FATHULLAH GULLEN (PENGASAS
HIZMET TURKI)
Dalam berbagai topik bahasan, tafakur selalu diartikan
sebagai: Menggerakkan pikiran secara luas, dalam, dan sistematis. Bagi
orang-orang yang biasa melakukannya, tafakur adalah pemicu kalbu, santapan roh,
inti makrifat, serta sekaligus menjadi darah, nyawa, dan cahaya bagi kehidupan
islami. Ketika tafakur hilang, hati pasti akan menjadi gelap, roh akan kacau,
dan kehidupan yang islami akan berubah menjadi kematian yang beku.
Tafakur adalah cahaya di dalam hati. Dan sebagaimana
cahaya lainnya, dengan tafakur itulah pula seseorang dapat membedakan antara
yang baik dengan yang jahat, antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya, dan
antara yang bagus dengan yang jelek. Dengan tafakur pula segenap semesta dapat
berubah menjadi buku yang bisa dibaca, sebagaimana dengannya setiap ayat suci
yang agung dapat digali kedalaman kandungannya.
Tafakur adalah lentera yang menerangi semua kejadian,
yang membuat manusia dapat mengambil pelajaran dan kesimpulan dalam bentuk
hasil yang beragam. Tafakur adalah laksana kunci emas menuju pengalaman, ruang
persemaian bagi pohon-pohon hakikat, dan ibarat pupil cahaya bagi mata hati.
Demi semua inilah kemudian Rasulullah s.a.w. yang
telah mencapai puncak segala keindahan dan menguasai puncak tafakur bersabda:
"Bertafakurlah kalian tentang nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kalian
bertafakur tentang Zat-Nya, karena sesungguhnya kalian tidak akan mampu
melakukannya."
Lewat sabda ini, Rasulullah s.a.w. menjelaskan batasan
wilayah tafakur yang dapat kita lakukan. Dengan ini beliau juga mengingatkan
kekuatan, potensi, dan kemampuan yang kita miliki dalam masalah ini.
Sungguh indah apa yang dinyatakan oleh penulis al-Minhâj
yang mengingatkan kita dalam syair berikut:
"Tafakur terhadap nikmat adalah syarat jalan ini.
Akan tetapi tafakur terhadap Zat-Nya s.w.t. adalah dosa yang nyata. Ya,
sesungguhnya tafakur terhadap Zat-Nya s.w.t. adalah kebatilan yang nyata. Jadi
ketahuilah bahwa itu mustahil dilakukan dan tidak akan berhasil."
Pada hakikatnya, bukanlah al-Qur`an telah menasehati
kita dengan ayat-ayatnya yang agung seperti: "dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi,"
(QS. Ali Imran [3]: 191) ke arah jalan terbaik dalam bertafakur?! Yaitu
dengan menunjukkan kitab alam semesta di hadapan mata kita, serta menunjukkan
bagaimana "kitab" itu ditulis, keunikan huruf-hurufnya, keistimewaan
kata-katanya, sistematika kalimat-kalimatnya, dan kepejalan strukturnya.
Ya, sesungguhnya tawajuh kepada Kitab al-Haqq Allah
s.w.t. dalam setiap tafakur, tashawur (berimajinasi), dalam setiap
situasi dan kondisi, serta upaya untuk merenungi dan memersepsinya; yang
kemudian diiringi dengan pengaturan kehidupan sesuai dengan pemahaman kita ini
yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-sehari, pasti akan membuat
seluruh hidup kita memiliki cita-rasa rohaniah (madzâq rûhâniy) yang
kental.
Semua itu dapat terjadi karena penyingkapan
rahasia-rahasia Ilahi (kasyf al-asrâr al-ilâhiy) yang terkandung di
dalam "kitab" alam semesta dan pengungkapannya, akan membuat manusia
di setiap saat selalu memiliki kedalaman iman baru -melebihi imannya yang sudah
ada- serta memberi warna spiritualitas baru yang menyerap seluruh rasa (dzauq)
rohaniahnya. Inilah penyingkapan baru yang merupakan hasil yang darinya akan
muncul cahaya yang membentang dari keimanan menuju makrifat; lalu dari makrifat
kepada mahabbah; lalu dari mahabbah menuju kenikmatan rohaniah;
kemudian ia terus melesat menuju alam akhirat, menuju keridhaan Allah sebagai
tujuan puncak dari segala tujuan. Inilah jalan terang yang akan menghantarkan
seorang salik menjadi sosok Insan Kamil.
Aktivitas tafakur selalu terbuka dari semua ilmu,
karena tafakur merupakan lapangan penelitian dan eksplorasi ilmu. Hanya saja, berbagai
ilmu-ilmu rasional dan keputusan-keputusan kondisional tidak lain merupakan
pintu masuk menuju berbagai kesimpulan penting serta sekaligus menjadi media
dan jalan ke arahnya. Semua ini mengarah pada kandungannya yang hakiki dengan
arahnya yang berkonsentrasi pada ilmu Ilahi yang tunggal. Tapi ini baru
terwujud jika otak manusia tidak terkontaminasi oleh pendekatan-pendekatan yang
salah.
Ya, tafakur dan telaah terhadap entitas seperti
layaknya membaca sebuah buku, pasti akan membuahkan hasil yang diharapkan.
Sebuah kondisi yang penuh berkah pasti akan tercipta, dengan iman kepada Allah,
bahwa Dia adalah sang Mahapencipta segala sesuatu dengan berbagai
kelengkapannya. Inilah yang menjadi semboyan utama bagi para pejuang kehidupan
spiritual yang mengetahui dengan yakin bahwa segala sesuatu selalu bersandar
kepada Allah semata dengan segala situasi dan kondisinya, sehingga mereka pun
dapat mencapai ketenangan dengan makrifat kepada Allah (ma'rifatullâh),
cinta kepada Allah (mahabbatullâh), dan zikir kepada Allah (zikrullâh).
Tafakur yang sejak awal tidak dibangun dan tidak
didasarkan pada penyandaran segala sesuatu kepada al-Haqq Allah s.w.t., pasti
dibuat oleh Allah akan berujung pada akhir tertentu setelah hasilnya dicapai.
Ini berbeda dengan tafakur yang sejak awal sudah dilakukan berdasarkan landasan
pemahaman bahwa semua makhluk, urusan, dan segala hal selalu bersandar pada
Allah ta'ala. Tafakur seperti ini akan terus bergerak secara
berkesinambungan menuju kawasan tanpa ujung disebabkan munculnya dimensi-dimensi
baru yang tidak ada putusnya.
Artinya, tafakur semacam ini, yang dimulai dari Allah
s.w.t. dengan dua asma-Nya "al-Awwal" (yang Mahaawal) dan
"al-Zhâhir" (yang Mahatampak); yang juga tertuju kepada Allah
dengan dua asma-Nya yang lain, yaitu "al-Âkhir" (yang
Mahaakhir) dan "al-Bâthin" (yang Mahatidak tampak), tidak akan
pernah ada akhirnya, dan tidak akan pernah berakhir.
Dari sini, maka anjuran ke arah bentuk tafakur semacam
ini, yaitu tafakur yang telah jelas tujuannya sejak awal, di dalamnya terkandung
tuntunan ke arah penggunaan pedoman ilmu-ilmu alam dan sekaligus seruan untuk
mempelajari dasar-dasarnya yang berupaya menentukan bentuk entitas dan
menelisik realitas.
Ya, ketika langit dan bumi dengan segenap elemen dan
struktur pembentuknya adalah milik Allah s.w.t., maka aktivitas telaah terhadap
kejadian, urusan, dan aturan apapun yang ada di dalam "kitab" alam
semesta, pasti akan selalu menjadi aktivitas untuk membaca hukum-hukum Allah
sang Mahapencipta yang Mahaagung serta apa yang Dia lakukan dalam syariat-Nya.
Tentu saja, jalan seseorang yang membaca
"kitab" ini dengan sungguh-sungguh, serta membentuk hidupnya sesuai
dengan apa yang dia baca, pasti akan selalu menjadi jalan hidayah dan takwa.
Pahala bagi orang semacam itu adalah surga dengan sungai al-Kautsar sebagai
sumber air minumnya.
Semua itu dapat terjadi karena dia, tidak sama dengan
mereka yang binasa dan merugi, yaitu mereka yang bergentayangan di dalam lembah
kekufuran mengikuti petunjuk Iblis yang selalu lalai dari Allah disebabkan
berbagai macam kenikmatan, kesenangan, dan keindahan duniawi.
Ada orang-orang yang mengetahui sang Pemberi nikmat
yang sejati dan sang Penguasa atas segala sesuatu, serta beriman kepada-Nya dan
tunduk kepada-Nya dengan penuh kesadaran iman. Mereka selalu mengembara di
wilayah antara syukur dan nikmat, nikmat dan syukur; di bawah bimbingan
malaikat dan tuntunan para nabi dan kaum shiddiqun. Orang-orang ini
menghabiskan umur mereka untuk menjadi sosok "Rajawali kesyukuran"
yang melanglang buana mengarungi puncak-puncak pemikiran, dan terbang tinggi di
atas lembah-lembah sendirian, di mana di dalamnya orang-orang lalai berjatuhan
dan binasa...
Dengan tafakur semacam ini, ia akan mendapatkan
anugerah luar biasa dari hadirat Tuhannya yang mulia. Ketika muncul penghalang
baginya dalam ranah pemikiran, maka ia akan mampu menaklukkan penghalang itu
dengan zikirnya, sehingga ia akan mampu terus bergerak dari "tadabbur"
(perenungan) menuju "taslîm" (penyerahan diri), dan dari
"tamkîn" (keteguhan) menuju "tafwîdh"
(penyerahan diri). Sehingga ia akan sampai di tujuan dengan cara terbang di
ketinggian langit, sementara semua orang selain dia berpayah-payah berjalan di
permukaan bumi.
Wahai Allah, jadikanlah kami orang-orang yang selalu
berzikir pada-Mu dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, serta bertafakur
pada penciptaan langit dan bumi.
Limpahkanlah selawat dan salam kepada pemimpin
orang-orang yang tafakur, Rasulullah s.a.w., dan kepada segenap keluarga serta
para sahabat beliau yang ikhlas.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan