan-perbuatan mereka. Sebab, sekalipun mereka melakukan dosa-dosa kecil, dosa-dosa tersebut akan diampuni karena mereka menjauh dari dosa-dosa besar , atau dikarenakan penderitaan yang mereka alam selama berada di dunia. Abdullah ibn Umar menuturkan bahwa Abu Bakr al-Siddiq berkata : “Aku sedang berada bersama Rasulullah ketika ayat yang berikut ini diturunkan : “Barang siapa mengerjakan kejahatan, tentu akan diberi pembalasan yang setimpal dengan kejahatan itu. Nabi berkata : “Tidakkah engkau sebaiknya ku suruh menyitir ayat yang baru saja diturunkan kepadaku itu?” Aku mebjawab : “Tentu saja, Wahai Rasul Allah!. Maka beliau menyuruhku menyitir ayat itu; dan aku tidak tahu apa yag menimpaku, tapi aku merasa seakan-akan punggungku patah, dan aku meregangkan badanku. Melihat itu Nabi bertanya : “Apa yang membuat mu sakit, Abu Bakr? Aku menjawab : “Wahai Rasul Allah! Aku memohon kepdamu demi bapak dan ibuku, adakah di antara kita yang belum pernah melakukan kejahatan? Sesungguhnya kita diberi balasan untuk semua perbuatan kita>’ Nabi menyahut L “Untuk engkau, Abu Bakr, dan untuk orang-orang beriman, mereka akan diberi balasan untuk semua perbuatan mereka di dunia ini, sehingga engkau akan bertemu dengan Tuhan tanpa tanggungan dosa, tapi, untuk yang selebihnya. Tuhan akan mengumpulkan balasan untuk mereka itu, dan mereka akan diberi balasan itu nanti pada Hari Kebangkitan.” Atau, jika mereka melakukan dosa-dosa besar , maka tobat akan segera menghapuskannya, dan kesaksian Nabi mengenai surga akan terpenuhi untuk mereka; sebab, hais ini secara jelas menyatakan bahwa Abu Bakr akan melewati Hari Kebangkitan tanpa tanggungan dosa sama sekali. Pada kesempatan lain Nabi berkata kepada Umar : “Bagaimana engkau tahu bahwa Tuhan belum memberi keputusan mengenai orang-orang yang bertempur di Badr, padahal ia berfirman : “Lakukan apa yang kamu inginkan, sebab Aku telah mengampunimu?.”

Beberapa hali mempertahankan pendapat mereka bahwa sementara mereka diberi janji surga, mereka tidak diberi janji bahwa mereka tidak akan dihukum. Jika hal ini benar, maka mereka akan takut pada neraka, sekalipun mereka tahu bahwa mereka tidak akan berada di sana selamanya; dan, dalam hal itu, orang-orang yang lebih disukai, sama sekali tidak berbeda dengan orang-orang beriman lainnya, yang sudah jelas akan di jauhkan dari neraka. Nah, Jika ada kemungkinan bahwa Abu Bakr dan Umar ankan masuk neraka, sekalipun nabi telah melukiskan mereka sebagai “Pemimpin para sesepuh penghuni surga, baik yang lebih dulu maupun yang kemudian, maka akan ada kemungkinan bahwa al-Hasan dan al-Husain juga akan (masuk neraka) sekalipun Nabi tela melukiskan mereka sebagai “Pemimpin para peuda penghuni surga”. Kalau begitu, Jika ada kemungkinan bahwa Tuhan akan memasukan para pemimpin penghuni surga ke neraka, dan menghukum mereka di sana, maka tidak ada kemungkinan bahwa seseorang bisa masuk surga tanpa lebih dulu dihukum dengan neraka, Lebih jauh lagi Nabi berkata : “ Sedangkan mengenai orang-orang dari taraf yang lebih tinggi, mereka akan dipandang oleh orang-orang yang ada di bawah mereka sebagaimana engkau memandang sebuah bintang yang muncul dari kaki langit. Sesungguhnya Abu Bakr dan Umar ada di antara mereka, dan mereka diberkahi. Nah, Jika dua orang ini akan dimasukan ke neraka, dan di sana mereka dihinakan – sebab Tuhan berfirman : “Siapa yang Engkau masukan ke dalam neraka, sesungguhnya Engkau telah menghinakannya.”” Lalu bagaimana yang lain-lain bisa dijauhkan dari sana? Lgi, Ibn Umar bercerita bahwa suatu hati Nabi bersama Abu Bakr dan Umar masuk ke Masjid, yang seorang di samping kanannya dan yang seorang lagi di samping kirinya, dan beliau memegang tangan meraka dan berkata : “Beginilah kami nanti akan diangkat ke tampat yang lebih tinggi pada Hari Kebangkitan.” Jika hal ini mungkin, seperti disebutkan di atas, bahwa kedua orang itu nanti akan masuk neraka, maka mungkin pula bagi orang yang ketiga untuk masuk neraa. Tapi Nabi berkata : “Akan masuk surga tujuh puluh umatku tanpa melalui penghitungan.” Ukkayah ibn Mihshan al-Asadi berkata : “Wahai Rasul Allah! Doakanlah kepada Tuhan agar aku termasuk salah seorang dari mereka.” Nabi menyahut : “ Engkau salah seorang dari mereka.” Nah, Abu Bakr dan Umar itu lebih baik dibanding Ukkasyah, sebab Nabi melukiskan mereka sebagai “para pemimpin para sesepuh penghuni surga, baik yang lebih dahulu maupun yang kemudian.” Lalu, bagaimana mungkin Ukkasyah akan masuk surga tanpa melalui penghitungan, padahal dia tidak melebihi mereka dalam kebaikannya, kalau mereka saja masuk neraka? Ini jelas merupakan sebuah kesalahan besar. Jadi hadis-hadis ini menjelaskan bahwa tidak ada kemungkinan kedua orang itu  dihukum dengan neraka, terutama dilihat dari kesaksian Nabi bahwa mereka akan berada di surga. Bagaimanapu juga, mereka aman; dan apapun yang telah dikatakan mengenai delapan orang yang telah disebutkan sebelumnya, apakah mereka itu aman atau tidak, hanya menyangkut mereka saja, dan lepas dari yang dua orang ini.

Sedangkan mengenai cara para wali tahu perihal (tempat yang telah disediakan untuk mereka di surga) lepas dari sepuluh orang yang disebut terdahulu – sebab mereka menyimaknya dari percakapan langusng dengan Nabi, Sedangkan yang lain-lain tidak menikmati hak khusu ini, mengingat bahwa mereka tidak hidup pada masa nabi --- mereka menjadi tahu periha itu dari kemurahan Tuhan yang diberikan kepaa mereka sebagai wali; sebab hati nurani mereka mengenal keadaan-keadaan kejiwaan itu, yang merupakan tanda-tanda kekariban dengan Tuhan. Allah memilih mereka dan menjauhkan diri merka dari hal-hal lain agar mereka bisa dekat kepada-Nya, sehingga hati nurani mereka menjadi kebal dari segala kejadian, peristiwa maupun perubahan, yaitu hal-hal yang bisa menarik mereka agar menjauh dari-Nya; lebih-lebih mereka mereka bisa menikmati penglihatan dan wahyu-wahyu yang hanya diperuntukan oleh Tuhan bag orang-orang yang secara khusus dipilih sendiri oleh-Nya di alam kekal, dan juha menikmati hal-hal semacam itu yang tidak diberikan-Nya kepada musuh-musuh-Nya. Ada Hadis Nabi yang berrkenaan dengan Abu Bakr al-Siddiq : “Dia lebih unggul daripada kamu bukan karena dia banyak berpuasa dan berdoa, tapi karena sesuatu yang telah diisikan di dalam dadanya, atau di dalam hatinya.” Inilah arti hadis itu, yang menenteramkan hati mereka, karena mereka merasakan dalam hati mereka karunia dan rahmat Tuhan, dan bahwa karunia dan rahmat itu nyata dan bukan hanya tipuan belaka, seperti yang terjadi pada orang yang oleh Tuhan diberi.” tanda-tanda dan yang “kemudian dia berpantang mempercayainya”. Mereka tahu bahwa tanda-tanda  yang nyata itu tidak sama dengan tanda-tanda yang menipun dan menyesatkan, sebab tanda-tandan yang menipu itu hanya mempengaruhi tata lahir mereka saja dan berupa suatu kejadian luar biasa yang menarik hati orang yang kena tipu itu serta memerdayakan dia, sehingga dia mengira bahwa tanda-tanda tersebut merupakan gejala-gejala yang menandai kesucian seseorang dan kedekatannya (kepada) Tuhan; padahal sebenarnya, tanda-tanda itu sebenarnya, tanda-tandan itu semata-mata tipuan dan kecurigaan. Kalau memang mungkin bahwa Tuhan akan membuat karunia khusus yang doanugerahkan oleh-Nya kepada prara wali-Nya sama dengan tipuan-tipuan yang digunakan-Nya untuk membawa musuh-musuh-Nya ke dalam kehancuran, maka hal ini berarti bahwa Dia bisa saja berusaha dengan para wali-Nya sebagaimana Dia berurusan dengan musuh-musuh-Nya.Dia bahkan bisa saja mengutuk nabi-nabi-Nya dan menjauhkan mereka dari-Nya, sebagaimana yang Dia lakukan terhadap orang-orang yang telah diberi-Nya tanda-tanda; tapi Tuhan sama sekali tidak dapat dikatakan sepeerti itu. Lebih-lebihm jika memang mungkin bagi musuh-musuh (Tuna) untuk menikmati tanda-tanda yang dimiliki oleh para wali, dan orang-orang terpilih, sedangkan yang menunjuk seseorang  sebagai wali dan orang terpilih itu, dalam kenyataannya, tidak menunjuk mereka, maka bagi mereka itu tidak akan ada petunjuk menuju kebenaran sama sekali. Tapi tanda-tanda walayah itu bukan hanya hiasan luar dan pengejawatahan dari yang luar biasasaja; tanda-tandanya yang benar ada di dalam dan merupakan pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh Tuhandi dalam hati nurani, yaitu pengalaman-pengalaman yang hanya diketahui oleh Tuhan serta orang-orang yang telah menikmati pengalaman-pengalaman tersebut.

Tiada ulasan: