Catatan Popular

Selasa, 9 Januari 2018

KEBERUNTUNGAN HAKIM AT TIRMIDZI

Setiap hari nabi Khidir AS memberikan pelajaran kepadanya. Namun dia baru menyadari jati diri Khidir AS setelah 3 tahun berlalu. Semua ini terjadi karena baktinya kepada sang ibu.
Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Al-Husain Al-Hakim At-Tirmidzi adalah seorang pemikir tasawuf yang kreatif dan terkemuka. Dia pernah mengalami pengalaman tragis,_ yaitu diusir dari kota kelahirannya, Tirmidz, salah satu daerah Persia, oleh penguasa ketika itu. Kemudian dia mengungsi ke Nishapur. Ini terjadi pada tahun 285 H/898 M.
Di kota inilah kemudian dia banyak memberikan ceramah. Karya-karyanya yang bersifat psikologis sangat mempengaruhi Imam Al-Ghazali (450 H/1058 M – 505 H/1111 M), sedang teorinya yang menghebohkan mengenai manusia suci diambil dan dikembangkan oleh Ibnu Arabi (560 H/1164 M – 638 H/1240 M), sufi dari Spanyol. Banyak diantara karya-karyanya, termasuk sebuah sketsa otobiografi, masih dapat ditemukan dan beberapa di antaranya telah diterbitkan.
Ada kisah bagaimana Muhammad bin-Ali At-Tirmidzi belajar tasawuf. Dia bersama dua pelajar lainnya bertekad melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Namun, ketika hendak berangkat, ibunya sangat bersedih hati.
“Wahai buah hati ibu, aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah. Bila Ananda pergi, tak ada lagi seorang yang ibunda punyai diatas dunia ini. Selama ini Ananda lah tempat Ibunda bersandar. Kepada siapa ananda menitipkan Ibunda, yang hanya sebatang kara dan lemah ini?”
Kata-kata sang ibu ini menggoyahkan semangat Tirmidzi. Karena itulah dia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara mencari ilmu.
Suatu hari Tirmidzi duduk di sebuah pemakaman meratapi nasibnya. “Disinilah aku! Tiada seorang pun yang peduli kepadaku yang bodoh ini, Sedang kedua sahabatku itu nanti akan kembali sebagai orang-orang terpelajar yang berpendidikan sempurna.”
Tak lama kemudian, tiba-tiba muncullah seorang tua dengan wajah yang berseri­-seri. Dia menegur Tirmidzi dengan lembut, “Nak, mengapa engkau menangis?”
Tirmidzi menceritakan segala keluh kesahnya itu.
“Maukah engkau menerima pelajaran dariku setiap hari, sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?”
“Aku bersedia,” jawab Tirmidzi dengan gembira,

Tirmidzi mengisahkan pertemuannya dengan orang tua itu kelak di kemudian hari. Dia menulis seperti ini: “Setiap hari dia memberikan pelajaran kepadaku. Setelah tiga tahun berlalu barulah aku menyadari, sesungguhnya orang tua itu adalah Nabi Khidir As, dan aku memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena telah berbakti kepada Ibuku.”

Tiada ulasan: