Setiap hari
nabi Khidir AS memberikan pelajaran kepadanya. Namun dia baru menyadari
jati diri Khidir AS setelah 3 tahun berlalu. Semua ini terjadi karena
baktinya kepada sang ibu.
Abu Abdillah
Muhammad bin Ali bin Al-Husain Al-Hakim At-Tirmidzi adalah seorang pemikir
tasawuf yang kreatif dan terkemuka. Dia pernah mengalami pengalaman tragis,_
yaitu diusir dari kota kelahirannya, Tirmidz, salah satu daerah Persia,
oleh penguasa ketika itu. Kemudian dia mengungsi ke Nishapur. Ini terjadi pada
tahun 285 H/898 M.
Di kota
inilah kemudian dia banyak memberikan ceramah. Karya-karyanya yang bersifat
psikologis sangat mempengaruhi Imam Al-Ghazali (450 H/1058 M – 505 H/1111
M), sedang teorinya yang menghebohkan mengenai manusia suci diambil dan
dikembangkan oleh Ibnu Arabi (560 H/1164 M – 638 H/1240 M), sufi dari
Spanyol. Banyak diantara karya-karyanya, termasuk sebuah sketsa otobiografi,
masih dapat ditemukan dan beberapa di antaranya telah diterbitkan.
Ada kisah
bagaimana Muhammad bin-Ali At-Tirmidzi belajar tasawuf. Dia bersama dua pelajar
lainnya bertekad melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Namun, ketika
hendak berangkat, ibunya sangat bersedih hati.
“Wahai buah
hati ibu, aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah. Bila Ananda pergi, tak ada lagi seorang
yang ibunda punyai diatas dunia ini. Selama ini Ananda lah tempat Ibunda
bersandar. Kepada siapa ananda menitipkan Ibunda, yang hanya sebatang kara dan
lemah ini?”
Kata-kata
sang ibu ini menggoyahkan semangat Tirmidzi. Karena itulah dia membatalkan
niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara mencari ilmu.
Suatu hari
Tirmidzi duduk di sebuah pemakaman meratapi nasibnya. “Disinilah aku! Tiada
seorang pun yang peduli kepadaku yang bodoh ini, Sedang kedua sahabatku itu
nanti akan kembali sebagai orang-orang terpelajar yang berpendidikan sempurna.”
Tak lama
kemudian, tiba-tiba muncullah seorang tua dengan wajah yang berseri-seri. Dia
menegur Tirmidzi dengan lembut, “Nak, mengapa engkau menangis?”
Tirmidzi
menceritakan segala keluh kesahnya itu.
“Maukah
engkau menerima pelajaran dariku setiap hari, sehingga engkau dapat
melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?”
“Aku
bersedia,” jawab Tirmidzi dengan gembira,
Tirmidzi
mengisahkan pertemuannya dengan orang tua itu kelak di kemudian hari. Dia menulis
seperti ini: “Setiap hari dia memberikan pelajaran kepadaku. Setelah tiga
tahun berlalu barulah aku menyadari, sesungguhnya orang tua itu adalah Nabi
Khidir As, dan aku memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena
telah berbakti kepada Ibuku.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan