Catatan Popular

Ahad, 11 Oktober 2015

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI :.AJARAN KE 29 MENGENAI MAZHAB-MAZHAB YANG SAH



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Berkenaan dengan masalah-masalaha yang menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli hukum, tokoh-tokoh Sufi mencari jalan yang lebih hati-hati dan konservatif, dan sebisanya mengikuti konsesus kedua pihak yang saling bertentangan itu. Mereka beranggapan bahwa perbedaan-perbedaan di antara para ahli hukum itu akan mendatangkan kebenran, dan bahwa tak satu pihak pun yang benar-benar bertentangan dengan yang lainnya. Dalam pandangan mereka, setiap orang yang berusaha mencari kebenaran (berijtihad) itu benar adanya, dan setiap orang yang memegang prinsip tertentu dalam hukum sebagai yang benar, lewat analogi dengan prinsip-prinsip serupa yang ditetapkan dan al-Qur’an dan Sunnah, atau lewat penggunaan penafsiran secara bijaksana, adalah benar dalam memegang kepercayaan yang semacam itu. Tapi jika seseorang tidak memiliki dasar yang cukup kuat dalam hukum, maka dia meski tunduk kepada keputusan ahli-ahli hukum terdahulu yang dianggapnya lebih pandai, yang penilaiannya dianggap tegas olehnya.

Mereka percaya akan kemustajaban doa mereka, sebab dalam pandangan mereka hal ini merupakan jalan yang baik, asal orang itu yakin mengenai saat yang tepat dalam melakukannya, dan begitu pula pada kemustajaban pelaksanaan semua tugas keagamaan pada waktu-waktu yang semestinya. Mereka tidak mengizinkan adanya pemendekan, penangguhan atau penghilangan , kecuali dengan alasan yang tepat. Mereka setuju, bahwa kalau sedang bepergian, orang boleh memendekkan sembahyangnya, tapi jika dia terus-menerus pergi dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, maka dia harus melaksanakan sembahyang dengan penuh. Mereka beranggapan bahwa orang boleh membatalkan puasa. Mereka menafisrkan prinsip “kemampuan”, dalam hubungannya dengan kewajiban pergi ke tanah suci, dalam arti yang paling luas, dan tidak membtasai syarat-syaratnya pada pemilikan perbekalan dan jumlahnya.

 Ibn Atha berkata : “Kemampuan itu terdiri atas dua hal : Keadaan dan kekayaan. Jika seseorang tidak memiliki keadaan yang diperrlukan untuk menunjangnya, maka kekayaannya akan bisa menolongnya untuk mencapai hal itu. 

Tiada ulasan: