Beliau adalah shahabat Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
juga anak laki-laki paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selisih umur Ibnu ‘Abbas dengan Rasulullah sekitar 58 tahun (Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat sedangkan ia berumur 15 tahun. Kemudian ia hijrah
bersama kedua orangtuanya pada tahun penaklukan kota Makkah,
sedang ia telah masuk Islam sebelumnya. Beliau berwajah tampan, berkulit putih,
badannya tinggi, gagah, cerah roman mukanya bagai rembulan.
Atho’ bin Abi Rabah rahimahullah (salah seorang murid Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu) berkata, “Waktu kami melihat bulan pada malam
yang ke-14, yang kami ingat tidak lain hanya wajah
Ibnu ‘Abbas.”
Selain akalnya cerdik, ia juga
kaya dan termasuk laki-laki sempurna. Sehingga dia dijuluki Hibrul Ummah (pemimpin umat dalam ilmu), Faqihul ‘Ashr (faqih di masanya) dan Imamut
Tafsir (imam para ahli tafsir). Ia dijuluki pula al-Bahr (lautan) karena banyaknya ilmu. Di samping itu ia
banyak dido’akan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah shahabat Nabi yang kaya raya sehingga
tidak pernah kosong roti dan daging di dalam rumahnya. Walau demikian, ia
bersikap dermawan.
Pernah Abu Ayyub al-Anshari y datang kepada Mu’awiyah y ia laporkan apa
yang menjadi beban hutangnya, namun ia tidak mendapatkan seperti apa yang ia
inginkan. Kemudia ia pergi ke Bashrah, menuju rumah Ibnu ‘Abbas, sesampainya di sana, kemudian ia
curahkan isi hatinya, “Sungguh saya perlu denganmu, sebagaimana engkau perlu
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian Ibnu ‘Abbas
barkata, “Berapa tanggungan hutangmu?” Abu Ayyub al-Anshari menjawab,
“Dua puluh ribu.” Kemudian Ibnu ‘Abbas memberinya 40 ribu, 20 budak, dan lainnya yang
ada di rumahnya.
Semua insan tidak lepas dari cobaan, musibah, dan ujian. Tak
terkecuali Ibnu ‘Abbas. Ia mendapat musibah pada masa lanjut usia dengan lemah
pandangannya dan buta kedua matanya. Ketika tertimpa musibah tersebut,
datanglah sekelompok penduduk Tha’if menghadap Ibnu ‘Abbas sambil membawa buku
buah karya beliau. Mereka minta dibacakan. Permintaan itu menjadikan Ibnu
‘Abbas bimbang. Lantas beliau berkata, “Sesungguhnya aku bimbang lantaran
musibahku ini. Maka barangsiapa yang memiliki ilmu dariku, hendaknya ia bacakan
di hadapanku. Sesungguhnya, pengakuanku adalah seperti
bacaanku sendiri.” Kemudian merekapun membacakan kitab
tersebut di hadapannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan