Catatan Popular

Sabtu, 27 Januari 2018

KITAB RAHASIA PUASA IHYA ULUMUDDIN: FASAL PERTAMA: mengenai yang wajib dan sunat, yang zhahir serta yang harus dengan merusakkan puasa.

HUJJATUL IMAM AL GHAZALI

Adapun wajib yang zhahir, 6 perkara:

Pertama: mengintip permulaan bulan Ramadlan. Dan yang demikian itu dengan melihat bulan (ru’yah). Jikalau mendung, maka disempurnakan 30 hari daripada bulan Sya’ban. Dan kami maksudkan dengan ru’yah, ialah mengetahuinya. Dan hasil yang demikian itu dengan dikatakan oleh seorang adil. Dan tidaklah tetap permulaan bulan Syawal (hilal Syawal), melainkan dengan dikatakan oleh dua orang adil. Karena menjagakan (ihtiath) ibadah. Siapa yang mendengar dari seorang adil dan ia percaya perkataannya itu, serta berat sangkanya benar, maka haruslah ia berpuasa, walaupun kadli (penguasa atau pejabat agama) tidak menjalankannya. Maka hendaklah masing-masing hamba mengikuti tentang ibadahnya menurut berat dugaannya (zhannya). Apabila dilihat bulan di sebuah negeri dan tidak dilihat di negeri yang lain dan diantara kedua negeri itu, jauhnya kurang dari dua marhalaah, maka wajiblah puasa atas semuanya. Dan kalau lebih dari dua marhalah, niscaya bagi masing-masing negeri itu, hukumnya sendiri. Dan tidaklah kewajiban berpuasa itu, melampaui kepada negeri yang tidak melihat bulan.

Kedua: niat. Dan tak boleh tidak bagi tiap-tiap malam, berniat di waktu malam (mubayyatah) yang tentu, lagi yakin. Kalau diniatkan berpuasa bulan Ramadlan sekali niat niscaya tidak mencukupi. Dan itulah yang kami maksudkan dengan perkataan kami: tiap-tiap malam. Dan kalau diniatkan pada siang hari, niscaya tidak memadai bagi puasa Ramadlan dan puasa fardlu lainnya, kecuali bagi puasa sunat. Dan itulah kami maksudkan dengan perkataan kami: di waktu malam (mubayyatah). Kalau diniatkan berpuasa secara mutlak atau diniatkan fardlu secara mutlak, niscaya tidak memadai. Berniatlah: fardlu daripada Allah Azza Wa Jalla puasa Ramadlan. Kalau diniatkan pada malam diragukan (malam syak, apakah ia masih bulan Ramadlan), akan berpuasa besok, jikalau ia dari bulan Ramadlan, niscaya tidak memadai. Karena malam syak itu, tidak yakin. Kecuali disandarkan niatnya kepada perkataan seorang saksi yang adil. Dan kemungkinan salah atau bohongnya saksi itu, tidaklah membatalkan keyakinan. Atau disandarkan kepada penyertaan suatu keadaan seperti syak hati pada malam penghabisan daripada Ramadlan. Maka yang demikian itu, tidak mencegah keyakinan niat. Atau disandarkan kepada ijtihad/pertimbangan, seperti orang yang ditahan di dalam lubang tanah, apabila berat dugaannya akan masuknya Ramadlan dengan ijtihadnya/pertimbangannya. Maka keraguannya itu tidaklah mencegahnya daripada niat. Manakala ia ragu pada malam syak, niscaya tidak bermanfaat akan yakinnya niat dengan lisan. Karena niat itu, tempatnya hati dan tidaklah tergambar keteguhan maksud serta keraguan itu. Sebagaimana kalau ia mengatakan di pertengahan bulan Ramadlan: Saya akan puasa esok hari, jika besok itu daripada bulan Ramadlan. Maka yang demikian itu, tidak memberi melarat kepadanya, karena itu merupakan keraguan kata-kata.

Dan tempat niat tidaklah tergambar padanya keraguan. Tapi ia yakin, bahwa esok itu daripada bulan Ramadlan. Siapa yang meniatkan pada malam hari, kemudian ia makan, maka tidaklah merusakkan niatnya. Kalau berniat seorang wanita di dalam masa berkain kotor, (di dalam haidh), kemudian ia suci (habis haidhnya), sebelum terbit fajar, niscaya sahlah puasanya.

Ketiga: menahan diri daripada menyampaikan sesuatu ke dalam rongga, dengan sengaja, serta teringat puasa. Maka rusaklah puasa dengan makan, minum, memasukkan sesuatu dalam hidung dan memasukkannya dalam lobang dubur (tempat buang air besar). Dan tidaklah rusak puasa dengan membetik, berbekam, bercelak, memasukkan alat pemakaian celak ke dalam telinga dan ke dalam al-ihlil (tempat keluar air kecil dari laki-laki atau lobang kecil dari tempat keluar susu wanita). Kecuali diteteskan ke dalam al-ihlil, sesuatu yang sampai ke tempat air kecil dari seseorang. Dan apa yang sampai ke dalam rongga badan, tanpa sengaja, dari debu jalan atau lalat yang masuk ke dalam rongganya atau apa yang masuk ke dalam rongganya dalam berkumur-kumur, maka tidaklah membukakan puasa. Kecuali apabila ia bersangatan dalam berkumur-kumur, maka membukakan puasa. Karena ia teledor salah sendiri. Dan itulah yang kami maksudkan dengan perkataan kami: sengaja. Adapun teringat puasa, maka kami maksudkan, diluar dari orang yang lupa. Maka tidaklah membukakan puasa bagi orang yang lupa. Orang yang makan dengan sengaja pada dua tepi siang, kemudian ternyata baginya, bahwa ia telah makan pada siang hari dengan sebenarnya, maka haruslah ia meng-qodokan puasa itu. Dan jikalau masih dalam hukum zhan dan ijtihadnya/pertimbangannya, maka tidak wajib qodo. Dan tidak seyogyalah memakan pada dua tepi siang, selain dengan memperhatikan dan pertimbangan.

Keempat: menahan diri daripada bersetubuh. Dan batas bersetubuh ialah masuknya ujung kemaluan laki-laki (al-hasyafah). Jikalau bersetubuh karena lupa maka tidak membukakan puasa. Jika bersetubuh pada malam hari atau bermimpi (berihtilam), lalu datang waktu subuh sedang ia berjanabah (berhadats besar) itu, maka tidak membukakan puasa. Dan kalau terbit fajar, dimana ia sedang bercampur dengan isterinya, lalu terus ditariknya, sahlah puasanya. Tetapi jika ia bertahan, niscaya rusaklah puasanya dan wajib ia memberikan kafarat puasa.

Kelima: menahan diri daripada mengeluarkan mani (al-istimna’). Yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja, dengan bersetubuh atau tanpa bersetubuh. Maka yang demikian itu membukakan puasa. Dan tidaklah membukakan puasa dengan memeluk isterinya dan tidak pula dengan tidur bersama, selama tidak inzal (keluar mani karena dorongan syahwat). Tetapi yang demikian itu makruh, kecuali ia orang tua atau dapat mengendalikan dirinya. Maka dalam hal yang demikian, tidak mengapa berpelukan. Dan meninggalkannya, adalah lebih utama. Apabila ia takut dari berpelukan akan inzal, maka berpeluk ia dan keluar maninya maka yang demikian itu membukakan puasa, karena salahnya sendiri (taqshir).

Keenam: menahan diri daripada mengeluarkan muntah. Maka mengeluarkan muntah itu, merusakkan puasa. Dan jika termuntah, maka tidaklah merusakkan puasanya. Apabila ia menelan dahak dari kerongkongannya atau dadanya, niscaya tidaklah merusakkan puasanya. Karena merupakan suatu kelapangan (rukhshah), lantaran meratanya bahaya yang demikian itu. Kecuali ditelannya, setelah sampai ke mulutnya, maka yang demikian itu membukakan puasa.

Adapun yang harus dilaksanakan dengan terbukanya puasa itu, 4perkara:
1.   meng-qodokan,
2.   memberi kafarat,
3.   memberi fidyah dan
4.   menahan diri pada siang hari itu, untuk menyerupakan diri dengan orang yang berpuasa.
5.   Tentang qodo, maka wajibnya adalah umum atas tiap-tiap muslim mukallaf, yang meninggalkan puasa dengan halangan (‘udzur) atau tanpa halangan. Wanita yang berkain kotor (ber-haid), meng-qodokan puasa. Dan begitupula orang yang murtad (orang yang keluar dari agama Islam), kemudian kembali ke dalam Islam, maka haruslah meng-qodokan puasanya. Adapun orang kafir, anak di bawah umur dan orang gila, maka tak adalah qodo diatas mereka. Dan tidaklah disyaratkan berturut-turut dalam meng-qodokan puasa Ramadlan. Tetapi di-qodokan menurut kehendak dari yang meng-qodokan, bercerai-berai atau berkumpul berturut-turut.
6.   Tentang kafarat, maka tidak wajib, kecuali disebabkan oleh bersetubuh. Adapun mengeluarkan mani, makan, minum dan selain daripada bersetubuh, maka tidaklah wajib kafarat. Kafarat, ialah memerdekakan seorang budak. Jika sukar, maka berpuasa 2 bulan berturut-turut. Dan jika tidak sanggup, maka memberikan makanan 60 orang miskin, satu mud (secupak) untuk seorang. Tentang menahan diri dari siang hari itu yang masih ada, maka haruslah terhadap orang yang berdosa dengan berbuka itu atau bersalah pada berbuka. Dan tidaklah harus atas wanita yang berhaid, apabila datang sucinya, menahan diri dari sisa harinya itu. Dan tidak pula atas orang musafir, apabila tiba kembali dari bermusafir yang sampai 2 marhalah itu dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa). Dan wajiblah menahan diri, apabila naik saksi melihat bulan, seorang adil pada hari syak. Berpuasa dalam bermusafir adalah lebih utama daripada berbuka, kecuali apabila tidak sanggup. Dan jangan berbuka pada hari keluar bermusafir, di mana ia tadinya bermukim pada permulaan safarnya (perjalanannya). Dan jangan pula berbuka pada hari kedatangan kembali, apabila ia datang dari perjalan itu dengan berpuasa.
7.   Tentang fidyah, maka wajiblah atas wanita hamil dan wanita yang menyusukan, apabila keduanya berbuka, lantaran takut membawa melarat kepada anaknya. Fidyah itu diwajibkan untuk tiap-tiap hari satu mud gandum (atau beras) untuk seorang miskin, serta meng-qodokannya. Dan orang yang sudah terlalu tua, apabila tidak berpuasa, maka bersedekah tia-tiap hari satu mud.
Adapun sunat, maka 6 perkara: mengemudiankan sahur, menyegerakan berbuka dengan tamar atau air sebelum shalat, meninggalkan menggosok gigi (bersugi) sesudah zawal (gelincir matahari), bermurah hati di dalam bulan Ramadlan, karena keutamaan-keutamaan yang telah diterangkan pada zakat dahulu. Bertadarus Alquran dan beri’tikaf dalam masjid, lebih-lebih pada 10 yang akhir daripada bulan Ramadlan.

Karena yang demikian, adalah kebiasaan Rasulullah saw. “Adalah Rasul saw apabila masuk 10 yang akhir, lalu melipatkan tikar, mengikatkan pinggang dan telah membiasakan dirinya dan keluarganya yang demikian (untuk melakukan ibadah)”. Artinya: berkekalan menegakkan ibadah. Karena pada 10 yang akhir itu, terdapat malam Lailatul-qadar. Dan yang lebih kerap-kali, Lailatul-qadar itu pada malam yang ganjil dari 10 yang akhir. Dan malam yang ganjil yang lebih mendekati, ialah malam satu (21), malam tiga (23), malam lima (25) dan malam tujuh (27). Dan berturut-turut dalam beri’tikaf ini adalah lebih utama.

Jika bernadzar (berhajat) akan mengerjakan i’tikaf berturut-turut atau meniatkan berturut-turut, niscaya putuslah berturut-turutnya dengan keluar dari masjid, tanpa ada kepentingan. Seperti kalau ia keluar untuk berkunjung pada orang sakit (iyadah) atau menjadi saksi atau mengantarkan jenazah (mayat) atau berziarah atau membarukan bersuci. Dan jikalau keluar untuk membuang air, niscaya tidak putus i’tikaf.


Dan boleh ia berwudlu di rumah dan tidak seyogyanya ia meningkat kepada urusan lain. “Adalah Nabi saw tidak keluar, kecuali untuk keperluan manusia (membuang air besar atau air kecil). Dan ia tidak menanyakan dari hal orang sakit, kecuali melaluinya saja”. Dan putuslah berturut-turut, disebabkan bersetubuh. Dan tidak putus dengan berpeluk. Dan tidak mengapa di dalam masjid memakai bau-bauan, melakukan perkawinan (‘aqad nikah), makan, tidur dan membasuh tangan pada tempat basuh tangan. Semuanya ini kadang-kadang diperlukan dalam melakukan i’tikaf berturut-turut itu. Dan tidak putus berturut-turut dengan mengeluarkan sebahagian badan. “Adalah Nabi saw mendekatkan kepalanya, lalu disisirkan rambutnya oleh ‘Aisyah, sedang ‘Aisyah berada di dalam kamar”. Manakala orang yang melakukan i’tikaf (mu’takif) itu, keluar untuk menunaikan keperluannya (melakukan qodo hajat, membuang air besar atau air kecil), lalu apabila ia kembali seyogyalah mengulang kembali niatnya. Kecuali apabila ia telah berniat pada mulanya, 10 hari umpamanya. Meskipun begitu, yang lebih baik, niat itu diperbarui.

Tiada ulasan: