Catatan Popular

Rabu, 14 Oktober 2015

MASA REMAJA JUNAID AL-BAGHDADI

Junaid baru berumur tujuh tahun ketika Sari membawanya ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing.
"Kemukakan pula pendapatmu", Sari mendorong Junaid. Maka berkatalah Junaid,.
"Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran".
"Tepat sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati", ke-empat ratus syeikh tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang dikemukakan Junaid itulah yang paling tepat.
 
Sari berkata kepada Junaid,
"Nak, tidak lama lagi akan kenyataanlah bahwa karunia yang istimewa dari Allah kepadamu adalah lidahmu".
Junaid tidak sanggup menahan tangisnya ketika mendengar kata-kata pamannya itu.
"Bagaimanakah engkau memperoleh semua pengetahuan ini?"* Sari bertanya padanya.
"Dengan duduk mendengarkanmu", jawab Junaid.
Junaid lalu kembali ke Baghdad dan berdagang barang pecah belah. Setiap hari ia menurunkan tirai tokonya dan melakukan shalat sunnat sebanyak empat ratus raka'at. Belakangan hari, usaha itu ditinggalkannya dan ia mengunci diri dalam sebuah kamar di rumah Sari. Di dalam kamar itulah ia menyibukkan diri untuk menyempurna-kan bathinnya. Dan di situ pula ia membentangkan sajadah ketekun-an sehingga tidak sesuatu hal pun selain Allah yang terpikirkannya.

Sejak kecil Junaid sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai intuisi yang tajam.
Pada suatu hari ketika kembali dari sekolah, Junaid mendapat-kan ayahnya sedang menangis.
"Apakah yang terjadi?". tanya Junaid kepada ayahnya.
"Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau menerimanya", ayahnya menjelaskan. "Aku menangis karena seumur hidupku baru sekarang inilah aku dapat mengumpul-kan uang lima dirham, tetapi ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah".
"Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan memberi-kannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia mau menerimanya", Junaid berkata.
Wang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junaid ke rumah pamannya. Sesampainya di tujuan, ia mengetuk pintu.
"Siapakah itu?",terdengar sahutan dari dalam.
"Junaid", jawabnya. "Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini".
"Aku tidak mau menerimanya", Sari menyahut.
"Demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini", Junaid berseru.
"Junaid, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?" Sari bertanya.
"Allah berbuat baik kepadamu", Jawab Junaid , "karena telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk dengan urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela maupun tidak, harus mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berhak menerimanya".
Sari sangat senang mendengar jawaban itu.
"Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu".
Sambil berkata demikian Sari membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk Junaid disediakannya tempat yang khusus di dalam lubuk hatinya.

Tiada ulasan: