Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq
Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Al-Junaid, an-Nuri dan tokoh-tokoh besar Sufi lainnya
beranggapan bahwa apa-pun yang terjadi atas para nabi hanya mempengaruhi mereka
secara lahiriah saja, dan bahwa hati nurani mereka terserap oleh perenungan
akan Tuhan. Mereka menyitir firman Tuhan untuk menunjang pandangan ini :
“Tetapi dia lupa, dan tidak mempunyai cara berpikir yang kuat.” Mereka
mengatakan bahwa segenap tindakan tidak akan paripurna kecuali yang didahului oleh
ketetapan hati dan niat, dan bahwa segala sesuatu yang tidak didahului dengan
ketetapan hati dan niat, berarti bukan suatu perbuatan. Tuhan menyangkal hal
ini dalam kasus Adam ketika Dia berfirman, “Tapi dia lupa dan tidak mempunyai
cara berpikir yang kuat.” Ketika Tuhan mencal mereka karena hal-hal tersebut,
hal itu dilakukan-Nya hanya demi memberi tanda bagi orang-orang lain, agar
mereka tahu bahwa jika mereka tidak patuh (pada Tuha), mereka masih
berkesempatan untuk mencari ampunan Tuhan.
Tapi tokoh-tokoh Sufi lain mengakui
kesalahan-kesalahan (para nabi) ini. Meski demikian, mereka menjelsakan bahwa
kesalahan-kesalahan tersebut merupakah kekhilafan-kekhilafan yang muncul dari
penafsiran yang salah : mereka ditegus karena taraf mereka yang tinggi dan tempat
mereka yang mulia, dan hal ini dimaksudkan sebagai peringatan bagi yang
lain-lain dan peringatan agar para nabi itu melestarikan keunggulan mereka atas
orang-orang lain.
Beberpa tokoh Sufi mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan
mereka mestinya dianggap sebagai contoh-contoh kealpaan dan kelalaian, dan
mereka menjelssakan bahwa para nabi itu alpa pada hal-hal yang “rendah” karena
“(mereka keasyikan) dengan hal-hal yang tinggi. Begitulah penjelasan yang
mereka berikan sehubungan dengan kejadian nabi alpa bersembahyang – bahwa dia
asyik dengan sesuatu yang lebih besar dari sekedar bersembahyang; sebab
bukanlah beliau bersabda : “Kesenanganku adalah dalam bersembahyang.” Dengan
kata-kata itu beliau memberi tahu kita bahwa ada sesuatu dalam sembahyang yang menyenangkannya.
Beliau tidak mengatakan: “Aku telah menjadikan sembahyang kesenanganku”. Tapi
orang-orang menegaskan bahwa para nabi dapat melakukan kesalahan dan kelalaian
menganggap kesalahan dan kelalaian itu hanya sebagai dosa-dosa kecil yang
dengan mudah dapat dihilangkan dengan tobat. Maka Tuhan berfirman, ketia Dia
menuturkan perkataan Adam dan Istrinya : “Wahai Tuhan kami, kami telah
mengaiaya diri kami sendiri.” Dan lagi : “Kemudian Tuhan memilihnya, menerima
tobatnya dan memberinya petunjuk.” Sedangkan mengenai Daud Dia berfirman : “Dan
Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya. Lalu dia meminta ampun kepada Tuhannya
ssambil menyungkur sujud dan bertaubat.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan