HUJJATUL IMAM AL GHAZALI
Adapun wajib yang zhahir, 6 perkara:
Pertama: mengintip permulaan bulan
Ramadlan. Dan yang demikian itu dengan melihat bulan
(ru’yah). Jikalau mendung, maka disempurnakan 30 hari daripada bulan Sya’ban.
Dan kami maksudkan dengan ru’yah, ialah mengetahuinya. Dan hasil yang demikian
itu dengan dikatakan oleh seorang adil. Dan tidaklah tetap permulaan bulan
Syawal (hilal Syawal), melainkan dengan dikatakan oleh dua orang adil. Karena
menjagakan (ihtiath) ibadah. Siapa yang mendengar dari seorang adil dan ia
percaya perkataannya itu, serta berat sangkanya benar, maka haruslah ia
berpuasa, walaupun kadli (penguasa atau pejabat agama) tidak menjalankannya.
Maka hendaklah masing-masing hamba mengikuti tentang ibadahnya menurut berat
dugaannya (zhannya). Apabila dilihat bulan di sebuah negeri dan tidak dilihat
di negeri yang lain dan diantara kedua negeri itu, jauhnya kurang dari dua
marhalaah, maka wajiblah puasa atas semuanya. Dan kalau lebih dari dua
marhalah, niscaya bagi masing-masing negeri itu, hukumnya sendiri. Dan tidaklah
kewajiban berpuasa itu, melampaui kepada negeri yang tidak melihat bulan.
Kedua: niat. Dan tak boleh tidak bagi tiap-tiap malam, berniat
di waktu malam (mubayyatah) yang tentu, lagi yakin. Kalau diniatkan berpuasa
bulan Ramadlan sekali niat niscaya tidak mencukupi. Dan itulah yang kami
maksudkan dengan perkataan kami: tiap-tiap malam. Dan kalau diniatkan pada
siang hari, niscaya tidak memadai bagi puasa Ramadlan dan puasa fardlu lainnya,
kecuali bagi puasa sunat. Dan itulah kami maksudkan dengan perkataan kami: di
waktu malam (mubayyatah). Kalau diniatkan berpuasa secara mutlak atau diniatkan
fardlu secara mutlak, niscaya tidak memadai. Berniatlah: fardlu daripada Allah
Azza Wa Jalla puasa Ramadlan. Kalau diniatkan pada malam diragukan (malam syak,
apakah ia masih bulan Ramadlan), akan berpuasa besok, jikalau ia dari bulan
Ramadlan, niscaya tidak memadai. Karena malam syak itu, tidak yakin. Kecuali
disandarkan niatnya kepada perkataan seorang saksi yang adil. Dan kemungkinan
salah atau bohongnya saksi itu, tidaklah membatalkan keyakinan. Atau
disandarkan kepada penyertaan suatu keadaan seperti syak hati pada malam
penghabisan daripada Ramadlan. Maka yang demikian itu, tidak mencegah keyakinan
niat. Atau disandarkan kepada ijtihad/pertimbangan, seperti orang yang ditahan
di dalam lubang tanah, apabila berat dugaannya akan masuknya Ramadlan dengan
ijtihadnya/pertimbangannya. Maka keraguannya itu tidaklah mencegahnya daripada
niat. Manakala ia ragu pada malam syak, niscaya tidak bermanfaat akan yakinnya
niat dengan lisan. Karena niat itu, tempatnya hati dan tidaklah tergambar
keteguhan maksud serta keraguan itu. Sebagaimana kalau ia mengatakan di
pertengahan bulan Ramadlan: Saya akan puasa esok hari, jika besok itu daripada
bulan Ramadlan. Maka yang demikian itu, tidak memberi melarat kepadanya, karena
itu merupakan keraguan kata-kata.
Dan tempat
niat tidaklah tergambar padanya keraguan. Tapi ia yakin, bahwa esok itu
daripada bulan Ramadlan. Siapa yang meniatkan pada malam hari, kemudian ia
makan, maka tidaklah merusakkan niatnya. Kalau berniat seorang wanita di dalam
masa berkain kotor, (di dalam haidh), kemudian ia suci (habis haidhnya), sebelum
terbit fajar, niscaya sahlah puasanya.
Ketiga: menahan diri daripada
menyampaikan sesuatu ke dalam rongga, dengan sengaja, serta teringat puasa. Maka rusaklah puasa dengan makan, minum,
memasukkan sesuatu dalam hidung dan memasukkannya dalam lobang dubur (tempat
buang air besar). Dan tidaklah rusak puasa dengan membetik, berbekam, bercelak,
memasukkan alat pemakaian celak ke dalam telinga dan ke dalam al-ihlil (tempat
keluar air kecil dari laki-laki atau lobang kecil dari tempat keluar susu wanita).
Kecuali diteteskan ke dalam al-ihlil, sesuatu yang sampai ke tempat air kecil
dari seseorang. Dan apa yang sampai ke dalam rongga badan, tanpa sengaja, dari
debu jalan atau lalat yang masuk ke dalam rongganya atau apa yang masuk ke
dalam rongganya dalam berkumur-kumur, maka tidaklah membukakan puasa. Kecuali
apabila ia bersangatan dalam berkumur-kumur, maka membukakan puasa. Karena ia
teledor salah sendiri. Dan itulah yang kami maksudkan dengan perkataan kami:
sengaja. Adapun teringat puasa, maka kami maksudkan, diluar dari orang yang
lupa. Maka tidaklah membukakan puasa bagi orang yang lupa. Orang yang makan
dengan sengaja pada dua tepi siang, kemudian ternyata baginya, bahwa ia telah
makan pada siang hari dengan sebenarnya, maka haruslah ia meng-qodokan puasa
itu. Dan jikalau masih dalam hukum zhan dan ijtihadnya/pertimbangannya, maka
tidak wajib qodo. Dan tidak seyogyalah memakan pada dua tepi siang, selain
dengan memperhatikan dan pertimbangan.
Keempat: menahan diri daripada
bersetubuh. Dan batas bersetubuh ialah masuknya ujung
kemaluan laki-laki (al-hasyafah). Jikalau bersetubuh karena lupa maka tidak
membukakan puasa. Jika bersetubuh pada malam hari atau bermimpi (berihtilam),
lalu datang waktu subuh sedang ia berjanabah (berhadats besar) itu, maka tidak
membukakan puasa. Dan kalau terbit fajar, dimana ia sedang bercampur dengan
isterinya, lalu terus ditariknya, sahlah puasanya. Tetapi jika ia bertahan,
niscaya rusaklah puasanya dan wajib ia memberikan kafarat puasa.
Kelima: menahan diri daripada
mengeluarkan mani (al-istimna’).
Yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja, dengan bersetubuh atau tanpa
bersetubuh. Maka yang demikian itu membukakan puasa. Dan tidaklah membukakan
puasa dengan memeluk isterinya dan tidak pula dengan tidur bersama, selama
tidak inzal (keluar mani karena dorongan syahwat). Tetapi yang demikian itu
makruh, kecuali ia orang tua atau dapat mengendalikan dirinya. Maka dalam hal
yang demikian, tidak mengapa berpelukan. Dan meninggalkannya, adalah lebih
utama. Apabila ia takut dari berpelukan akan inzal, maka berpeluk ia dan keluar
maninya maka yang demikian itu membukakan puasa, karena salahnya sendiri
(taqshir).
Keenam: menahan diri daripada
mengeluarkan muntah. Maka
mengeluarkan muntah itu, merusakkan puasa. Dan jika termuntah, maka tidaklah
merusakkan puasanya. Apabila ia menelan dahak dari kerongkongannya atau
dadanya, niscaya tidaklah merusakkan puasanya. Karena merupakan suatu
kelapangan (rukhshah), lantaran meratanya bahaya yang demikian itu. Kecuali
ditelannya, setelah sampai ke mulutnya, maka yang demikian itu membukakan
puasa.
Adapun yang harus dilaksanakan dengan terbukanya puasa itu, 4perkara:
1. meng-qodokan,
2. memberi kafarat,
3. memberi fidyah dan
4. menahan diri pada siang hari itu, untuk menyerupakan diri dengan orang
yang berpuasa.
5. Tentang qodo, maka wajibnya adalah umum atas tiap-tiap muslim mukallaf,
yang meninggalkan puasa dengan halangan (‘udzur) atau tanpa halangan. Wanita
yang berkain kotor (ber-haid), meng-qodokan puasa. Dan begitupula orang yang
murtad (orang yang keluar dari agama Islam), kemudian kembali ke dalam Islam,
maka haruslah meng-qodokan puasanya. Adapun orang kafir, anak di bawah umur dan
orang gila, maka tak adalah qodo diatas mereka. Dan tidaklah disyaratkan
berturut-turut dalam meng-qodokan puasa Ramadlan. Tetapi di-qodokan menurut
kehendak dari yang meng-qodokan, bercerai-berai atau berkumpul berturut-turut.
6. Tentang kafarat, maka tidak wajib, kecuali disebabkan oleh bersetubuh.
Adapun mengeluarkan mani, makan, minum dan selain daripada bersetubuh, maka
tidaklah wajib kafarat. Kafarat, ialah memerdekakan seorang budak. Jika sukar,
maka berpuasa 2 bulan berturut-turut. Dan jika tidak sanggup, maka memberikan
makanan 60 orang miskin, satu mud (secupak) untuk seorang. Tentang menahan diri
dari siang hari itu yang masih ada, maka haruslah terhadap orang yang berdosa
dengan berbuka itu atau bersalah pada berbuka. Dan tidaklah harus atas wanita
yang berhaid, apabila datang sucinya, menahan diri dari sisa harinya itu. Dan
tidak pula atas orang musafir, apabila tiba kembali dari bermusafir yang sampai
2 marhalah itu dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa). Dan wajiblah menahan
diri, apabila naik saksi melihat bulan, seorang adil pada hari syak. Berpuasa
dalam bermusafir adalah lebih utama daripada berbuka, kecuali apabila tidak
sanggup. Dan jangan berbuka pada hari keluar bermusafir, di mana ia tadinya
bermukim pada permulaan safarnya (perjalanannya). Dan jangan pula berbuka pada
hari kedatangan kembali, apabila ia datang dari perjalan itu dengan berpuasa.
7. Tentang fidyah, maka wajiblah atas wanita hamil dan wanita yang
menyusukan, apabila keduanya berbuka, lantaran takut membawa melarat kepada
anaknya. Fidyah itu diwajibkan untuk tiap-tiap hari satu mud gandum (atau
beras) untuk seorang miskin, serta meng-qodokannya. Dan orang yang sudah
terlalu tua, apabila tidak berpuasa, maka bersedekah tia-tiap hari satu mud.
Adapun sunat, maka 6 perkara: mengemudiankan sahur, menyegerakan berbuka dengan
tamar atau air sebelum shalat, meninggalkan menggosok gigi (bersugi) sesudah
zawal (gelincir matahari), bermurah hati di dalam bulan Ramadlan, karena
keutamaan-keutamaan yang telah diterangkan pada zakat dahulu. Bertadarus
Alquran dan beri’tikaf dalam masjid, lebih-lebih pada 10 yang akhir daripada
bulan Ramadlan.
Karena yang
demikian, adalah kebiasaan Rasulullah saw. “Adalah Rasul saw apabila masuk 10
yang akhir, lalu melipatkan tikar, mengikatkan pinggang dan telah membiasakan
dirinya dan keluarganya yang demikian (untuk melakukan ibadah)”. Artinya:
berkekalan menegakkan ibadah. Karena pada 10 yang akhir itu, terdapat malam
Lailatul-qadar. Dan yang lebih kerap-kali, Lailatul-qadar itu pada malam yang
ganjil dari 10 yang akhir. Dan malam yang ganjil yang lebih mendekati, ialah
malam satu (21), malam tiga (23), malam lima (25) dan malam tujuh (27). Dan
berturut-turut dalam beri’tikaf ini adalah lebih utama.
Jika bernadzar
(berhajat) akan mengerjakan i’tikaf berturut-turut atau meniatkan
berturut-turut, niscaya putuslah berturut-turutnya dengan keluar dari masjid,
tanpa ada kepentingan. Seperti kalau ia keluar untuk berkunjung pada orang
sakit (iyadah) atau menjadi saksi atau mengantarkan jenazah (mayat) atau
berziarah atau membarukan bersuci. Dan jikalau keluar untuk membuang air,
niscaya tidak putus i’tikaf.
Dan boleh ia
berwudlu di rumah dan tidak seyogyanya ia meningkat kepada urusan lain. “Adalah
Nabi saw tidak keluar, kecuali untuk keperluan manusia (membuang air besar atau
air kecil). Dan ia tidak menanyakan dari hal orang sakit, kecuali melaluinya
saja”. Dan putuslah berturut-turut, disebabkan bersetubuh. Dan tidak putus
dengan berpeluk. Dan tidak mengapa di dalam masjid memakai bau-bauan, melakukan
perkawinan (‘aqad nikah), makan, tidur dan membasuh tangan pada tempat basuh
tangan. Semuanya ini kadang-kadang diperlukan dalam melakukan i’tikaf
berturut-turut itu. Dan tidak putus berturut-turut dengan mengeluarkan
sebahagian badan. “Adalah Nabi saw mendekatkan kepalanya, lalu disisirkan
rambutnya oleh ‘Aisyah, sedang ‘Aisyah berada di dalam kamar”. Manakala orang
yang melakukan i’tikaf (mu’takif) itu, keluar untuk menunaikan keperluannya
(melakukan qodo hajat, membuang air besar atau air kecil), lalu apabila ia
kembali seyogyalah mengulang kembali niatnya. Kecuali apabila ia telah berniat
pada mulanya, 10 hari umpamanya. Meskipun begitu, yang lebih baik, niat itu
diperbarui.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan